Perpol 10/2025, Putusan MK, dan Ujian Tegaknya Supremasi Sipil di Era Presiden Prabowo


Fatahillah313, Jakarta -  Jakarta - Terbitnya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kembali memantik polemik nasional. 
Bukan sekadar soal administratif penempatan personel, Perpol ini menjelma menjadi persoalan serius ketatanegaraan, karena dinilai bertentangan langsung dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.

Di tengah transisi pemerintahan dan harapan publik terhadap penguatan negara hukum, polemik ini sekaligus menjadi ujian awal bagi Presiden Prabowo Subianto: 
apakah negara akan berdiri tegak di atas konstitusi, atau membiarkan pembangkangan hukum terjadi atas nama stabilitas birokrasi.


Perpol di Level Terendah, Dampaknya Nasional 

Pakar Hukum Tata Negara dari STHI Jentera, Bivitri Susanti, mengingatkan bahwa secara hierarki, Perpol berada pada tingkatan paling bawah dalam sistem peraturan perundang-undangan. 
Karena itu, Perpol tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, terlebih dengan UUD 1945 dan putusan MK.
Level Peraturan Polri ini di bawah sekali, sehingga dia tidak boleh melanggar semua aturan main di atasnya, apalagi undang-undang dasar,
ujar Bivitri dalam siaran Ruang Publik KBR.

Ia menegaskan, Putusan MK 114/2025 telah memberikan garis batas yang jelas: anggota Polri yang menduduki jabatan sipil wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. 
Putusan tersebut bersifat erga omnes, mengikat seluruh warga negara dan institusi tanpa kecuali.

Bivitri juga menolak tafsir sepihak Polri terkait frasa “sangkut paut” jabatan.
Kalau mau ada penugasan, harus ditafsirkan ketat berdasarkan undang-undang, bukan di level Perpol.


Langkah Mundur Reformasi dan Ancaman Loyalitas Ganda 

Lebih jauh, Bivitri menyebut Perpol 10/2025 sebagai langkah mundur reformasi Polri. Ia menyoroti potensi konflik kepentingan dan loyalitas ganda, terutama ketika anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil strategis.
Jangan-jangan nanti penyidik di level bawah tidak akan mampu menyidik seorang jenderal,
ujarnya.

Situasi ini, menurutnya, menciptakan beban baru bagi warga negara yang terus-menerus harus melawan kebijakan bermasalah.
Ini menandakan pembangkangan konstitusional yang seolah harus ditolerir oleh rakyat.


Mahfud MD "Perpol ini Bertentangan dengan Putusan MK dan UU ASN"

Pandangan kritis juga datang dari Mahfud MD, Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara. Ia menegaskan bahwa Perpol 10/2025 bertentangan secara langsung dengan Putusan MK 114/2025.
Tidak ada lagi mekanisme penugasan dari Kapolri. Jika anggota Polri masuk institusi sipil, maka harus pensiun atau berhenti dari Polri,
kata Mahfud.

Ia juga mengingatkan bahwa UU ASN membuka ruang bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil tertentu karena diatur jelas dalam UU TNI. Sebaliknya, UU Polri sama sekali tidak memberikan ruang serupa.
Kalau Polri memandang dirinya sudah sipil lalu bisa masuk ke institusi mana pun, itu keliru secara hukum.


Masyarakat Sipil "ini Pembangkangan Konstitusional Terbuka" 

Dari kalangan masyarakat sipil, kritik bahkan lebih keras. Aulia Rizal dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menyebut Perpol 10/2025 sebagai bentuk pengangkangan terang-terangan terhadap putusan MK.
Putusan MK sudah ekspresif verbis, sudah tegas dan lugas,
ujarnya.

Ia menilai kondisi ini berbahaya karena justru institusi penegak hukum memberi contoh pembangkangan hukum kepada publik. 
Penempatan Polri di luar struktur, lanjut Aulia, juga berpotensi merusak independensi lembaga sipil karena Polri bekerja dalam rantai komando.

Selain itu, ia menyoroti ketimpangan struktural: 
Polri dapat masuk ke jabatan birokrasi sipil, sementara ASN tidak memiliki akses timbal balik ke institusi kepolisian.


Kapolri: Tidak Berlaku Surut dan Akan Direvisi

Menanggapi kritik luas, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan Perpol 10/2025 telah melalui konsultasi dengan berbagai kementerian dan lembaga. 
Ia juga menegaskan bahwa putusan MK tidak berlaku surut, sehingga perwira Polri yang sudah bertugas di luar struktur dapat tetap melanjutkan penugasannya.

Kapolri bahkan mengungkap rencana menjadikan Perpol ini sebagai materi draf revisi UU Polri, dan ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP).

Pernyataan ini justru memperkuat kekhawatiran publik bahwa Perpol digunakan sebagai jalan pintas politik hukum, bukan sebagai penyesuaian konstitusional.


Kompolnas: Sah Secara Internal, Terbuka Dievaluasi 

Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan Perpol 10/2025 merupakan kebijakan internal Kapolri dan pengganti Perkap lama. 
Meski demikian, Kompolnas membuka peluang kajian lanjutan, khususnya terhadap daftar 17 kementerian/lembaga yang bisa diisi anggota Polri aktif.


Presiden Prabowo dan Ujian Supremasi Sipil 

Di tengah tarik-menarik tafsir ini, peran Presiden Prabowo Subianto menjadi kunci. Dalam sistem presidensial, presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dan penjamin tegaknya konstitusi.

Diam atau pasif bukanlah netralitas, melainkan sikap politik.

Jika Perpol yang bertentangan dengan putusan MK dibiarkan, maka preseden berbahaya akan tercipta: putusan MK bisa dinegosiasikan oleh regulasi internal lembaga bersenjata.

Karena itu, publik menunggu tindakan tegas presiden:

    • Menegaskan kepatuhan penuh terhadap Putusan MK 114/2025
    • Mengevaluasi dan membekukan kebijakan yang melanggar konstitusi
    • Memastikan supremasi sipil atas Polri

Ini bukan soal melemahkan Polri, melainkan menempatkan Polri secara benar dalam negara hukum.


Negara Hukum di Persimpangan 

Perpol 10/2025 telah berubah menjadi simbol persimpangan sejarah: antara reformasi dan regresi, antara supremasi konstitusi dan kekuasaan administratif.

Putusan MK sudah jelas. Pertanyaannya kini bukan lagi soal tafsir hukum, melainkan keberanian politik.

Sejarah akan mencatat apakah negara memilih berdiri tegak di atas konstitusi—atau membiarkan hukum ditekuk demi kenyamanan kekuasaan.


(as)
#Perpol102025 #PutusanMK114 #SupremasiSipil #ReformasiPolri #NegaraHukum #KonstitusiDiuji #PresidenPrabowo