Ketika Hujan Menjadi Cermin Keserakahan dan Dosa Manusia

Khutbah Jum’at Habib Hanif Alattas: Alam Murka, Manusia Pertontonkan Kedzoliman

Fatahillah313
Ciledug - Di bawah kubah Masjid Al Madinah CBD Ciledug, lantunan ayat suci tak hanya menggema, ia menghunjam. 
Khutbah Jumat yang disampaikan Habib Hanif Alattas bukan sekadar nasihat rutin, melainkan teguran keras yang dibungkus kelembutan dakwah. 
Teguran kepada umat, penguasa, pengusaha, bahkan aparat yang selama ini gemar bersembunyi di balik dalih “bencana alam”.
Apakah kita akan binasa sementara di tengah-tengah kita masih ada orang-orang saleh?
pertanyaan Sayidah Aisyah kepada Rasulullah SAW itu kembali diperdengarkan. 
Jawaban Nabi singkat namun menghantam: 
Naam, idzal khabats, ya, ketika kemaksiatan merajalela dan tak ada yang beramar ma'ruf nahi munkar, maka bala pasti turun.

Dan bala itu kini bernama banjir, longsor, hilangnya desa, dan ribuan nyawa melayang.


Aceh Tenggelam, Nurani Ikut Tenggelam

Habib Hanif menyebut data BNPB dengan suara berat: lebih dari seribu korban wafat. Empat desa di Aceh hilang tanpa sisa. 
Bukan empat rumah, bukan empat keluarga, empat desa lenyap. 
Tangis Gubernur Aceh menjadi saksi betapa negara sering kali datang terlambat, atau bahkan pura-pura tak melihat.

Narasi yang kerap disodorkan ke publik pun klasik: 
curah hujan ekstrem. Seolah-olah hujan adalah terdakwa utama. Padahal Al-Qur’an sudah jauh hari membantah dalih itu.

Allah menurunkan hujan biqadar, dengan ukuran yang presisi. 
Tidak berlebihan, tidak kurang. 
Hujan dalam logika Ilahi adalah sumber kehidupan, bukan pembawa maut. 
Jika hari ini hujan justru mematikan yang hidup, maka yang rusak bukan langit, melainkan bumi yang ditelanjangi manusia.


Hutan di Gunduli, Negara Membisu

Habib Hanif dengan tegas menunjuk akar masalah: 
bima kasabat aidinas, akibat ulah tangan manusia.
Hutan yang seharusnya menyerap air ditebang tanpa hikmah. 
Pohon-pohon tumbang bukan oleh badai, melainkan oleh izin-izin yang ditandatangani di ruang ber-AC.

Ironinya, banjir justru membongkar kejahatan yang lama disembunyikan. 
Kayu-kayu gelondongan hanyut rapi, kulitnya sudah dikupas, menelanjangi kebohongan bahwa ini semata bencana alam. 
Alam sedang bersaksi, sementara sebagian aparat dan pejabat memilih menjadi tuli.

Di titik ini, khutbah berubah menjadi sindiran telak: adil bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada alam. 
Mengeluarkan izin tanpa nurani adalah kezaliman yang dampaknya dirasakan rakyat kecil, mereka yang rumahnya hanyut, ladangnya hilang, dan keluarganya terkubur lumpur.


Maksiat Terang-Terangan, Amar Makruf Ditinggalkan

Habib Hanif tak berhenti pada isu lingkungan. Ia menarik garis lurus antara kerusakan alam dan kerusakan moral. 
Ketika maksiat dilakukan terang-terangan, judi, penyimpangan, kemungkaran yang dipamerkan, sementara ulama diam dan penguasa abai, maka musibah hanyalah soal waktu.

Ini bukan ancaman kosong, melainkan sunnatullah. 
Bukan Tuhan yang kejam, tetapi manusia yang bandel. 
Musibah datang bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk mengingatkan: 
la’allahum yarji’un, agar manusia kembali.

Satu Pohon, Satu Neraka

Hadis Nabi yang dikutip Habib Hanif mengguncang ruang batin jamaah. 
Barang siapa menebang pohon secara zalim hingga membahayakan banyak orang, maka ancamannya neraka. 
Jika satu pohon saja berat hisabnya, bagaimana dengan satu hutan? 
Bagaimana dengan jutaan hektare yang hilang atas nama investasi dan kepentingan politik?

Namun Islam tak pernah menutup pintu harapan. 
Bahkan saat kiamat di depan mata, Nabi tetap memerintahkan menanam pohon. 
Pesannya jelas: tak ada kata terlambat untuk memperbaiki.


Khutbah Sebagai Cermin Keadaan Indonesia

Khutbah ini bukan sekadar seruan spiritual, tetapi kritik sosial yang elegan. 
Ia menampar tanpa mencaci, mengingatkan tanpa memaki. 
Di tengah krisis ekologis dan moral, mimbar Jumat kembali menjadi ruang keberanian, tempat kebenaran disampaikan tanpa takut pada kekuasaan.

Pertanyaannya kini bukan lagi mengapa hujan turun, tetapi mengapa nurani kering. 
Jika pengusaha, pejabat, aparat, ulama, dan umat terus saling melempar tanggung jawab, maka musibah berikutnya hanya menunggu giliran.

Dan seperti kata Habib Hanif, jika bukan sekarang kita sadar, lalu kapan?


(as)
#KhutbahJumat #HabibHanifAlattas #BencanaBukanTakdir #HutanIndonesia #KeadilanEkologis #AmarMakruf #LaallahumYarjiun