Habib Hanif Mengkritik Istidlal Quraish Shihab: Membaca Ulang Dalil “Selamat Natal” dalam Perspektif Tauhid

Fatahillah313, Jakarta - Di tengah perbincangan publik yang kembali menghangat setiap akhir Desember, isu tentang boleh tidaknya seorang Muslim mengucapkan “Selamat Natal” kembali mencuat. 
Salah satu pendapat yang kerap dirujuk datang dari Prof. Dr. Quraish Shihab, yang membolehkan ucapan tersebut dengan landasan dalil dari Al-Qur’an, khususnya QS. Maryam ayat 33.

Namun, pandangan ini tidak luput dari kritik. Salah satu tanggapan kritis disampaikan oleh Habib Hanif (Dr. Muhammad Hanif bin Abdurrahman Alathas), yang menilai bahwa penggunaan ayat tersebut sebagai dasar pembolehan mengucapkan selamat Natal perlu dikaji ulang secara lebih menyeluruh, kontekstual, dan komprehensif agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam memahami pesan Al-Qur’an.


Ayat yang Dijadikan Dalil

Prof. Quraish Shihab merujuk firman Allah Ta‘ala dalam QS. Maryam ayat 33, yang mengisahkan ucapan Nabi Isa عليه السلام:

وَٱلسَّلَـٰمُ عَلَیَّ یَوۡمَ وُلِدتُّ وَیَوۡمَ أَمُوتُ وَیَوۡمَ أُبۡعَثُ حَیًّا
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.

Menurut Prof. Quraish Shihab, karena Al-Qur’an sendiri menyebut adanya salam atas hari kelahiran Nabi Isa, maka tidak ada larangan bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat kepada umat Nasrani pada perayaan Natal.

Namun, menurut Habib Hanif, istidlal semacam ini tidak bisa berhenti pada satu ayat saja, apalagi jika ayat tersebut dipisahkan dari rangkaian konteks ayat-ayat setelahnya yang justru menjadi inti penjelasan Al-Qur’an tentang hakikat Isa عليه السلام.


Memahami Hakikat Natal dalam Teologi Nasrani

Sebelum masuk pada analisis ayat, Habib Hanif menegaskan satu hal mendasar yang sering diabaikan: 
makna Natal dalam keyakinan umat Nasrani.
Natal bukan sekadar peringatan kelahiran seorang tokoh sejarah. Dalam teologi Kristen, Natal adalah perayaan kelahiran Yesus yang diyakini sebagai Anak Tuhan. 
Maka, ucapan “Selamat Natal” secara substansial tidak berdiri netral, tetapi berkaitan langsung dengan pengakuan terhadap peristiwa teologis yang bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam.

Di sinilah letak persoalan akidah yang tidak bisa diabaikan begitu saja dengan alasan toleransi sosial.


Konteks Ayat yang Sering Dipotong

Habib Hanif menekankan bahwa QS. Maryam ayat 33 tidak berdiri sendiri. 
Ia adalah bagian dari satu rangkaian utuh yang sejak awal hingga akhir justru membantah klaim ketuhanan Isa yang diyakini oleh umat Nasrani.

Allah berfirman setelahnya:

ذَٰلِكَ عِیسَى ٱبۡنُ مَرۡیَمَۖ قَوۡلَ ٱلۡحَقِّ ٱلَّذِی فِیهِ یَمۡتَرُونَ ۝٣٤
Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.

Ayat ini menegaskan identitas Isa sebagai putra Maryam, manusia biasa dan hamba Allah, bukan anak Tuhan. 
Bahkan, Al-Qur’an secara eksplisit melanjutkan bantahan tersebut:

مَا كَانَ لِلَّهِ أَن یَتَّخِذَ مِن وَلَدٍۖ سُبۡحَـٰنَهُۥۤۚ إِذَا قَضَىٰۤ أَمۡرًا فَإِنَّمَا یَقُولُ لَهُۥ كُن فَیَكُونُ ۝٣٥
Tidak layak bagi Allah mempunyai anak. Mahasuci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.

Ayat ini adalah bantahan teologis paling tegas terhadap inti akidah Kristen tentang ketuhanan Yesus. 
Kelahiran Isa adalah mukjizat “Kun fayakun”, bukan hasil dari konsep Tuhan beranak.

Kemudian Allah menegaskan kembali ajaran tauhid yang dibawa Isa sendiri:

وَإِنَّ ٱللَّهَ رَبِّی وَرَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُوهُۚ هَـٰذَا صِرَ ٰ⁠طࣱ مُّسۡتَقِیمࣱ ۝٣٦
Dan sungguh, Allah adalah Tuhanku dan Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.

Akhir rangkaian ayat tersebut ditutup dengan peringatan keras:
فَٱخۡتَلَفَ ٱلۡأَحۡزَابُ مِنۢ بَیۡنِهِمۡۖ فَوَیۡلࣱ لِّلَّذِینَ كَفَرُوا۟ مِن مَّشۡهَدِ یَوۡمٍ عَظِیمٍ ۝٣٧
Kemudian golongan-golongan (yang ada) berselisih pendapat di antara mereka. Maka celakalah orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar (kiamat).

Kata wail (celaka) menunjukkan ancaman serius bagi mereka yang menyimpang dalam memahami hakikat Isa.


Kesalahan Metodologis dalam Istidlal

Menurut Habib Hanif, menggunakan QS. Maryam ayat 33 sebagai dalil kebolehan mengucapkan selamat Natal tanpa mempertimbangkan ayat 34-37 adalah bentuk pemotongan konteks yang berbahaya. 
Ini seperti mengutip satu kalimat dari sebuah paragraf panjang, padahal keseluruhan paragraf tersebut justru membantah makna yang ingin disimpulkan dari satu kalimat tadi.

Al-Qur’an tidak sedang memvalidasi perayaan Natal, tetapi justru sedang meluruskan kesalahan besar dalam akidah Nasrani terkait Isa عليه السلام.


Dua Makna yang Tidak Bisa Disamakan

Habib Hanif menegaskan perbedaan substansial antara dua hal berikut:
- Salam dalam QS. Maryam ayat 33, yaitu doa keselamatan untuk Nabi Isa sebagai nabi dan hamba Allah.
- Ucapan Selamat Natal, yang secara teologis merayakan kelahiran Yesus sebagai anak Tuhan menurut keyakinan Nasrani.

Menyamakan keduanya adalah kekeliruan mendasar, karena makna dan muatan akidahnya sangat berbeda, bahkan saling bertentangan.


Toleransi dan Batas Akidah

Islam sangat menjunjung tinggi toleransi, namun toleransi tidak berarti mencampuradukkan keyakinan atau memberikan legitimasi terhadap ajaran yang bertentangan dengan tauhid. 
Mengucapkan selamat Natal berpotensi dipahami sebagai bentuk pembenaran atas keyakinan teologis yang menjadi dasar perayaan tersebut.

Toleransi sejati adalah menghormati umat agama lain dalam menjalankan ibadah dan ritual mereka, tanpa gangguan dan paksaan, sembari tetap menjaga kemurnian akidah Islam.

Sebagaimana firman Allah Ta‘ala:

لَكُمۡ دِینُكُمۡ وَلِیَ دِینِ
Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
(QS. al-Kafirun: 6)

Ayat ini menegaskan batas yang jelas antara penghormatan sosial dan pencampuran akidah. 
Toleransi bukan pluralisme agama, apalagi sinkretisme iman.

Dari uraian ini, Habib Hanif menyimpulkan bahwa 
penggunaan QS. Maryam ayat 33 sebagai dalil kebolehan mengucapkan selamat Natal adalah tidak tepat karena mengabaikan konteks ayat, mengesampingkan makna teologis Natal, dan memisahkan ayat dari kesatuan pesan Al-Qur’an yang justru menegakkan tauhid.

Islam mengajarkan keseimbangan: 
tegas dalam akidah, lembut dalam muamalah. Inilah sikap lurus yang diwariskan para nabi dan ulama.


Sumber Tulisan: Faktakini
Oleh: Dr. Muhammad Hanif bin Abdurrahman Alathas, Lc., M.Pd.
*) Penulis adalah Sekretaris Majelis Syuro DPP Front Persaudaraan Islam dan Ketua Umum HRS Center

(as)
#AkidahIslam #SelamatNatal #QS_Maryam #Tauhid #HabibHanif #QuraishShihab #ToleransiBeragama #IslamDanAkidah