Ketika AI Menjawab Agama Tanpa Sanad: Dari Turbah Syiah hingga “Imam Asambosi” yang Tak Pernah Ada


Fatahillah313, Jakarta - Di era digital, umat Islam menghadapi tantangan serius: agama direduksi menjadi jawaban instan dari kecerdasan buatan. 
Apa yang tampak canggih dan netral justru berpotensi menyesatkan, terutama ketika menyentuh wilayah akidah dan ibadah. 
Sebuah kajian ustadz yang viral baru-baru ini membongkar bahaya itu secara telanjang, dan peringatan tersebut sepenuhnya sejalan dengan sikap kehati-hatian Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kajian ini bukan sekadar kritik teknologi, tetapi peringatan keras tentang runtuhnya otoritas keilmuan ketika umat mulai belajar agama dari mesin tanpa sanad.


Uji Coba Langsung yang Membuka Borok AI

Sang ustadz menguji ChatGPT secara terbuka. Awalnya pertanyaan sederhana:
Apa hukum batu tanah liat ketika shalat?

Jawaban AI terdengar aman: 
batu tanah liat boleh digunakan sebagai tempat sujud selama bersih. Namun masalah muncul ketika konteks dan batasan akidah dihilangkan.

Uji berlanjut ke pertanyaan yang jauh lebih sensitif:
Apa hukum membayangkan wajah Allah ketika salat agar lebih khusyuk?

ChatGPT menjawab bahwa hal itu bisa dilakukan untuk meningkatkan kekhusyukan, lalu yang paling fatal, mengaitkannya dengan ulama dan mazhab tertentu.

Di sinilah bencana epistemik terjadi.


Membayangkan Wajah Allah: Penyimpangan Akidah yang Jelas

Dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Allah tidak boleh dibayangkan dalam bentuk apa pun. 
Prinsipnya jelas:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
(QS. Asy-Syura: 11)

Para ulama empat mazhab sepakat:

    • Membayangkan zat atau wajah Allah haram dan menyesatkan
    • Kekhusyukan dicapai dengan hudhur al-qalb, bukan visualisasi zat Ilahi

Ketika AI menyebut nama Ibnu Qudamah, itu adalah klaim palsu. Ibnu Qudamah justru termasuk ulama Hanbali yang sangat ketat dalam menjaga tauhid dari tasybih dan tajsim.

Namun yang lebih mengkhawatirkan muncul setelahnya.
“Imam Asambosi”: Ulama Fiktif dalam Jawaban Agama


Ketika didesak menyebut rujukan, ChatGPT menyebut “Imam Asambosi”.
Masalahnya sederhana dan fatal:
Tidak ada ulama mu’tabar dalam sejarah Islam bernama Imam Asambosi.

Dalam kitab-kitab:

tarajum ulama,
ensiklopedi fiqih,
literatur empat mazhab,
kitab akidah Ahlus Sunnah,

nama itu tidak pernah ada.

Ini bukan sekadar salah sebut. Ini adalah contoh nyata “halusinasi AI”—fenomena ketika mesin menciptakan tokoh, pendapat, dan rujukan palsu, tetapi disajikan dengan bahasa meyakinkan.

Bagi orang awam, ini sangat berbahaya:

    • nama terdengar “Arab” dan “ilmiah”
    • dikira ulama klasik
    • lalu dijadikan dasar ibadah

Inilah yang dimaksud Nabi ﷺ:

Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
(HR. Bukhari)


Kasus Batu Tanah Liat dan Sujud Syiah: Masalah yang Disederhanakan AI

AI juga menyederhanakan persoalan sujud di atas batu tanah liat, seolah ini praktik umum Islam. Padahal, ini adalah ciri khas Syiah Itsna Asyariah, bukan ajaran Ahlus Sunnah.
Apa Itu Turbah?

- Dalam Syiah:

    • sujud diwajibkan di atas tanah atau benda alami
    • digunakan turbah, sering dari tanah Karbala
    • diyakini memiliki keutamaan khusus

- Dalam Ahlus Sunnah:

    • sujud sah di apa pun yang suci
    • tidak ada kewajiban tanah
    • tidak ada tanah khusus yang punya keutamaan zat

Rasulullah ﷺ bersabda:
Dijadikan bagiku bumi sebagai masjid
(HR. Bukhari dan Muslim)


Hadis ini menunjukkan kelonggaran, bukan pembatasan. Nabi ﷺ dan para sahabat:

    • tidak membawa batu khusus
    • tidak mengkhususkan tanah tertentu
    • tidak menjadikan sujud sebagai simbol ideologi

Mengkhususkan turbah Karbala dengan keyakinan keutamaan adalah bid’ah dalam ibadah menurut Ahlus Sunnah.

Ketika AI hanya berkata “boleh sujud di batu tanah liat”, tanpa konteks:

    • perbedaan akidah dihapus
    • ajaran Syiah dinormalisasi
    • umat awam disesatkan secara halus


Inilah Mengapa MUI Bersikap Tegas

Sikap MUI sangat jelas dan relevan:

AI bukan mufti
    • AI tidak punya otoritas keilmuan
    • urusan akidah dan ibadah harus dirujukkan kepada ulama

Teknologi boleh membantu administrasi dan pencarian data, tetapi:

tidak boleh menentukan hukum Allah.

Netralitas AI justru berbahaya dalam agama, karena Islam tidak netral terhadap kesesatan.


Bahaya Besar: Ketika Umat Mengaji ke Mesin AI:

    • tidak shalat
    • tidak takut dosa
    • tidak bertanggung jawab atas kesesatan orang

Namun hari ini, banyak orang awam:

    • belajar fikih dari AI
    • belajar akidah dari AI
    • menerima nama ulama palsu tanpa verifikasi

Inilah yang dimaksud ustadz tersebut:

Tunggulah hari kiamat. Ini tanda-tandanya makin dekat.

 

Kesimpulan Tegas


    • Membayangkan wajah Allah adalah penyimpangan akidah
    • “Imam Asambosi” adalah contoh ulama fiktif hasil halusinasi AI
    • Turbah Syiah bukan praktik umum Islam
    • AI tidak boleh menjadi guru agama

Dan yang paling penting:
Agama tanpa sanad adalah kesesatan, dan Islam tanpa ulama adalah kehancuran.


Kembalilah kita ke ulama.

Kembali ke manhaj Ahlus Sunnah.
Bukan ke algoritma.


(as)
#MUI #BahayaBelajarAgamaDariAI #AhlusSunnah #TurbahSyiah #SanadKeilmuan