Fatahillah313, Jakarta - Debat panas antara kuasa hukum Presiden Joko Widodo, Yakub Hasibuan, dan peneliti independen Rismon Sianipar, membuka kembali satu pertanyaan mendasar yang hingga kini belum terjawab secara terang:
di mana transparansi akademik Jokowi sebagai alumni Universitas Gadjah Mada?
Forum diskusi yang awalnya diklaim sebagai ruang klarifikasi berubah menjadi arena uji konsistensi. Rismon Sianipar, dengan pendekatan data, logika akademik, dan pengalaman lapangan, menekan satu isu sentral:
klaim 700 alat bukti akademik yang terus diulang pihak kuasa hukum Jokowi, namun tak satu pun dirinci secara terbuka.
700 Bukti, Nol Penjelasan Yakub Hasibuan berulang kali menyatakan bahwa terdapat sekitar 700 alat bukti akademik yang telah disita penyidik dan akan dibuka di persidangan.
Namun ketika Rismon meminta klarifikasi sederhana, apa saja bukti itu?,
jawaban yang muncul selalu sama:
nanti di pengadilan.
Bagi Rismon, pola ini bukan sekadar sikap hukum formal, tetapi penghindaran substansi.
Kalau 700 bukti itu ada, sebutkan satu saja yang paling mendasar: transkrip nilai asli, lembar pengesahan skripsi, tanda tangan penguji. Satu saja,
tegas Rismon.
Namun pertanyaan tersebut tak pernah dijawab. Bahkan Yakub terlihat kesulitan membedakan istilah akademik mendasar, seperti perbedaan antara lembar pengesahan skripsi dan lembar pengujian.
Dalam dunia akademik, ini bukan detail teknis, melainkan fondasi keabsahan.
Lisa UGM: AI yang Dibantah Tanpa Argumen
Namun pertanyaan tersebut tak pernah dijawab. Bahkan Yakub terlihat kesulitan membedakan istilah akademik mendasar, seperti perbedaan antara lembar pengesahan skripsi dan lembar pengujian.
Dalam dunia akademik, ini bukan detail teknis, melainkan fondasi keabsahan.
Lisa UGM: AI yang Dibantah Tanpa Argumen
Rismon juga menyinggung temuan dari Lisa UGM (Lean Intelligence Service Assistant), sistem AI berbasis data institusional UGM, yang menyatakan Jokowi bukan alumni UGM.
Alih-alih dijawab dengan verifikasi data tandingan, klaim AI tersebut justru diremehkan tanpa klarifikasi metodologis.
Alih-alih dijawab dengan verifikasi data tandingan, klaim AI tersebut justru diremehkan tanpa klarifikasi metodologis.
Tidak ada penjelasan apakah data Lisa keliru, tidak diperbarui, atau justru membuka fakta yang selama ini ditutup.
Kalau AI salah, buktikan salahnya di data. Bukan di opini,
ujar Rismon.
Kasmujo: Dari ‘Pembimbing’ ke ‘Bukan Apa-Apa’
Kasmujo: Dari ‘Pembimbing’ ke ‘Bukan Apa-Apa’
Puncak kontradiksi muncul saat membahas Ir. Kasmujo, sosok yang selama bertahun-tahun oleh media arus utama disebut sebagai pembimbing skripsi Jokowi.
Fakta lapangan yang diungkap Rismon justru menunjukkan sebaliknya:
Kasmujo sendiri, dalam pernyataan terbaru, menyatakan bukan pembimbing skripsi Jokowi, bahkan mengaku tidak pernah melihat ijazah Jokowi.
Namun kontradiksi publik tak terelakkan. Pada 2017, Jokowi secara terbuka menyampaikan terima kasih kepada Kasmujo atas “bimbingan skripsi” di hadapan publik dan media.
Bagi Rismon, ini bukan sekadar kekeliruan memori.
Fakta lapangan yang diungkap Rismon justru menunjukkan sebaliknya:
- Nama Kasmujo tidak tercantum dalam lembar pengesahan skripsi
- Tidak ada dalam prakata
- Tidak ada bukti administratif sebagai pembimbing akademik maupun skripsi
Kasmujo sendiri, dalam pernyataan terbaru, menyatakan bukan pembimbing skripsi Jokowi, bahkan mengaku tidak pernah melihat ijazah Jokowi.
Namun kontradiksi publik tak terelakkan. Pada 2017, Jokowi secara terbuka menyampaikan terima kasih kepada Kasmujo atas “bimbingan skripsi” di hadapan publik dan media.
Bagi Rismon, ini bukan sekadar kekeliruan memori.
Kalau seseorang berakting sebagai pembimbing di ruang publik, tapi namanya tidak ada dalam dokumen resmi, maka ada penipuan publik,
kata Rismon tegas.
KKN yang Tak Bertuan
KKN yang Tak Bertuan
Rismon juga mengungkap fakta mencolok terkait KKN di Desa Ketoyan. Berdasarkan penelusuran lapangan:
Sekali lagi, jawaban yang muncul: “nanti di persidangan.”
Ijazah: Produk Akhir Tanpa Proses yang Jelas
- Tidak ada saksi desa yang mengenal Jokowi sebagai peserta KKN
- Tidak ditemukan sertifikat KKN
- Tidak ada laporan resmi KKN
Sekali lagi, jawaban yang muncul: “nanti di persidangan.”
Ijazah: Produk Akhir Tanpa Proses yang Jelas
Dalam dunia akademik, ijazah adalah produk akhir dari proses panjang: kuliah, nilai, bimbingan, skripsi, penguji, KKN, dan administrasi fakultas.
Rismon menegaskan, jika prosesnya kabur, maka produk akhirnya patut dipertanyakan.
Uji Forensik Polri: Bukan Akhir, Tapi Awal
Rismon menegaskan, jika prosesnya kabur, maka produk akhirnya patut dipertanyakan.
Ijazah tanpa proses yang bisa diverifikasi bukan dokumen akademik, tapi artefak administratif.
Uji Forensik Polri: Bukan Akhir, Tapi Awal
Pihak kuasa hukum menyebut ijazah pembanding telah diuji forensik oleh Mabes Polri.
Namun Rismon mengingatkan, uji forensik kertas dan tinta tidak menjawab pertanyaan akademik.
Yang diuji bukan:
Yang diuji bukan:
- Apakah skripsi diuji secara sah
- Apakah pembimbingnya benar
- Apakah mahasiswa itu benar menjalani proses akademik
Publik Berhak Tahu Sekarang, Bukan Nanti
Debat ini menunjukkan satu hal: Rismon Sianipar hadir dengan pertanyaan, Yakub Hasibuan hadir dengan penundaan.
Dalam negara demokratis, transparansi akademik pejabat publik bukan penghinaan, melainkan kewajiban moral.
Dalam negara demokratis, transparansi akademik pejabat publik bukan penghinaan, melainkan kewajiban moral.
Menunda jawaban ke ruang sidang tanpa klarifikasi dasar di ruang publik hanya memperbesar kecurigaan.
Jika 700 bukti memang ada, satu saja cukup untuk menjawab keraguan publik.
Dan hingga kini, itu belum terjadi.
Jika 700 bukti memang ada, satu saja cukup untuk menjawab keraguan publik.
Dan hingga kini, itu belum terjadi.
(as)
#RismonSianipar #IjazahJokowi #700Bukti #UGM #TransparansiAkademik #KasusIjazah #DebatPublik #FaktaAkademik

