Lisa AI UGM Membisu Seribu Bahasa: Ketika ditanya "Apakah Pak Jokowi alumni Fakultas Kehutanan UGM?"


Fatahillah313, Yogyakarta - Di tengah gegap gempita kemajuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di Indonesia, publik justru dikejutkan oleh sebuah keheningan. 
Bukan keheningan biasa, melainkan “membisu seribu bahasa” dari Lisa AI UGM, sebuah produk kecerdasan buatan yang dikaitkan dengan salah satu kampus paling prestisius di Indonesia, Universitas Gadjah Mada.

Pertanyaan publik sederhana, bahkan nyaris remai: 
Apakah Pak Jokowi alumni Fakultas Kehutanan UGM?

Namun, jawaban yang diharapkan tak kunjung datang. Lisa AI justru terdiam. Tidak menjawab, tidak mengklarifikasi, tidak pula memberi penjelasan. 
Padahal, di saat yang sama, platform AI lain seperti ChatGPT maupun Gemini mampu menjawab dengan cepat dan lugas.

Lantas publik pun bertanya, dengan nada heran, satire, bahkan sinis: 
Lisa kou sedang apa? 
Katanya kemarin tidak bisa jawab. 
Masa kalah sama chat gemini?


AI Kampus dan Beban Nama Besar UGM 

Nama UGM bukan sekadar label institusi. Ia adalah simbol keilmuan, rasionalitas, dan keberanian akademik. 
Ketika sebuah AI membawa embel-embel UGM, publik secara otomatis menaruh ekspektasi tinggi: cerdas, presisi, dan berani menjawab fakta dasar.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Keheningan Lisa AI memunculkan kesan paradoksal: AI yang “cantik secara tampilan”, tetapi tumpul dalam menjawab pertanyaan elementer. 
Komentar publik pun bermunculan, sebagian bernada humor getir: 
Masa cantik-cantik enggak bisa jawab?

Ini bukan soal menjatuhkan, melainkan soal kepercayaan publik. AI bukan sekadar teknologi, tetapi medium pengetahuan. 
Ketika ia gagal menjawab pertanyaan faktual yang sudah lama beredar di ruang publik, maka yang dipertaruhkan bukan hanya performa sistem, melainkan kredibilitas institusi di belakangnya.


Pertanyaan Sederhana, Implikasi Besar 

Pertanyaan tentang latar belakang pendidikan Presiden Joko Widodo bukan isu baru, bukan pula wilayah abu-abu. 
Informasi tersebut telah berulang kali dibahas di ruang publik, media arus utama, bahkan dokumen resmi. 
Maka wajar jika publik heran ketika sebuah AI kampus memilih diam.

Diamnya Lisa AI memunculkan berbagai spekulasi:

    • Apakah basis datanya belum matang?
    • Apakah ada sensor berlebihan terhadap topik tertentu?
    • Ataukah AI ini memang belum siap dilepas ke ruang publik?

Di era keterbukaan informasi, diam justru bisa lebih berisik daripada jawaban.


Perbandingan Tak Terelakkan: Lisa vs AI Global 

Perbandingan dengan ChatGPT atau Gemini tak bisa dihindari. Bukan karena produk lokal harus selalu kalah, tetapi karena publik berharap AI kampus Indonesia mampu berdiri sejajar, bahkan unggul dalam konteks lokal.

Ironisnya, justru AI global yang lebih berani, lebih informatif, dan lebih responsif terhadap konteks Indonesia. 
Sementara Lisa AI, yang diharapkan menjadi rujukan pengetahuan lokal, malah tampak ragu pada fakta negerinya sendiri.


Momentum Evaluasi, Bukan Sekadar Kritik 

Fenomena ini seharusnya dibaca sebagai alarm akademik, bukan sekadar bahan ejekan media sosial. Lisa AI UGM perlu dievaluasi secara terbuka:

    • Dari sisi kurasi data
    • Desain etika AI
    • Hingga keberanian menjawab fakta publik

AI bukan hanya soal algoritma, tetapi juga kejujuran intelektual. Jika AI kampus tak mampu menjawab pertanyaan dasar, bagaimana mungkin ia dipercaya untuk isu-isu strategis?


AI Harus Bicara, Bukan Membisu 

Publik tidak menuntut kesempurnaan. Yang dituntut adalah keberanian menjawab, transparansi, dan akal sehat akademik. 
Lisa AI UGM masih punya waktu untuk berbenah, untuk membuktikan bahwa ia bukan sekadar etalase teknologi, melainkan benar-benar representasi kecerdasan kampus kerakyatan.

Sebab di era digital, AI yang diam bukanlah netral, ia justru sedang kehilangan relevansi.


(as)
#LisaAIUGM #AIKampus #UGM #KecerdasanBuatan #AIIndonesia #JokowiUGM #TeknologiDanEtika #AITransparan