Demi Gibran, Konstitusi, Etika, dan Prinsip Bernegara Dikorbankan

Ketika Kekuasaan Menundukkan Hukum dan Nurani

Fatahillah313, Bogor - Konstitusi bukan sekadar teks hukum yang beku di atas kertas. 
Ia adalah perjanjian luhur bangsa, fondasi moral dan yuridis yang menopang keadilan, keadaban, serta keberlangsungan negara. 
Dalam perspektif iman, konstitusi bahkan merupakan bagian dari amanah besar yang kelak dipertanggungjawabkan, tidak hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sebagai insan beriman, ketakwaan tidak berhenti pada ritual ibadah personal. 
Ia harus menjelma menjadi sikap hidup, termasuk dalam praktik sosial, penegakan hukum, dan penyelenggaraan negara. 
Terlebih bagi mereka yang memahami hukum, ketaatan pada konstitusi bukan pilihan, melainkan kewajiban moral dan spiritual.

Dalam negara hukum, tidak ada seorang pun yang kebal aturan. Rakyat biasa dan penyelenggara negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. 
Prinsip inilah yang membedakan negara hukum dari negara kekuasaan.


Konstitusi Tidak Boleh Tunduk pada Kepentingan Kekuasaan 

Ada satu prinsip klasik yang tetap relevan sepanjang zaman: 
fiat justitia ruat caelum, sekalipun langit runtuh, keadilan harus ditegakkan. 
Konstitusi tidak boleh ditekuk demi ambisi politik, apalagi demi melayani kepentingan segelintir elite.

Namun prinsip itu kini diuji secara serius melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, sebuah putusan yang mengubah tafsir syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden. Perubahan tafsir tersebut membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon Wakil Presiden pada Pemilu 2024, meski secara faktual belum memenuhi syarat sebagaimana diatur undang-undang sebelumnya.

Atas dasar inilah, saya menyatakan akan mengajukan uji kelayakan (eksaminasi) terhadap putusan tersebut, karena dampaknya bukan sekadar administratif, melainkan menyentuh jantung konstitusi dan masa depan ketatanegaraan Indonesia.


Fakta Hukum yang Tak Terbantahkan 

Fakta hukumnya jelas dan terang. Pada saat pendaftaran sebagai calon Wakil Presiden, usia Gibran masih 36 tahun dan ia belum pernah menduduki jabatan kepala daerah setingkat gubernur yang dipilih melalui pemilihan umum.

Padahal Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum secara tegas mensyaratkan bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden harus:
berusia paling rendah 40 tahun, atau pernah atau sedang menduduki jabatan yang diperoleh melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Tanpa perubahan tafsir melalui Putusan MK Nomor 90, pencalonan tersebut pada dasarnya tidak memenuhi syarat hukum. 
Di titik inilah problem konstitusional muncul secara nyata.


Konflik Kepentingan dan Pelanggaran Etika Konstitusional 

Masalah tidak berhenti pada substansi putusan. 
Yang jauh lebih serius adalah konflik kepentingan yang menyertai proses pengambilan putusan. 
Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu memiliki hubungan keluarga langsung dengan pihak yang diuntungkan oleh putusan tersebut.

Dalam prinsip etika peradilan dan negara hukum, kondisi seperti ini seharusnya mengharuskan yang bersangkutan mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara. Ketika itu tidak dilakukan, maka legitimasi putusan menjadi cacat secara moral, etis, dan konstitusional.

Fakta ini diperkuat oleh Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 02/MKMK/L/11/2023, yang secara tegas menyatakan bahwa Ketua MK saat itu, Anwar Usman, terbukti melakukan pelanggaran etik berat dan dijatuhi sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua MK.

Namun ironi terbesar justru terjadi setelahnya.


Etika Dilanggar, Putusan Tetap Dipakai 

Meskipun pelanggaran etik berat telah dinyatakan secara resmi, Putusan MK Nomor 90 tetap dibiarkan berlaku dan dijadikan dasar hukum pencalonan Gibran. 
Akibatnya, seorang Wakil Presiden terpilih kini memimpin lebih dari 280 juta rakyat Indonesia di atas landasan konstitusional yang dipersoalkan secara serius.

Situasi ini menimbulkan inkonsistensi fatal dalam penegakan negara hukum. 
Di satu sisi, pelanggaran etik diakui. Di sisi lain, produk hukum yang lahir dari pelanggaran tersebut tetap dijalankan tanpa koreksi.
Ini bukan sekadar kelalaian hukum, melainkan bentuk pengingkaran terhadap asas keadilan, independensi peradilan, dan kepastian hukum.


Preseden Berbahaya bagi Masa Depan Bangsa 

Keabsahan jabatan publik tidak cukup ditentukan oleh kemenangan elektoral. Ia juga ditentukan oleh proses hukum yang bersih, adil, dan bebas dari rekayasa kekuasaan.
Putusan MK Nomor 90 telah menciptakan preseden berbahaya: 
konstitusi dapat diubah maknanya demi kepentingan politik sesaat. Jika ini dibiarkan, maka konstitusi kehilangan wibawanya, dan hukum berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan.

Risiko konstitusional menjadi jauh lebih besar ketika kita mengingat ketentuan UUD 1945: 
apabila Presiden berhalangan tetap, maka Wakil Presiden secara otomatis menggantikannya. 
Jika sejak awal legitimasi Wakil Presiden bermasalah, maka estafet kekuasaan nasional berdiri di atas fondasi yang rapuh.

Negara pun terancam masuk ke dalam krisis legitimasi, instabilitas politik, dan konflik konstitusional berkepanjangan.


Dosa Struktural terhadap Konstitusi 

Lebih dari sekadar pelanggaran hukum positif, kondisi ini merupakan dosa struktural konstitusional terhadap UUD 1945. 
Sebuah penyimpangan yang dilakukan secara sadar, sistematis, dan melibatkan kekuasaan negara.
Sebagai bangsa yang beriman, kita meyakini bahwa setiap amanah dan setiap pengkhianatan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.
Surah Al-Isra (17) ayat 36

Ayat ini menegaskan bahwa setiap keputusan, termasuk dalam urusan kekuasaan dan hukum, wajib berpijak pada ilmu, kebenaran, dan tanggung jawab

لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا
Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami, mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat, dan mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar…
Surah Al-A’raf (7) ayat 179

Inilah peringatan tentang bahaya ketika nurani dan akal sehat dibungkam oleh kepentingan duniawi.

وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ
Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu.
Surah At-Taubah (9) ayat 105
Setiap kebijakan hukum dan politik berada dalam pengawasan Allah.

إِنَّ ٱللَّهَ ٱشْتَرَىٰ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلْجَنَّةَ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga.
Surah At-Taubah (9) ayat 111

Keberanian membela kebenaran adalah bentuk jihad moral.

Ayat-ayat lainnya, Al-An’am ayat 65, Al-Anfal ayat 60, 63, dan 65, serta At-Tahrim ayat 8–9, 
semuanya mengingatkan bahwa kekuasaan yang menyimpang akan berujung pada perpecahan, ketakutan, dan kehancuran moral.
Menjaga Konstitusi adalah Amanah Iman Membiarkan kerusakan hukum dan konstitusi sama artinya dengan mengkhianati amanah Allah dan sejarah bangsa. 
Membela kebenaran konstitusi bukan sekadar sikap politik, melainkan kewajiban iman, moral, dan tanggung jawab generasi.

Jika hari ini kita diam, maka generasi mendatang akan mewarisi konstitusi yang terluka.

Bogor, Jawa Barat, Minggu, 28 Desember 2025 | 18.54 WIB
Salam Ta’ziem, Taqwa dan Jihad BES – Brother Eggi Sudjana

Sumber Tulisan: Faktakini
Oleh: Prof. Eggi Sudjana
(as)
#KrisisKonstitusi #PutusanMK90 #EtikaBernegara #NegaraHukum #JagaUUD1945 #KeadilanKonstitusional