POLITIK DAN HUKUM
Fatahillah313, Jakarta - Ketika sebuah dokumen diklaim sebagai “asli”, seharusnya polemik berakhir. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Setelah ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo disebut-sebut telah dibuka dan diperlihatkan dalam proses hukum, gelombang pertanyaan publik kembali menguat.
Tim peneliti independen yang selama ini vokal, dipimpin Roy Suryo bersama dr. Tifa dan dr. Rismon menyatakan satu sikap tegas:
Dalam forum pemaparan terbaru, Roy Suryo Cs mengklaim telah membandingkan tiga spesimen transkrip nilai Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985 yang mereka miliki dengan transkrip nilai yang disita kepolisian.
Secara historis, tinta cetak era tersebut cenderung mengalami efek bleeding atau dalam istilah Jawa, mbleber, melebar dan pecah seiring usia.
Analisis Fotografi Analog: Klaim Usia Dipersoalkan
Roy Suryo juga menyoroti pas foto pada ijazah yang diklaim berusia lebih dari empat dekade.
Garis Asing dan Dugaan Proses Cetak Ulang
Selain foto, Roy mengungkap adanya goresan atau garis di sisi kiri ijazah yang dianggap tidak lazim untuk dokumen akademik resmi.
Logo, Warna, dan Tinta yang Dinilai Janggal
Perhatian berikutnya tertuju pada logo Universitas Gadjah Mada. Menurut Roy Suryo Cs, warna logo pada ijazah yang diperlihatkan tidak menunjukkan karakteristik tinta lama.
Secara umum, tinta cetak lama cenderung mengalami pelebaran atau pecah seiring usia.
Transkrip Nilai: Inti Persoalan yang Dianggap Cacat
Jika ijazah menjadi simbol, maka transkrip nilai disebut Roy sebagai inti persoalan.
Polemik yang Belum Usai
Tim peneliti menyatakan kajian mereka belum berhenti dan masih akan dilanjutkan dengan pemaparan lebih rinci.
Selama akses verifikasi tetap terbatas dan kejanggalan teknis belum dijawab secara tuntas, polemik ini dipastikan akan terus bergulir di ruang publik.
(as)
#RoySuryoCs #IjazahJokowi #TranskripNilaiUGM #ForensikDokumen #BukaDataAkademik
keraguan mereka tidak hanya bertahan, tetapi justru semakin menguat.
Dalam forum pemaparan terbaru, Roy Suryo Cs mengklaim telah membandingkan tiga spesimen transkrip nilai Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985 yang mereka miliki dengan transkrip nilai yang disita kepolisian.
Hasilnya, menurut mereka, menunjukkan perbedaan yang “sangat signifikan” dan tidak bisa dijelaskan sebagai variasi administratif biasa.
Kami kekeh pada kesimpulan kami. Indikasi cacatnya sangat kuat. Bahkan jika harus kami sederhanakan, posisi kami tetap: 99,9 persen bermasalah,
tegas Roy Suryo.
Transparansi yang Setengah Jalan
Transparansi yang Setengah Jalan
Salah satu titik kritik utama adalah pembatasan akses terhadap dokumen yang diklaim sebagai ijazah asli tersebut.
Tim peneliti mengaku hanya diperbolehkan melihat sekilas, tanpa hak memegang, meraba ketebalan kertas, memeriksa embos, apalagi mendokumentasikan secara visual.
Padahal, dalam kajian forensik dokumen, tekstur kertas, kualitas embos, dan usia material adalah elemen krusial.
Padahal, dalam kajian forensik dokumen, tekstur kertas, kualitas embos, dan usia material adalah elemen krusial.
Bagaimana mungkin kami diminta percaya, sementara metode verifikasi dasar saja tidak diizinkan?
ujar Roy.
Analisis Fotografi Analog: Klaim yang Dipertanyakan
Analisis Fotografi Analog: Klaim yang Dipertanyakan
Roy Suryo, yang dikenal memiliki latar belakang kuat dalam fotografi analog, menyoroti pas foto pada ijazah yang diklaim berusia lebih dari 40 tahun.
Menurutnya, secara teknis foto tersebut terlalu tajam, terlalu bersih, dan terlalu “muda” untuk ukuran cetakan era film seluloid awal 1980-an.
Ia menjelaskan secara rinci proses fotografi analog:
Ia menjelaskan secara rinci proses fotografi analog:
mulai dari film, pengembang, fixer, pencucian, hingga pencetakan di kertas foto yang memiliki umur degradasi alami.
Ijazah saya sendiri yang baru 20-an tahun saja sudah mulai buram. Ini justru terlihat sangat segar,
katanya.
Bagi Roy, ini bukan soal asumsi politik, melainkan logika material.
Bagi Roy, ini bukan soal asumsi politik, melainkan logika material.
Logo, Warna, dan Watermark yang Tak Lazim Detail lain yang disorot adalah logo Universitas Gadjah Mada. Menurut Roy Suryo Cs, warna logo pada dokumen yang diperlihatkan tidak menunjukkan karakteristik tinta lama.
Secara historis, tinta cetak era tersebut cenderung mengalami efek bleeding atau dalam istilah Jawa, mbleber, melebar dan pecah seiring usia.
Namun pada dokumen yang diperlihatkan, logo tampak terlalu presisi dan bersih, seolah dicetak dengan teknologi modern.
Begitu pula watermark yang dinilai terlalu tipis dan embos yang tak bisa diverifikasi karena tidak boleh disentuh.
Begitu pula watermark yang dinilai terlalu tipis dan embos yang tak bisa diverifikasi karena tidak boleh disentuh.
Kalau embos itu asli, disentuh saja akan langsung terasa. Tapi kami dilarang,
ujar Roy.
Analisis Fotografi Analog: Klaim Usia Dipersoalkan
Roy Suryo juga menyoroti pas foto pada ijazah yang diklaim berusia lebih dari empat dekade.
Dengan latar belakang sebagai fotografer era analog yang terbiasa bekerja dengan film seluloid dan kamar gelap, Roy menyatakan keheranannya atas kondisi foto tersebut.
Menurutnya, foto pada dokumen itu tampak terlalu tajam, terlalu bersih, dan terlalu stabil untuk ukuran cetakan kertas foto era awal 1980-an, yang secara alami mengalami degradasi seiring waktu.
Menurutnya, foto pada dokumen itu tampak terlalu tajam, terlalu bersih, dan terlalu stabil untuk ukuran cetakan kertas foto era awal 1980-an, yang secara alami mengalami degradasi seiring waktu.
Kertas foto zaman itu punya umur. Semakin tua, biasanya semakin buram. Ini justru terlihat sangat segar,
katanya.
Bagi Roy, ini bukan persoalan persepsi visual semata, melainkan logika material fotografi analog.
Bagi Roy, ini bukan persoalan persepsi visual semata, melainkan logika material fotografi analog.
Garis Asing dan Dugaan Proses Cetak Ulang
Selain foto, Roy mengungkap adanya goresan atau garis di sisi kiri ijazah yang dianggap tidak lazim untuk dokumen akademik resmi.
Ia menduga garis tersebut merupakan artefak dari proses pencetakan modern, bukan ciri khas dokumen cetak lama.
Detail ini memperkuat dugaan tim bahwa dokumen tersebut kemungkinan pernah melalui proses cetak ulang atau reproduksi.
Logo, Warna, dan Tinta yang Dinilai Janggal
Perhatian berikutnya tertuju pada logo Universitas Gadjah Mada. Menurut Roy Suryo Cs, warna logo pada ijazah yang diperlihatkan tidak menunjukkan karakteristik tinta lama.
Secara umum, tinta cetak lama cenderung mengalami pelebaran atau pecah seiring usia.
Namun pada dokumen yang dipersoalkan, logo tampak sangat presisi, bersih, dan minim degradasi.
Hal serupa juga disoroti pada watermark dan embos. Watermark dinilai terlalu tipis, sementara embos tidak dapat diverifikasi karena tidak boleh disentuh secara langsung.
Hal serupa juga disoroti pada watermark dan embos. Watermark dinilai terlalu tipis, sementara embos tidak dapat diverifikasi karena tidak boleh disentuh secara langsung.
Embos asli bisa langsung dikenali hanya dengan sentuhan. Tapi kami tidak diberi akses itu,
ujar Roy.
Transkrip Nilai: Inti Persoalan yang Dianggap Cacat
Jika ijazah menjadi simbol, maka transkrip nilai disebut Roy sebagai inti persoalan.
Ia menegaskan bahwa perbedaan antara spesimen yang mereka miliki dan dokumen yang disita aparat sangat mencolok.
Menurut Roy Suryo Cs, perbedaan tersebut tidak hanya soal format, tetapi juga menyangkut struktur, tata letak, dan konsistensi administratif.
Menurut Roy Suryo Cs, perbedaan tersebut tidak hanya soal format, tetapi juga menyangkut struktur, tata letak, dan konsistensi administratif.
Kami punya spesimen pembanding. Dan perbedaannya nyata,
tegasnya.
Polemik yang Belum Usai
Tim peneliti menyatakan kajian mereka belum berhenti dan masih akan dilanjutkan dengan pemaparan lebih rinci.
Namun satu hal yang mereka garis bawahi:
klaim ‘dokumen asli’ tidak otomatis mengakhiri pertanyaan publik.
Selama akses verifikasi tetap terbatas dan kejanggalan teknis belum dijawab secara tuntas, polemik ini dipastikan akan terus bergulir di ruang publik.
(as)
#RoySuryoCs #IjazahJokowi #TranskripNilaiUGM #ForensikDokumen #BukaDataAkademik
#PolemikIjazah

