Polemik Rangkap Jabatan Polri dan Ujian Negara Hukum
Fatahillah313, Jakarta - Suasana Indonesia Lawyers Club (ILC) malam itu terasa seperti ruang sidang konstitusi yang diperluas. Bukan palu hakim yang mengetuk, melainkan argumen-argumen hukum yang saling berhadapan.
Jimly Asshiddiqie: Masalahnya Bukan Niat, tapi Tata Hukum
Dr. Refly Harun tampil paling konfrontatif secara intelektual. Bukan karena retorika emosional, melainkan karena ia membawa diskusi ini naik kelas, dari sekadar konflik regulasi ke persoalan konstitusi dan arah negara hukum.
Ini Bukan hanya persoalan Perpol, Ini Soal Konstitusi
Di satu sisi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114. Di sisi lain, Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang diterbitkan Kapolri.
Publik pun bertanya: mana yang lebih kuat, putusan MK atau Perpol Kapolri.Pertanyaan itu sederhana, tetapi jawabannya membuka lapisan persoalan yang jauh lebih kompleks: tentang batas kewenangan, tafsir konstitusi, dan arah reformasi Polri dalam negara hukum demokratis.
Awal Polemik: Putusan MK dan Respons Polri
Putusan MK Nomor 114 pada dasarnya membatalkan sebagian penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya frasa “atau berdasarkan penugasan Kapolri”.
Frasa inilah yang selama bertahun-tahun menjadi pintu masuk legal bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil di luar struktur kepolisian.
Mahkamah menegaskan satu prinsip kunci:
Putusan ini dimaksudkan untuk menutup celah multitafsir yang selama ini meluas.
Mahkamah menegaskan satu prinsip kunci:
Anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun, kecuali jabatan tersebut masih memiliki sangkut paut langsung dengan tugas kepolisian.
Putusan ini dimaksudkan untuk menutup celah multitafsir yang selama ini meluas.
Namun, alih-alih meredam polemik, respons Polri justru memantik perdebatan baru:
Perpol 10/2025 yang mengatur penugasan anggota Polri aktif di 17 kementerian dan lembaga.Apakah Perpol ini merupakan bentuk kepatuhan, atau justru pembangkangan terselubung terhadap putusan MK?
Jimly Asshiddiqie: Masalahnya Bukan Niat, tapi Tata Hukum
Ketua Tim Percepatan Reformasi Polri, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, tampil dengan nada tenang namun tegas.
Ia menilai polemik ini seharusnya dilihat secara sistemik, bukan emosional.
Jimly mengungkap fakta mencengangkan:
Putusan MK itu mengubah undang-undang. Maka setiap peraturan di bawahnya wajib membaca undang-undang plus putusan MK.
Jimly mengungkap fakta mencengangkan:
📌 4.448 personel Polri saat ini bertugas di luar struktur Polri
📌 380 di antaranya menduduki jabatan struktural
📌 Selebihnya adalah staf pendukung dan pengamanan
Menurutnya, persoalan bukan sekadar boleh atau tidak, tetapi harus diatur secara tegas dan rinci, seperti dalam UU TNI yang secara eksplisit menyebut jabatan apa saja yang boleh diisi prajurit aktif.
Ia mengkritik Perpol 10/2025 dari sisi legal drafting, karena dalam konsideransnya tidak mencantumkan Putusan MK sebagai dasar hukum.
Menurutnya, persoalan bukan sekadar boleh atau tidak, tetapi harus diatur secara tegas dan rinci, seperti dalam UU TNI yang secara eksplisit menyebut jabatan apa saja yang boleh diisi prajurit aktif.
Ia mengkritik Perpol 10/2025 dari sisi legal drafting, karena dalam konsideransnya tidak mencantumkan Putusan MK sebagai dasar hukum.
Dari sisi format saja sudah keliru. Ini yang membuat publik mudah berkesimpulan bahwa Perpol tidak menindaklanjuti putusan MK.Namun Jimly juga menekankan:
niat Polri bukan melawan MK, melainkan mencari solusi transisional bagi ribuan personel yang sudah terlanjur ditempatkan.Solusinya?
➡️ Peraturan Pemerintah (PP) terintegrasi sebagai jembatan
➡️ Dilanjutkan revisi UU Polri
Patrialis Akbar: MK Tidak Pernah Melarang Secara Absolut
Patrialis Akbar: MK Tidak Pernah Melarang Secara Absolut
Mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengambil posisi berbeda. Ia menilai publik terlalu jauh menarik kesimpulan.
Ia bahkan menilai kehadiran Polri di kementerian strategis justru mempercepat koordinasi dan penegakan hukum, terutama di sektor rawan seperti imigrasi, lingkungan hidup, dan sumber daya alam.
Refly Harun: Ini Soal Konstitusi, Bukan Sekadar Perpol
MK tidak pernah melarang Polri berada di luar. MK hanya menegaskan batas.Menurut Patrialis, Perpol justru mengakomodasi semangat putusan MK, dengan membatasi jabatan, menuntut kompetensi, dan melarang rangkap jabatan struktural di Polri.
Ia bahkan menilai kehadiran Polri di kementerian strategis justru mempercepat koordinasi dan penegakan hukum, terutama di sektor rawan seperti imigrasi, lingkungan hidup, dan sumber daya alam.
Refly Harun: Ini Soal Konstitusi, Bukan Sekadar Perpol
Dr. Refly Harun tampil paling konfrontatif secara intelektual. Bukan karena retorika emosional, melainkan karena ia membawa diskusi ini naik kelas, dari sekadar konflik regulasi ke persoalan konstitusi dan arah negara hukum.
Ini Bukan hanya persoalan Perpol, Ini Soal Konstitusi
Kita jangan berhenti di level undang-undang dan Perpol. Kita harus naik ke level konstitusi,
tegas Refly Harun membuka pandangannya.
Bagi Refly, perdebatan ini tidak boleh direduksi menjadi konflik teknis antara putusan MK Nomor 114 dan Perpol Nomor 10 Tahun 2025.
Akar masalahnya jauh lebih mendasar:
bagaimana kita memposisikan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Ia mengingatkan bahwa putusan MK bukan sekadar produk yudisial, melainkan tafsir resmi atas konstitusi (the interpretation of the Constitution).
Dalam hierarki hukum, tafsir konstitusi tidak bisa diposisikan sejajar, apalagi lebih rendah, dari Perpol yang bersifat administratif internal.
Undang-undang yang sudah diuji MK itu tidak bisa dibaca polos lagi. Ia harus dibaca bersama putusan MK.Dan Perpol wajib tunduk ke situ,
kata Refly.
Masalah Frasa, Masalah Kekuasaan
Masalah Frasa, Masalah Kekuasaan
Putusan MK memang hanya membatalkan sebagian penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri, tepatnya frasa “atau berdasarkan penugasan Kapolri”.
Namun menurut Refly, frasa inilah yang selama bertahun-tahun menjadi pintu penyelundupan hukum.Dengan frasa itu, praktik penugasan anggota aktif Polri ke jabatan sipil di luar kepolisian menjadi seolah sah, selama ada “penugasan”.
Begitu frasa itu dicoret MK, seluruh bangunan tafsir lama runtuh,
ujar Refly.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih melakukan koreksi struktural, Polri menerbitkan Perpol yang, menurut Refly, secara substansi mencoba mempertahankan praktik lama dengan kemasan baru.
Polri: Alat Negara atau Polisi Sipil?
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih melakukan koreksi struktural, Polri menerbitkan Perpol yang, menurut Refly, secara substansi mencoba mempertahankan praktik lama dengan kemasan baru.
Polri: Alat Negara atau Polisi Sipil?
Refly membawa diskusi ke medan yang jarang disentuh secara terbuka: identitas Polri itu sendiri.
Dalam Pasal 30 UUD 1945, TNI dan Polri memang sama-sama disebut sebagai alat negara.
Dalam Pasal 30 UUD 1945, TNI dan Polri memang sama-sama disebut sebagai alat negara.
Namun Refly mengkritik konstruksi ini.
Polisi seharusnya human security, bukan state security.Tugasnya melindungi manusia, bukan mempertahankan negara secara militeristik,
katanya.
Masalah muncul ketika Polri mempertahankan struktur komando militeristik, tetapi sekaligus masuk ke ruang sipil dan birokrasi. Kombinasi ini, menurut Refly, berbahaya bagi demokrasi.
Masalah muncul ketika Polri mempertahankan struktur komando militeristik, tetapi sekaligus masuk ke ruang sipil dan birokrasi. Kombinasi ini, menurut Refly, berbahaya bagi demokrasi.
Polri itu bersenjata, punya struktur komando, dan punya alat hukum, menangkap, menahan, menetapkan tersangka.Kalau kekuasaan ini masuk ke mana-mana tanpa batas, siapa yang mengawasi?
Loyalitas Ganda dan Bahaya Kekuasaan Terpusat
Salah satu kritik paling tajam Refly menyentuh isu loyalitas.
Jika seorang pejabat di lembaga sipil berasal dari Polri aktif, kepada siapa ia loyal? Presiden? Menteri? Atau Kapolri yang menentukan karier dan pangkatnya?
Dalam sistem komando, loyalitas itu vertikal. Dan itu tidak bisa dihapus dengan retorika administrasi,
ujar Refly.
Di titik ini, Refly bahkan melontarkan peringatan keras:
Dua Jalan Reformasi: Pilih Salah Satu
Di titik ini, Refly bahkan melontarkan peringatan keras:
Dalam kondisi ekstrem, Kapolri bisa menjadi lebih powerful dari Presiden jika ini dibiarkan.
Dua Jalan Reformasi: Pilih Salah Satu
Refly tidak berhenti pada kritik. Ia menawarkan dua pilihan besar, dan menegaskan bahwa negara tidak bisa berdiri di tengah-tengah.
1. Jalan pertama:
1. Jalan pertama:
Polri direformasi menjadi polisi sipil sepenuhnya, tanpa struktur komando teritorial ala militer. Jika ini ditempuh, maka keterlibatan Polri di jabatan sipil bisa lebih terbuka.
2. Jalan kedua:
2. Jalan kedua:
Polri tetap sebagai alat negara dengan struktur komando kuat, tetapi dilarang keras menduduki jabatan sipil di luar fungsi kepolisian.
Yang tidak boleh itu ambil dua-duanya. Itu berbahaya,
tegas Refly.
Perpol Bukan Jawaban Akhir Refly mengakui adanya kebutuhan transisi dan solusi administratif. Namun ia menegaskan: Perpol bukan jawaban final.
Perpol Bukan Jawaban Akhir Refly mengakui adanya kebutuhan transisi dan solusi administratif. Namun ia menegaskan: Perpol bukan jawaban final.
Kalau mau jujur secara konstitusional, ini harus diatur di undang-undang. Atau bahkan konstitusi jika perlu,
katanya.
Selama Perpol dijadikan alat tambal sulam, polemik akan terus berulang, dan kepercayaan publik terhadap reformasi Polri akan terus tergerus.
Polri dan Kompolnas:
Selama Perpol dijadikan alat tambal sulam, polemik akan terus berulang, dan kepercayaan publik terhadap reformasi Polri akan terus tergerus.
Polri dan Kompolnas:
Di Antara Kekosongan Hukum dan Kenyataan
Perpol 10/2025 dipandang sebagai:
Kesimpulan Redaksi Polemik Perpol vs Putusan MK bukan konflik personal, melainkan ujian kedewasaan negara hukum Indonesia.
Sosial Perwakilan internal Polri dan Kompolnas menegaskan satu hal:
putusan MK tidak berlaku surut, sementara ribuan personel sudah bertugas di luar.
Perpol 10/2025 dipandang sebagai:
✔️ aturan transisi
✔️ upaya menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum)
✔️ Jembatan menuju PP dan revisi UU
Kompolnas menilai, secara filosofis, MK tidak membatalkan total, melainkan membatasi secara relatif, sehingga masih membuka ruang penugasan dengan syarat ketat.
Inti Persoalan: Integritas, Bukan Sekadar Regulasi
Kompolnas menilai, secara filosofis, MK tidak membatalkan total, melainkan membatasi secara relatif, sehingga masih membuka ruang penugasan dengan syarat ketat.
Inti Persoalan: Integritas, Bukan Sekadar Regulasi
Di penghujung diskusi, satu kata mencuat sebagai benang merah: integritas.
Bukan hanya soal siapa yang boleh menjabat di mana, tetapi:
Seperti ruang sidang yang tak kunjung ditutup, polemik ini belum berakhir.
Bukan hanya soal siapa yang boleh menjabat di mana, tetapi:
- Apakah hukum benar-benar menjadi panglima?
- Apakah kekuasaan mau tunduk pada tafsir konstitusi?
- Apakah reformasi Polri berjalan struktural, bukan kosmetik?
Seperti ruang sidang yang tak kunjung ditutup, polemik ini belum berakhir.
Namun satu hal pasti:
dalam negara hukum, putusan MK bukan sekadar pendapat, melainkan perintah konstitusi.Perpol boleh menjadi jembatan, tetapi konstitusi tetap fondasinya.
Kesimpulan Redaksi Polemik Perpol vs Putusan MK bukan konflik personal, melainkan ujian kedewasaan negara hukum Indonesia.
Selama PP dan revisi UU Polri belum terbit, perdebatan akan terus hidup, dan publik berhak mengawasinya.
(as)
#PerpolVsMK #RangkapJabatanPolri #PutusanMK114 #ReformasiPolri #NegaraHukum #ILC #Konstitusi

