Lingkungan & Kebijakan
Fatahillah313, Jakarta - Banjir besar yang melanda Pulau Sumatra pada akhir November 2025 telah mencatat tragedi kemanusiaan, ekologis, dan politik yang mendalam.
Ribuan jiwa hilang atau terancam, ratusan ribu warga mengungsi, dan kerusakan lingkungan terlihat di mana-mana.
Namun, di balik hujan deras yang menghantam daratan Sumatra, terdapat narasi yang jauh lebih kompleks daripada sekadar “bencana alam”.
Ini adalah kisah tentang bagaimana kepentingan ekonomi, “pemburu rente,” dan kekuatan oligarki ikut menyusun risiko bencana yang seharusnya bisa diminimalkan – bahkan dicegah.
Banjir Sumatra: Bukan Semata Kelakuan Alam
Setiap banjir besar memicu refleksi instan:
alam sedang marah. Namun anggapan ini terlalu sederhana dan berpotensi menjadi kambing hitam atas kesalahan manusia sendiri.
Curah hujan tinggi mungkin memicu luapan air, tetapi skala dan dampak yang dialami Sumatra tahun ini, termasuk korban jiwa, hilangnya rumah, dan lanskap rusak, dipengaruhi oleh campur tangan manusia dalam pengelolaan lingkungan.
Analisis berbagai pengamat dan kelompok lingkungan menunjukkan bahwa deforestasi besar-besaran, alih fungsi lahan gambut, perkebunan intensif (sawit, karet), tambang, dan proyek infrastruktur di wilayah hulu sungai telah melemahkan kemampuan ekosistem untuk menyerap, menahan, dan mengatur aliran air.
Analisis berbagai pengamat dan kelompok lingkungan menunjukkan bahwa deforestasi besar-besaran, alih fungsi lahan gambut, perkebunan intensif (sawit, karet), tambang, dan proyek infrastruktur di wilayah hulu sungai telah melemahkan kemampuan ekosistem untuk menyerap, menahan, dan mengatur aliran air.
Bukit Barisan yang dulunya menyimpan fungsi hidrologis kini terserak dengan kanal, pemukiman, dan jalur akses tambang.
Pemburu Rente dan Oligarki: Di Balik Izin dan Konsesi
Istilah “pemburu rente” merujuk pada kelompok atau individu yang mengejar keuntungan dari pengaturan izin, konsesi, dan kebijakan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap masyarakat dan lingkungan.
Dalam konteks Sumatra, fenomena ini muncul lewat:
Apa yang seharusnya menjadi kebijakan kehati-hatian berubah menjadi arena akumulasi modal dalam skala besar.
- Konsesi besar untuk perkebunan sawit dan tambang yang diberikan tanpa kontrol ketat terhadap dampak lingkungan, bahkan dalam zona hulu kritis.
- Kolusi antara elit politik dan investor besar, yang menjadikan izin lahan sebagai komoditas ekonomi yang diperebutkan oligarki ekonomi.
- Proyek infrastruktur besar seperti pembangkit listrik, kanal drainase, dan jalan hulu yang justru memotong struktur alami lanskap, meningkatkan risiko longsor dan banjir.
Apa yang seharusnya menjadi kebijakan kehati-hatian berubah menjadi arena akumulasi modal dalam skala besar.
Akibatnya, fungsi ekologis daerah tangkapan air (DAS) tergerus, sementara keuntungan jangka pendek dialihkan ke segelintir aktor berkuasa.
Dampak Sosial dan Politik dari Banjir
Banjir berdampak jauh lebih luas daripada sekadar air yang meluap. Berikut ini wujudnya:
- Krisis kemanusiaan yang intens: ribuan orang kehilangan tempat tinggal, akses air bersih terputus, dan risiko kesehatan meningkat.
- Ancaman terhadap habitat satwa langka, termasuk Tapanuli orangutan yang populasinya telah sangat kritis.
- Tuntutan pertanggungjawaban masyarakat sipil yang menyoroti peran pemerintah dan korporasi dalam pengambilan keputusan ruang dan sumber daya.
Dalam banyak komunitas yang terdampak, ada perasaan bahwa suara mereka terpinggirkan dalam diskursus pembangunan dan perizinan; mereka hanya merasakan dampak ekologis dan sosial tanpa turut memperoleh manfaat ekonomi.
Kesalahan Kebijakan Publik yang Muncul ke Permukaan
Fenomena banjir Sumatra juga menjadi cermin buruknya penataan ruang dan pengelolaan risiko bencana. Beberapa kelemahan yang menjadi titik sorot:
- Pengawasan terhadap izin konsesi sering lemah dan tidak transparan.
- Evaluasi dampak lingkungan (AMDAL) terkadang dipandang formalitas semata, bukan alat perlindungan ekologis yang serius.
- Regulasi tentang perlindungan DAS dan zona hijau kurang konsisten dijalankan.
Membangun Kembali Lebih Adil dan Berkelanjutan
Belajar dari krisis ini berarti mengakui bahwa bencana besar bukan sekadar tragedi alam, melainkan peringatan tentang bagaimana kita mengelola hubungan antara masyarakat, alam, dan kekuatan ekonomi.
Langkah ke depan yang harus diperjuangkan meliputi:
Belajar dari krisis ini berarti mengakui bahwa bencana besar bukan sekadar tragedi alam, melainkan peringatan tentang bagaimana kita mengelola hubungan antara masyarakat, alam, dan kekuatan ekonomi.
Langkah ke depan yang harus diperjuangkan meliputi:
- Audit menyeluruh atas izin lahan dan konsesi untuk mengembalikan peran ekologis wilayah hulu.
- Penegakan hukum yang tegas terhadap praktik deforestasi ilegal, dan pencabutan izin yang merusak DAS.
- Penguatan tata kelola risiko bencana berbasis komunitas dan inklusif, mempertimbangkan pengetahuan lokal.
- Reformasi kebijakan yang menempatkan fungsi ekologis sebagai prioritas nasional, bukan hanya sebagai pajangan administratif.
Alam Tak Bersalah: Kita yang Harus Bertanggung Jawab
Hujan deras akan terus turun, dan pola iklim global akan terus berubah. Namun banjir dalam skala yang menghancurkan seperti yang dialami Sumatra 2025 bukanlah takdir yang tak bisa dihindari. Alam bukan musuh; manusia dan sistem yang memanfaatkan sumber daya tanpa aturan yang kuat lah yang telah menciptakan bencana struktural ini.
(as)
Sumber : theconversation
#BanjirSumatra2025 #Ekologi #TataKelolaLingkungan #Antikorupsi #PemulihanLingkungan #KebijakanPublik #Deforestasi #Oligarki #RisikoBencana
#BanjirSumatra2025 #Ekologi #TataKelolaLingkungan #Antikorupsi #PemulihanLingkungan #KebijakanPublik #Deforestasi #Oligarki #RisikoBencana

