Roy Suryo Cs Desak Polisi Gunakan Forensik Independen: Belajar dari Luka Keadilan Kasus Ferdy Sambo.



Fatahillah313, Jakarta - Di hadapan hukum, semua manusia seharusnya setara. 

Namun pengalaman bangsa ini berulang kali mengajarkan bahwa kesetaraan itu kerap diuji justru di ruang-ruang paling sakral: ruang penyidikan, ruang forensik, dan ruang narasi resmi negara.

Dari sanalah suara Roy Suryo dan tim kuasa hukum serta aktivis yang menyertainya bergema, bukan dengan amarah, melainkan dengan peringatan moral yang keras namun bernada cinta pada institusi.

Hari itu, langkah mereka tertuju ke Reskrimum Polda Metro Jaya. Bukan untuk menciptakan kegaduhan, bukan pula untuk mendikte aparat penegak hukum, melainkan untuk mengingatkan: 

keadilan hanya akan berdiri kokoh jika kebenaran diuji secara independen, transparan, dan akuntabel.


Mencintai Polri dengan Cara Mengoreksi

Sejak awal, pesan yang disampaikan tegas namun jernih: 

kritik ini bukan wujud kebencian, melainkan bentuk kasih sayang terhadap institusi kepolisian. 

Sebab institusi yang besar bukanlah institusi yang anti-kritik, melainkan yang bersedia bercermin ketika muncul anomali.

Roy Suryo Cs menegaskan, mereka datang menindaklanjuti rekomendasi gelar perkara khusus yang sebelumnya telah diumumkan Polda Metro Jaya. 

Namun ada satu catatan serius: 

hingga hari itu, pihak pelapor belum menerima surat resmi hasil rekomendasi dari bagian pengawas penyidikan. 

Padahal, dalam praktik sebelumnya, seperti di Bareskrim Polri, dokumen resmi justru disampaikan kepada pelapor sebelum konferensi pers dilakukan.

Di kasus ini, mereka mengajukan pertanyaan etis: 

mengapa standar profesionalisme bisa berbeda?



Forensik Independen: Bukan Tuduhan, Tapi Kebutuhan

Puncak dari desakan ini adalah permintaan agar dilakukan uji laboratorium forensik independen terhadap barang bukti dokumen pendidikan yang menjadi objek perkara. 

Bagi mereka, uji forensik internal saja tidak cukup untuk menjawab keraguan publik yang semakin meluas.

Permintaan ini bukan tanpa dasar. 

Mereka merujuk pada satu luka bangsa yang belum sepenuhnya sembuh: 

kasus pembunuhan Brigadir J (Nofriansyah Yosua Hutabarat).

Kita masih ingat, bagaimana awalnya publik disuguhi narasi resmi “tembak-menembak”. Lengkap dengan hasil forensik internal kepolisian. 

Namun sejarah mencatat, kebenaran akhirnya muncul justru setelah dilakukan forensik ulang oleh institusi independen, yakni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 

Hasilnya bertolak belakang. Luka tembak jarak dekat membongkar kebohongan besar. Pengakuan Bharada E pun membuka tabir: 

pembunuhan berencana atas perintah atasan.


Kasus itu menjadi cermin pahit: forensik internal bisa keliru, bahkan bisa disalahgunakan.


Ijazah, Bukan Sekadar Kertas

Dalam konteks perkara ijazah yang kini dipersoalkan, Roy Suryo dan tim menegaskan satu hal penting: ditunjukkannya barang bukti kepada pelapor bukanlah akhir perkara. Itu bukan “lampu hijau”, bukan pula bukti keabsahan. 

Proses hukum sesungguhnya baru akan menemukan kebenarannya di persidangan, hingga putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).


Namun setelah diberi akses melihat, sekadar melihat, tanpa menyentuh apalagi meneliti, keyakinan mereka justru menguat. 

Secara kasat mata, menurut mereka, dokumen tersebut memiliki kemiripan mencolok dengan salinan yang telah lama beredar di publik. 

Foto, ekspresi wajah, hingga detail fisik dinilai tidak merepresentasikan sosok Joko Widodo sebagaimana dikenal masyarakat.

Pernyataan ini diperkuat oleh kesaksian ahli forensik digital dan identifikasi wajah yang secara spontan menyatakan: “Ini bukan foto Jokowi.”


Mengapa Harus Independen?

Di sinilah letak urgensinya. Jika dalam kasus penghilangan nyawa saja, seperti Brigadir J, narasi dan hasil forensik internal terbukti menyesatkan publik, maka dalam perkara administratif seperti ijazah, potensi bias atau intervensi tentu lebih terbuka.

Untuk menutup semua prasangka, Roy Suryo Cs mengusulkan dua lembaga yang dinilai kredibel dan independen:

    1. BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)
    2. Laboratorium Forensik Universitas Indonesia

Keduanya dipilih bukan untuk mempermalukan institusi Polri, bukan pula untuk menyeret persoalan ini ke ranah internasional. 

Justru sebaliknya, ini adalah ikhtiar menyelesaikan masalah di rumah sendiri, dengan cara yang bermartabat.


Hukum Bukan Sekadar Teks termaktub, Tapi Kebijakan dan Keadilan

Benar, uji forensik independen tidak secara eksplisit diatur dalam KUHAP.

Namun hukum acara pidana Indonesia juga memberi ruang diskresi kepada penyidik. Sejarah telah membuktikan: 

otopsi ulang Brigadir J, pembukaan segel barang bukti, hingga penunjukan ahli di luar institusi Polri, semuanya lahir dari keberanian mengambil kebijakan.


Maka pertanyaannya kini sederhana, namun menentukan: Apakah kepolisian bersedia mengambil kebijakan demi memulihkan kepercayaan publik?


Keadilan yang Diuji untuk mengungkap Kebenaran dengan Keberanian

Roy Suryo dan timnya menutup pernyataan dengan nada reflektif. Jika permintaan ini diabaikan, maka publik akan kembali belajar satu pelajaran pahit: 

betapa sulitnya mencari keadilan di negeri sendiri. Namun jika dikabulkan, sejarah akan mencatat bahwa Polri memilih jalan berani, jalan transparansi.


Karena pada akhirnya, keadilan tidak takut diuji. Yang takut diuji hanyalah kebohongan.


(as)
#ForensikIndependen #BelajarDariBrigadirJ #UjiKebenaran #TransparansiHukum #KeadilanUntukSemua #PolriPresisi