Fatahillah313, Jakarta - Polemik pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim kepada karyawan Muslim kembali mencuat di ruang publik.
Menyikapi hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas meminta Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si. untuk turun tangan, memantau, dan memastikan tidak terjadi praktik intoleransi yang mencederai prinsip kebebasan beragama di Indonesia.
Permintaan ini bukan tanpa dasar. MUI menilai, praktik pemaksaan atribut keagamaan, seperti atribut Natal, kepada pekerja Muslim di mal, pusat perbelanjaan, hotel, pabrik, hingga sektor usaha lainnya, berpotensi melanggar hak asasi manusia sekaligus merusak semangat toleransi yang selama ini dijaga bersama.
Surat Resmi MUI ke Kapolri
Permintaan ini bukan tanpa dasar. MUI menilai, praktik pemaksaan atribut keagamaan, seperti atribut Natal, kepada pekerja Muslim di mal, pusat perbelanjaan, hotel, pabrik, hingga sektor usaha lainnya, berpotensi melanggar hak asasi manusia sekaligus merusak semangat toleransi yang selama ini dijaga bersama.
Surat Resmi MUI ke Kapolri
Sikap tegas tersebut disampaikan MUI secara resmi melalui Surat Nomor B-3676/DP-MUI/XII/2022 tertanggal 15 Desember 2022.
Surat itu ditandatangani langsung oleh Wakil Ketua Umum MUI KH Marsudi Syuhud dan Sekretaris Jenderal MUI Buya Amirsyah Tambunan.
Dalam suratnya, MUI menegaskan bahwa toleransi antarumat beragama bukanlah pemaksaan, melainkan saling menghormati keyakinan masing-masing.
Dalam suratnya, MUI menegaskan bahwa toleransi antarumat beragama bukanlah pemaksaan, melainkan saling menghormati keyakinan masing-masing.
Karena itu, negara melalui aparat penegak hukum wajib hadir untuk mencegah praktik yang berpotensi menyinggung dan melukai keyakinan umat beragama tertentu.
Instruksi Pembinaan hingga Penindakan
Instruksi Pembinaan hingga Penindakan
MUI secara eksplisit meminta Kapolri untuk memerintahkan jajarannya melakukan pembinaan kepada pimpinan perusahaan dan pelaku usaha. Tujuannya jelas:
menjamin hak umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya, menghormati keyakinan keagamaannya, serta tidak memaksakan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim kepada karyawan Muslim.
Tak berhenti di situ, MUI juga mendorong adanya pengawasan dan penindakan tegas terhadap perusahaan yang terbukti melakukan pemaksaan.
Kapolri diminta untuk melakukan pengawasan dan/atau penindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan pemaksaan penggunaan atribut agama lain karena mencederai prinsip-prinsip toleransi beragama,
tegas MUI dalam surat resminya yang diterima redaksi pada Selasa (20/12/2022).
Hak Beragama Dilindungi Konstitusi
Hak Beragama Dilindungi Konstitusi
MUI mengingatkan bahwa hak beragama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinan merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Negara tidak boleh absen ketika hak tersebut dilanggar, baik secara terang-terangan maupun terselubung.
Dalam konteks ini, MUI menekankan pentingnya menjaga suasana ibadah semua umat beragama agar berlangsung khusyuk, aman, dan bermartabat, tanpa adanya tekanan atau pemaksaan kepada pemeluk agama lain untuk ikut serta dalam simbol, ritual, atau atribut keagamaan yang tidak sejalan dengan keyakinannya.
Prinsip tersebut sejalan dengan ajaran Islam yang menegaskan:
Dalam konteks ini, MUI menekankan pentingnya menjaga suasana ibadah semua umat beragama agar berlangsung khusyuk, aman, dan bermartabat, tanpa adanya tekanan atau pemaksaan kepada pemeluk agama lain untuk ikut serta dalam simbol, ritual, atau atribut keagamaan yang tidak sejalan dengan keyakinannya.
Prinsip tersebut sejalan dengan ajaran Islam yang menegaskan:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِTidak ada paksaan dalam (menganut) agama.(QS. Al-Baqarah: 256)
Ayat ini, menurut MUI, menjadi fondasi kuat bahwa toleransi tidak pernah berarti mencampuradukkan akidah dan ibadah.
Peran Umat dan Batas Toleransi
Peran Umat dan Batas Toleransi
MUI juga mengajak masyarakat, khususnya umat Islam, untuk terus berperan aktif menjaga keharmonisan sosial dan kerukunan antarumat beragama.
Namun, keharmonisan tersebut harus tetap berada dalam koridor ajaran agama, tanpa menodai akidah dan praktik ibadah masing-masing.
Fatwa MUI Jadi Rujukan
Toleransi, dalam pandangan MUI, adalah saling menghormati, bukan saling meniadakan prinsip keyakinan.
Sebagai penguat sikapnya, MUI turut melampirkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 56 Tahun 2016 tentang Hukum Penggunaan Atribut Keagamaan Non-Muslim.
Fatwa ini menegaskan batasan-batasan yang jelas agar umat Islam tidak terjebak dalam praktik yang bertentangan dengan keyakinannya, terutama jika disertai unsur paksaan.
Ditembuskan ke Banyak Lembaga
Ditembuskan ke Banyak Lembaga
Surat MUI tersebut tidak hanya ditujukan kepada Kapolri. Sejumlah institusi strategis turut menerima tembusan, antara lain:
Langkah ini menunjukkan keseriusan MUI agar persoalan ini tidak dipandang sepele, melainkan sebagai isu nasional yang menyangkut hak dasar warga negara dan wajah toleransi Indonesia.
Menjaga Toleransi Tanpa Mengorbankan Keyakinan
- Menteri Dalam Negeri
- Menteri Perdagangan
- Menteri Pariwisata
- Menteri Ketenagakerjaan
- Gubernur se-Indonesia
- Pimpinan MUI se-Indonesia
- PHRI
- APPBI
- APINDO
Langkah ini menunjukkan keseriusan MUI agar persoalan ini tidak dipandang sepele, melainkan sebagai isu nasional yang menyangkut hak dasar warga negara dan wajah toleransi Indonesia.
Menjaga Toleransi Tanpa Mengorbankan Keyakinan
Pada akhirnya, MUI menegaskan bahwa Indonesia yang majemuk hanya bisa berdiri kokoh jika toleransi dijalankan secara adil dan beradab.
Menghormati hari besar agama lain adalah sikap mulia, tetapi memaksa simbol dan atribut keagamaan kepada pihak yang berbeda keyakinan adalah pelanggaran, baik secara moral, konstitusional, maupun keagamaan.
(as)
#MUI #Kapolri #ToleransiBeragama #HakBeragama #TolakPemaksaanAtribut #KebebasanBeragama #Intoleransi #FatwaMUI


