Fatahillah313, Bekasi - Ketika Desember Datang, Pertanyaan Lama Kembali Mengemuka
Setiap kali kalender Masehi mendekati penghujung tahun, umat Islam kembali dihadapkan pada satu pertanyaan klasik yang tak pernah benar-benar selesai:
bagaimana bersikap terhadap perayaan Natal?
Pertanyaan ini bukan sekadar soal ucapan, kehadiran, atau atribut, melainkan menyentuh wilayah yang lebih mendasar, aqidah, prinsip iman, dan makna toleransi itu sendiri.
Khutbah yang disampaikan oleh Al Ustadz Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani حفظه الله تعالى pada Jumat, 24 Desember 2025, hadir sebagai pengingat yang jernih:
Khutbah yang disampaikan oleh Al Ustadz Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani حفظه الله تعالى pada Jumat, 24 Desember 2025, hadir sebagai pengingat yang jernih:
bahwa Islam adalah agama yang tegas dalam aqidah, namun adil dan beradab dalam muamalah.Khutbah ini tidak lahir dari semangat kebencian, apalagi permusuhan.
Ia justru lahir dari kekhawatiran akan kaburnya batas antara toleransi dan kompromi aqidah, sebuah fenomena yang semakin sering muncul di tengah masyarakat urban dan ruang publik modern.
Sikap dan Pondasi Ketakwaan dan Kesadaran Umat
Sikap dan Pondasi Ketakwaan dan Kesadaran Umat
Khutbah dibuka dengan pujian kepada Allah ﷻ dan shalawat kepada Rasulullah ﷺ, sebagaimana tradisi khutbah Rasul dan para sahabat:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ... أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ...
Ayat-ayat taqwa dari Surah An-Nisa, Ali ‘Imran, dan Al-Ahzab kembali ditegaskan sebagai fondasi hidup seorang Muslim:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ... أَشْهَدُ أَنَّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ...
Ayat-ayat taqwa dari Surah An-Nisa, Ali ‘Imran, dan Al-Ahzab kembali ditegaskan sebagai fondasi hidup seorang Muslim:
takut kepada Allah, berkata benar, dan berpegang teguh pada iman hingga akhir hayat.
Pesan awal ini menjadi bingkai penting:
segala pembahasan setelahnya harus diletakkan di atas landasan taqwa, bukan sekadar rasa sosial atau tekanan lingkungan.
Fenomena “Toleransi Natal”: Ketika Batas Itu Jangan dikaburkan
Dalam khutbahnya, Ustadz Abu Fayadh mengajak jamaah menatap realitas dengan jujur.
Setiap Desember, muncul dorongan, baik halus maupun terbuka, agar umat Islam:
Namun khutbah ini mengajukan pertanyaan mendasar:
- menghadiri acara Natal bersama,
- mengenakan atribut Natal,
- atau setidaknya mengucapkan “Selamat Hari Raya Natal”.
Namun khutbah ini mengajukan pertanyaan mendasar:
👉 Benarkah toleransi harus diwujudkan dengan ikut serta dalam ritual agama lain?
Islam, sebagaimana dijelaskan, sangat menjunjung tinggi keadilan dan kebaikan kepada non-Muslim, bahkan kepada mereka yang memusuhi Islam sekalipun:
…Bahkan dalam sejarah, kaum Muslimin diakui sebagai penakluk paling santun dan adil.
Kisah monumental Abu Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu ‘anhu yang mengembalikan jizyah kepada kaum Nasrani di Homs karena tidak mampu melindungi mereka, menjadi bukti nyata bahwa toleransi Islam bukan slogan, tetapi praktik sejarah.
Namun satu hal penting ditegaskan:
📌 Toleransi para sahabat tidak pernah berbentuk keterlibatan dalam ibadah agama lain.
Sejarah Menjadi Saksi: Toleran Tanpa Sinkretisme Tidak ada satu pun riwayat sahih yang menunjukkan bahwa:
- Khulafaur Rasyidin,
- para gubernur wilayah Islam,
- atau ulama besar salaf,
pernah menghadiri misa Natal, mengucapkan selamat hari raya agama lain, atau mengenakan simbol keagamaan non-Islam.
Anehnya, justru di bawah kepemimpinan Islam itulah kaum Nasrani dan Yahudi merasakan keamanan, kebebasan beribadah, dan keadilan sosial.
Di sinilah khutbah ini menarik garis tegas:
👉 Toleransi Islam adalah perlindungan hak, bukan pembenaran keyakinan.
Fatwa MUI 1981:
Titik Tegas yang Sering Disalahpahami Khutbah kemudian mengulas Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1981 tentang Perayaan Natal Bersama.
MUI menimbang empat hal utama, di antaranya:
MUI menimbang empat hal utama, di antaranya:
- Perlunya kejelasan hukum bagi umat Islam
- Larangan mencampuradukkan aqidah dan ibadah
- Kewajiban meningkatkan iman dan taqwa
- Tetap menjaga kerukunan antar umat beragama
MUI menegaskan:
- Kerja sama sosial dan keduniaan diperbolehkan
- Namun aqidah dan ibadah tidak boleh dicampuradukkan
Dalilnya jelas, antara lain Surah Al-Kafirun:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Dan Surah Al-Baqarah ayat 42:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ
Fatwa ini kemudian menyimpulkan:
- Natal tidak bisa dipisahkan dari keyakinan teologis Kristen
- Mengikuti perayaan Natal bersama haram bagi umat Islam
- Umat Islam dianjurkan menjauhi syubhat
Menariknya, khutbah ini juga meluruskan kesalahpahaman besar:
📌 Fatwa MUI 1981 tidak secara eksplisit membahas ucapan “Selamat Natal”.
Mengucapkan Selamat Natal: Di Mana Letak Masalahnya?
Pada khutbah kedua, pembahasan menjadi semakin tajam.
Fenomena “latah” mengucapkan Selamat Natal dipotret dengan jujur, seringkali didorong oleh niat baik, sopan santun, atau tekanan sosial.
Namun Islam, kata Ustadz Abu Fayadh, bukan agama yang diatur oleh perasaan semata, melainkan oleh wahyu.
Dikutiplah pendapat tegas Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, yang menyatakan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) tentang keharaman mengucapkan selamat atas syiar agama non-Muslim:
Ucapan selamat terhadap hari raya mereka posisinya seperti mengucapkan selamat atas sujud kepada salib…Pernyataan ini bukan untuk membenci, melainkan menjaga kemurnian tauhid.
Toleransi yang Lurus: Tegas, Adil, dan Bermartabat
Khutbah ini menutup dengan penegasan yang menenangkan sekaligus menguatkan:
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
- Tidak mengganggu ibadah Natal ✔
- Tidak ikut serta dalam ritual Natal ✔
- Tidak memaksakan Islam kepada non-Muslim ✔
- Menjaga aqidah dan tauhid ✊
- Inilah toleransi yang diwariskan Rasulullah ﷺ dan para sahabat.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِIslam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.
Teguh di Jalan Iman, Lapang dalam Akhlak
Khutbah ini bukan ajakan untuk memutus hubungan sosial, melainkan seruan agar umat Islam kembali percaya diri dengan identitas imannya.
Beriman tanpa inferior. Toleran tanpa mengorbankan tauhid. Humanis tanpa melanggar prinsip.
Semoga Allah ﷻ menguatkan kita di atas kebenaran, mempersatukan umat dalam iman, dan menjaga negeri ini dengan keadilan dan kedamaian.
Barakallahu fiikum.
Beriman tanpa inferior. Toleran tanpa mengorbankan tauhid. Humanis tanpa melanggar prinsip.
Semoga Allah ﷻ menguatkan kita di atas kebenaran, mempersatukan umat dalam iman, dan menjaga negeri ini dengan keadilan dan kedamaian.
Barakallahu fiikum.
Disarikan dari Khutbah Jumat
Al Ustadz Abu Fayadh Muhammad Faisal Al Jawy al-Bantani, S.Pd., M.Pd., Gr
#ToleransiTanpaAqidah #NatalDalamIslam #FatwaMUI #TauhidDiAtasSegalanya #IslamRahmatan #UmatBeriman #KhutbahJumat


