Laporan Khusus, Narasi Genealogi Keilmuan Ulama Nusantara
Fatahillah313, Jakarta - Sebuah penegasan penting terkait sanad keilmuan pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, kembali mencuat ke publik.
Melalui sebuah pernyataan yang disampaikan secara lugas, Lora Muhammad Salim Al Kholili menegaskan bahwa salah satu guru Hadratussyaikh berasal dari klan Ba‘Alawi, bukan dari keluarga lain sebagaimana diperdebatkan oleh sebagian pihak.
Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap keraguan yang dilontarkan oleh Imaduddin bin Sarmana bin Arsa, Suyoto (Nur Ihya), dan rekan-rekannya, yang mempertanyakan apakah guru tersebut merupakan bagian dari keluarga Al Habsyi atau bukan.
Namun, menurut Lora Salim, klaim-klaim yang menyimpang tersebut perlu diluruskan dengan cara yang paling ilmiah:
Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap keraguan yang dilontarkan oleh Imaduddin bin Sarmana bin Arsa, Suyoto (Nur Ihya), dan rekan-rekannya, yang mempertanyakan apakah guru tersebut merupakan bagian dari keluarga Al Habsyi atau bukan.
Namun, menurut Lora Salim, klaim-klaim yang menyimpang tersebut perlu diluruskan dengan cara yang paling ilmiah:
mengacu pada kesaksian keturunan langsung Hadratussyaikh sendiri.
Kesaksian Keturunan langsung merupakan Bukti yang Tak Terbantahkan
Dalam pandangan Lora Salim, bukti tertulis yang selama ini beredar, baik kitab, catatan keulamaan, maupun dokumen lain, adalah penguat, namun bukan yang paling menentukan.
Yang paling kuat justru adalah pengakuan jalur keluarga, yakni mereka yang mewarisi pengetahuan, tradisi, serta hubungan sosial yang dibangun langsung oleh Hadratussyaikh.
Salah satu kesaksian penting datang dari KH. Fahmi Amrullah Hadziq, cucu Hadratussyaikh dari jalur Nyai Khodijah Hasyim.
Yang paling kuat justru adalah pengakuan jalur keluarga, yakni mereka yang mewarisi pengetahuan, tradisi, serta hubungan sosial yang dibangun langsung oleh Hadratussyaikh.
Salah satu kesaksian penting datang dari KH. Fahmi Amrullah Hadziq, cucu Hadratussyaikh dari jalur Nyai Khodijah Hasyim.
Dalam penuturannya, ia mengisahkan:
Kedekatan Pesantren Tebuireng dengan keluarga pengarang Simtud Durar, Hubungan harmonis antara keluarga besar Hadratussyaikh dengan keluarga Al Habsyi Solo, Dan kesinambungan hubungan itu hingga generasi sekarang.Narasi tersebut, bagi Lora Salim, menjadi bukti hidup yang tidak mungkin diabaikan.
Buktinya bukan hanya tulisan, tetapi hubungan kekeluargaan yang tetap terjaga sejak masa para pendiri hingga hari ini,
tegasnya.
Membaca Sejarah dengan Adab dan Ilmu
Membaca Sejarah dengan Adab dan Ilmu
Dalam pernyataannya, Lora Salim tidak hanya menegaskan fakta genealogis, tetapi juga memberi pelajaran berharga: sejarah para ulama harus dipahami dengan adab, bukan emosi; dengan ilmu, bukan prasangka.
Menurutnya, sering kali polemik muncul bukan karena kekurangan data, tetapi karena pendekatan yang kurang proporsional, atau bahkan karena perselisihan interpretasi yang tidak diolah dengan metodologi yang tepat.
Ia mengingatkan bahwa sanad keilmuan ulama bukan sekadar catatan biografis, melainkan jaringan spiritual, sosial, dan intelektual yang saling terhubung.
Menurutnya, sering kali polemik muncul bukan karena kekurangan data, tetapi karena pendekatan yang kurang proporsional, atau bahkan karena perselisihan interpretasi yang tidak diolah dengan metodologi yang tepat.
Ia mengingatkan bahwa sanad keilmuan ulama bukan sekadar catatan biografis, melainkan jaringan spiritual, sosial, dan intelektual yang saling terhubung.
Meragukan satu simpul tanpa dasar ilmiah justru dapat merusak pemahaman umat tentang otoritas keilmuan ulama masa lalu.
“Masihkah Ada yang Lebih Mengerti Dibanding Keturunan Sendiri?”
Dalam penutup pernyataannya, Lora Salim menyampaikan satu pertanyaan retoris yang tajam:
Ia menekankan bahwa keberagaman pandangan adalah hal wajar dalam tradisi intelektual Islam. Namun, perbedaan harus dijalani dengan akhlak, bukan saling menyudutkan.
Apakah masih ada yang merasa lebih mengerti dan lebih paham dibandingkan keturunan Hadratussyaikh sendiri?Klik video:
Pertanyaan ini seakan menjadi tamparan halus bagi mereka yang mengklaim memahami sejarah dan nasab lebih baik dari keluarga inti ulama yang bersangkutan.
Ia menekankan bahwa keberagaman pandangan adalah hal wajar dalam tradisi intelektual Islam. Namun, perbedaan harus dijalani dengan akhlak, bukan saling menyudutkan.
Pada akhirnya, kebenaran tertinggi tetap berada di sisi Allah SWT.
Pernyataan Lora Muhammad Salim Al Kholili bukan sekadar klarifikasi, melainkan pengingat bahwa memahami sejarah ulama tidak bisa dipisahkan dari etika ilmiah, penghormatan kepada keluarga, dan pemahaman terhadap tradisi intelektual yang hidup.
Di tengah derasnya informasi dan maraknya perdebatan digital, suara dari keturunan ulama besar seperti Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menjadi kompas penting agar umat tidak salah arah dalam membaca sejarah.
Wallahu a’lam.
(as)
Di tengah derasnya informasi dan maraknya perdebatan digital, suara dari keturunan ulama besar seperti Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menjadi kompas penting agar umat tidak salah arah dalam membaca sejarah.
Wallahu a’lam.
(as)
#Hadratussyaikh #KHHasymAsyari #BaAlawi #NasabUlama #Tebuireng #SanadKeilmuan #LoraSalim #SejarahUlama #NU #BaAlawiHeritage


