Fatahillah313, Mega Mendung - Ketika musibah datang bertubi-tubi, pertanyaan paling mendasar bukan sekadar soal alam, tetapi tentang kejujuran, kepemimpinan, dan keberpihakan pada penderitaan rakyat.
Bencana besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukanlah peristiwa kecil yang bisa disederhanakan sebagai “hujan deras” atau “ramai di media sosial”.
Ia adalah luka kolektif bangsa.
Namun hingga hari ini, pertanyaan itu tetap menggantung di langit nurani: mengapa bencana sebesar ini belum juga ditetapkan sebagai bencana nasional?
Pertanyaan inilah yang dengan lantang, penuh keprihatinan sekaligus kritik moral, disampaikan oleh Imam Besar Habib Rizieq Shihab (IB HRS) dalam ceramahnya.
Pertanyaan inilah yang dengan lantang, penuh keprihatinan sekaligus kritik moral, disampaikan oleh Imam Besar Habib Rizieq Shihab (IB HRS) dalam ceramahnya.
Sebuah seruan yang bukan sekadar kritik politik, melainkan panggilan iman dan akal sehat.
Bencana dan Introspeksi: Jangan Saling Menyalahkan, Tapi Saling Menyadarkan
Masalah Besar: Ketika Laporan ABS dari orang dekat Presiden
Dalam kondisi seperti ini, penetapan bencana nasional menjadi krusial, bukan soal gengsi, melainkan soal kecepatan, fokus, dan keterbukaan bantuan.
Belajar dari Sejarah: Bencana Nasional azaz kemanusiaan, Bukan Aib
Bantuan sekecil apa pun, dari dalam atau luar negeri, harus diterima dengan adab dan rasa terima kasih, bukan direndahkan.
Bencana dan Introspeksi: Jangan Saling Menyalahkan, Tapi Saling Menyadarkan
Dalam pandangan IB HRS, bencana tidak boleh disikapi dengan saling menyalahkan.
Baik ulama, umara (penguasa), maupun rakyat, semuanya harus bercermin pada diri sendiri.
Masyarakat yang merusak lingkungan, pejabat yang memberi izin serampangan, pengusaha yang menggunduli hutan, hingga pengambil kebijakan yang abai, semuanya memiliki bagian tanggung jawab.
Masyarakat yang merusak lingkungan, pejabat yang memberi izin serampangan, pengusaha yang menggunduli hutan, hingga pengambil kebijakan yang abai, semuanya memiliki bagian tanggung jawab.
Maka bencana bukan sekadar fenomena alam, tetapi akumulasi dari kelalaian manusia.
Namun yang lebih berbahaya, menurut IB HRS, adalah ucapan dan sikap yang tengil, pernyataan pejabat yang meremehkan penderitaan rakyat, menyalahkan hujan, wisatawan, bahkan menyebut bencana hanya “heboh di medsos”.
Bencana bukan salah hujan, melainkan rusaknya tata kelola alam dan nurani.
Al-Qur’an dan Bencana: Janji Keberkahan dan Peringatan Azab
Namun yang lebih berbahaya, menurut IB HRS, adalah ucapan dan sikap yang tengil, pernyataan pejabat yang meremehkan penderitaan rakyat, menyalahkan hujan, wisatawan, bahkan menyebut bencana hanya “heboh di medsos”.
Hujan itu rahmat Allah. Dari dulu hujan ada, tapi kenapa dulu tidak separah ini? Karena hutannya masih ada, tanahnya masih dijaga.
Bencana bukan salah hujan, melainkan rusaknya tata kelola alam dan nurani.
Al-Qur’an dan Bencana: Janji Keberkahan dan Peringatan Azab
IB HRS mengajak umat kembali membuka Surah Al-A’raf ayat 96-99, sebuah pesan ilahiah yang sangat relevan dengan realitas hari ini.
Allah berjanji:
Namun sebaliknya, ketika aturan Allah didustakan, hukum alam dirusak, dan kezaliman dibiarkan, maka musibah datang sebagai peringatan atau azab, tergantung pada siapa yang tertimpa.
IB HRS membagi musibah dalam tiga makna:
Karena itu, tidak boleh gegabah menuduh satu daerah sebagai daerah azab.
Allah berjanji:
Jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, niscaya akan dilimpahkan keberkahan dari langit dan bumi.
Namun sebaliknya, ketika aturan Allah didustakan, hukum alam dirusak, dan kezaliman dibiarkan, maka musibah datang sebagai peringatan atau azab, tergantung pada siapa yang tertimpa.
IB HRS membagi musibah dalam tiga makna:
- Ujian bagi orang-orang saleh untuk meninggikan derajat.
- Peringatan bagi orang beriman yang masih lalai agar kembali kepada Allah.
- Azab bagi mereka yang terus-menerus bermaksiat dan menolak kebenaran.
Karena itu, tidak boleh gegabah menuduh satu daerah sebagai daerah azab.
Aceh dan Sumatera penuh dengan orang-orang saleh.
Yang benar adalah setiap individu harus bertanya:
musibah ini peringatan apa pelajaran bagi saya?
Masalah Besar: Ketika Laporan ABS dari orang dekat Presiden
Salah satu kritik paling tajam IB HRS tertuju pada budaya laporan asal pimpinan senang.
Ia mencontohkan bagaimana seorang menteri berani menyatakan listrik di Aceh sudah menyala, padahal faktanya masih padam.
Inilah yang dikhawatirkan:
Kalau menteri berani bohongi presiden di depan kamera, bagaimana laporan-laporan yang tidak kita lihat?
Inilah yang dikhawatirkan:
presiden yang berniat baik, tetapi dikelilingi orang laporan palsu. Lumpur disebut sudah dikeruk, korban disebut sudah tertangani, tenda-tenda disebut sudah berdiri, padahal kenyataan di lapangan berkata lain.
Dalam kondisi seperti ini, penetapan bencana nasional menjadi krusial, bukan soal gengsi, melainkan soal kecepatan, fokus, dan keterbukaan bantuan.
Belajar dari Sejarah: Bencana Nasional azaz kemanusiaan, Bukan Aib
IB HRS mengingatkan sejarah:
Maka pertanyaannya sah: Mengapa sekarang justru ragu?
Solidaritas Tanpa Sekat: Kemanusiaan di Atas Segalanya
- Tsunami Aceh 2004 ditetapkan sebagai bencana nasional oleh Presiden SBY, hasilnya pemulihan cepat dan masif.
- Tsunami NTT era Soeharto juga langsung diumumkan sebagai bencana nasional.
- Bahkan Presiden Prabowo, saat masih oposisi pada 2015, mendesak agar Karhutla Riau ditetapkan sebagai bencana nasional.
Maka pertanyaannya sah: Mengapa sekarang justru ragu?
Saya yakin presidennya baik. Tapi saya khawatir ada pembisik yang tidak benar.
Solidaritas Tanpa Sekat: Kemanusiaan di Atas Segalanya
IB HRS menegaskan, dalam bencana tidak boleh ada sekat suku, agama, ormas, atau politik.
FPI telah mengirim relawan, mendirikan dapur umum, dan menyalurkan bantuan tanpa memandang latar belakang korban.
Dalam bencana, kita bantu semua. Islam atau non-Islam. Ini urusan kemanusiaan.
Bantuan sekecil apa pun, dari dalam atau luar negeri, harus diterima dengan adab dan rasa terima kasih, bukan direndahkan.
Jangan Tunggu Luka Jadi Kuburan
Seruan IB HRS bukan sekadar kritik, melainkan peringatan keras agar negara tidak terlambat bertindak. Menetapkan bencana nasional bukan tanda kelemahan, melainkan keberanian moral untuk menyelamatkan rakyat.
Semoga Allah menjaga Aceh dan Sumatera. Semoga musibah ini menjadi jalan taubat, perbaikan, dan keadilan.
Semoga Allah menjaga Aceh dan Sumatera. Semoga musibah ini menjadi jalan taubat, perbaikan, dan keadilan.
Dan semoga para pemimpin diberi keberanian untuk jujur melihat kenyataan.
Wallahu a‘lam.
(as)
#BencanaNasional #AcehBerduka #SumateraBerduka #SuaraUmat #KeadilanBencana #NegaraHadir

