Fatahillah313, Jakarta - Di tengah iklim politik yang semakin sensitif, penuh sensor sosial, dan dikendalikan algoritma, sebuah potongan satire dari Cing Abdel justru viral dan mendapat apresiasi luas. Bukan karena kata-kata kasar, bukan pula karena agitasi emosional, melainkan karena kesederhanaan logika yang jujur dan mengena.
Gue hidup udah tujuh presiden. Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, Prabowo. Kelewatan ya Jokowi ya?
Menurut elo, kelewatan ngga jokowi?!
Satu kalimat pendek. Nada bercanda. Tapi dampaknya menghantam jauh lebih keras daripada seribu pidato politik.
Satire sebagai Bentuk Kritik Paling Aman
Dalam sejarah politik, satire selalu menjadi senjata kaum rasional ketika kritik langsung dibungkam atau diredam.
Di era Orde Baru, kritik disampaikan lewat puisi dan humor; hari ini, ia hadir lewat potongan video pendek yang viral.
Satire Cing Abdel bekerja dengan logika kronologis sederhana:
Satire Cing Abdel bekerja dengan logika kronologis sederhana:
Jika seseorang mengaku telah hidup di era tujuh presiden, tetapi menyebut Prabowo tanpa menyebut Jokowi, maka pertanyaannya bukan soal lupa, melainkan soal sindiran.
Sindiran ini membuka ruang perdebatan:
👉 Apakah Jokowi dianggap “kelewatan”?
👉 Apakah kepemimpinannya begitu problematik hingga publik ingin melewatinya?
Mengapa Kritik terhadap Jokowi Kini Lebih Banyak Hadir Lewat Satire?
Mengapa Kritik terhadap Jokowi Kini Lebih Banyak Hadir Lewat Satire?
Jawabannya terletak pada iklim digital yang tidak netral.
Dalam satu dekade terakhir, kritik terhadap Presiden Jokowi kerap menghadapi:
Satire menjadi jalan aman, karena ia:
Peran Buzzer: Dari Penggiring Opini ke Penjaga Narasi Penguasa saat itu
Dalam satu dekade terakhir, kritik terhadap Presiden Jokowi kerap menghadapi:
- Stigmatisasi sebagai “anti-pemerintah”
- Pelabelan “radikal”, “kadrun”, atau “pembenci”
- Serangan buzzer terkoordinasi
- Penurunan jangkauan algoritmik di media sosial
Satire menjadi jalan aman, karena ia:
- Tidak menyebut tuduhan langsung
- Tidak mengklaim kebenaran absolut
- Tapi tetap menyampaikan pesan yang jelas
- Dan justru karena itu, satire lebih sulit dibantah.
Peran Buzzer: Dari Penggiring Opini ke Penjaga Narasi Penguasa saat itu
Tidak bisa dipungkiri, era Jokowi adalah era industrialisasi buzzer politik.
Buzzer bukan sekadar pengguna media sosial fanatik. Mereka adalah:
Fungsi utamanya bukan sekadar membela kebijakan, melainkan:
Buzzer bukan sekadar pengguna media sosial fanatik. Mereka adalah:
- Akun berjejaring
- Narasi seragam
- Pola posting sinkron
- Tagar yang diorkestrasi
Fungsi utamanya bukan sekadar membela kebijakan, melainkan:
👉 Mengalihkan fokus
👉 Mendiskreditkan pengkritik
👉 Menciptakan ilusi dukungan publik
Dalam konteks ini, kritik substansial terhadap Jokowi sering tenggelam bukan karena lemah, tetapi karena dikubur oleh kebisingan digital yang disengaja.
Robot Algoritma jadi penentu Mana yang Layak Didengar
Dalam konteks ini, kritik substansial terhadap Jokowi sering tenggelam bukan karena lemah, tetapi karena dikubur oleh kebisingan digital yang disengaja.
Robot Algoritma jadi penentu Mana yang Layak Didengar
Lebih berbahaya dari buzzer adalah algoritma.
Platform digital bekerja berdasarkan:
Konten kritis yang tenang, argumentatif, dan berbasis data sering kalah oleh:
Akibatnya:
Cing Abdel mungkin tidak sedang melakukan kritik politik berat, tetapi algoritma justru mengizinkannya viral karena dibungkus humor.
Apakah Jokowi “Kelewatan”? Pertanyaan itu kini bergema bukan karena Cing Abdel semata, tetapi karena:
Bagi sebagian publik, Jokowi bukan sekadar satu periode presiden, melainkan anomali demokrasi—terlalu pragmatis, terlalu teknokratis, dan terlalu permisif terhadap penyimpangan prosedural.
Maka ketika seseorang berkata “kelewatan”, yang dimaksud bukan melupakan, tetapi ingin melompati fase yang dianggap problematik.
Satire Tidak Pernah Netral Satire adalah bentuk kritik yang sudah putus asa terhadap kanal resmi. Ia muncul ketika diskusi rasional tidak lagi diberi ruang setara.
Dan ketika satire mendapat sambutan luas, itu pertanda:
Platform digital bekerja berdasarkan:
- Engagement
- Retensi emosi
- Polaritas
Konten kritis yang tenang, argumentatif, dan berbasis data sering kalah oleh:
- Konten provokatif
- Narasi hitam-putih
- Serangan personal
Akibatnya:
- Kritik terhadap Jokowi jarang naik ke permukaan
- Satire ringan justru lolos karena dianggap “hiburan”
- Publik lebih mudah menerima sindiran daripada analisis panjang
Cing Abdel mungkin tidak sedang melakukan kritik politik berat, tetapi algoritma justru mengizinkannya viral karena dibungkus humor.
Ironis—tetapi faktual.
Apakah Jokowi “Kelewatan”? Pertanyaan itu kini bergema bukan karena Cing Abdel semata, tetapi karena:
- Pelemahan institusi hukum
- Politisasi kekuasaan hingga ke ranah keluarga
- Pelebaran kekuasaan eksekutif
- Pembiaran konflik kepentingan
- Dan ketidakjelasan warisan demokrasi
Bagi sebagian publik, Jokowi bukan sekadar satu periode presiden, melainkan anomali demokrasi—terlalu pragmatis, terlalu teknokratis, dan terlalu permisif terhadap penyimpangan prosedural.
Maka ketika seseorang berkata “kelewatan”, yang dimaksud bukan melupakan, tetapi ingin melompati fase yang dianggap problematik.
Satire Tidak Pernah Netral Satire adalah bentuk kritik yang sudah putus asa terhadap kanal resmi. Ia muncul ketika diskusi rasional tidak lagi diberi ruang setara.
Dan ketika satire mendapat sambutan luas, itu pertanda:
👉 Ada kegelisahan kolektif yang belum terjawab
👉 Ada kelelahan publik terhadap narasi resmi
👉 Ada jarak antara kekuasaan dan akal sehat
Cing Abdel mungkin hanya bercanda. Tetapi publik yang tertawa riuh dan bertepuk tangan sebenarnya sedang mengangguk setuju.
Penutup Jika di era Jokowi kritik harus disamarkan menjadi humor agar bisa lolos algoritma, maka pertanyaannya bukan lagi soal satire, melainkan soal kualitas demokrasi.
(as)
#SatirePolitik #KritikJokowi #BuzzerPolitik #AlgoritmaDigital #OpiniPublik #DemokrasiTergerus #CingAbdel
Cing Abdel mungkin hanya bercanda. Tetapi publik yang tertawa riuh dan bertepuk tangan sebenarnya sedang mengangguk setuju.
Penutup Jika di era Jokowi kritik harus disamarkan menjadi humor agar bisa lolos algoritma, maka pertanyaannya bukan lagi soal satire, melainkan soal kualitas demokrasi.
Karena dalam demokrasi sehat, kritik tidak perlu bercanda untuk bisa didengar.
(as)
#SatirePolitik #KritikJokowi #BuzzerPolitik #AlgoritmaDigital #OpiniPublik #DemokrasiTergerus #CingAbdel

