RMINU Banten & Ki Imaduddin Utsman: Ketika “Patut Diduga” Berubah Jadi “Murni Hoaks”, Lalu Kembali Lagi


Fatahillah313, Jakarta - Di tengah suasana islah dan menjelang muktamar, publik justru disuguhi sebuah tontonan intelektual yang ganjil. 
Bukan karena temuan ilmiah baru, melainkan karena cara berpikir yang berubah-ubah, tanpa perubahan data. 
Inilah yang disorot dalam polemik terbaru antara RMINU Banten, Ki Imaduddin Utsman, dan bantahan panjang dari Rumail Abbas terkait guru-guru Mbah Hasyim Asy’ari.

Apa yang terjadi bukan sekadar silang pendapat sejarah. 
Ini adalah studi kasus tentang psikologi argumen, tentang bagaimana seseorang bisa terperangkap oleh kata-katanya sendiri, lalu panik ketika realitas tak berjalan sesuai dengan kesimpulan yang ia bangun.


Dari Dugaan Santun ke Vonis Absolut

Awalnya, Ki Imad menulis artikel di RMINU Banten dengan gaya yang terkesan hati-hati. 
Ia menyusun premis berdasarkan kitab Uqudul al-Mas karya Habib Alwi bin Thahir al-Haddad. 
Dari sana, ia menyimpulkan bahwa Ahmad al-‘Aththas telah kembali dari Makkah pada tahun 1279 H, sementara Mbah Hasyim Asy’ari baru datang ke Makkah pada 1308 H.
Kesimpulannya: mustahil keduanya bertemu.
Namun, perhatikan frasa kuncinya: patut diduga.
Sebuah frasa pengaman. Pintu darurat. Jika kelak terbukti keliru, selalu ada ruang untuk mundur:
Saya hanya menduga.

Masalahnya, hanya dua hari berselang, kehati-hatian itu lenyap. Dalam sebuah video, Ki Imad meloncat jauh, dari dugaan ke kepastian. Tak ada lagi koma, tak ada lagi “mungkin”, apalagi insyaallah. Yang ada hanyalah vonis: 
“murni hoaks.”
Sebuah klaim absolut, disampaikan dengan keyakinan penuh, tanpa satu pun data baru.


48 Jam yang Aneh: Data Sama, Kesimpulan Berubah

Pertanyaannya sederhana: 
apa yang berubah dalam 48 jam itu?
Manuskrip baru? Tidak.
Kitab baru? Tidak.
Data baru? Juga tidak.

Kitab yang dirujuk tetap sama. Uqudul al-Mas tetap kitab yang sama. Namun kesimpulan meloncat dari “dugaan santun” menjadi “kepastian arogan”.

Di sinilah polemik ini menjadi menarik, bahkan ironis. Tepat saat klaim “murni hoaks” diteriakkan, fakta sejarah yang selama ini diremehkan justru muncul ke permukaan.

Manuskrip yang Mengubah Peta Persoalan

Rumail Abbas menemukan manuskrip Ziyādah Ta‘liqāt, sebuah catatan yang ditulis langsung oleh Mbah Hasyim Asy’ari
Di sana, dengan tulisan tangan beliau sendiri, tercatat bahwa Mbah Hasyim benar-benar bertemu Habib Husain al-Habsyi di Makkah.

Nama yang sebelumnya divonis “murni hoaks” itu, ternyata tervalidasi oleh sumber primer paling otoritatif: sang tokoh itu sendiri.
Dalam dunia akademik, ini seharusnya menjadi skakmat.


Manuver Mundur: Dari “Murni Hoaks” Kembali ke “Patut Diduga”

Alih-alih mengakui kekeliruan, respons yang muncul justru manuver. Sehari setelah bantahan dan manuskrip itu dipublikasikan, Ki Imad menulis klarifikasi:
Penulis tidak menggunakan frasa absolut. Penulis menggunakan kalimat patut diduga.

Publik pun mengernyit.
Tanggal 21 Desember: murni hoaks.
Tanggal 22 Desember: minta dikembalikan ke patut diduga.
Orangnya sama. Suaranya sama. Tulisannya sama.
Yang berubah hanya posisinya, karena realitas tidak memihak.


Dalih “Kebetulan” yang Sulit Diterima Akal

Ketika fakta tak bisa disangkal, muncullah dalih baru: coincidence, kebetulan
Menurut Ki Imad, bisa saja Asad Shahab “kebetulan” menyebut nama yang ternyata benar.

Namun logika sederhana menolak itu.
Seberapa besar peluang seorang “pembohong” menebak satu nama spesifik yang kemudian persis tercatat dalam manuskrip pribadi Mbah Hasyim Asy’ari?

Itu ibarat orang buta menembakkan pistol ke hutan secara acak, lalu pelurunya tepat mengenai satu koin emas yang tersembunyi di balik pohon. 
Menyebutnya “kebetulan” bukan skeptisisme, melainkan pengingkaran akal sehat.


Kesalahan Metodologis: Membaca Keheningan sebagai Prasasti

Puncak masalah terletak pada cara Ki Imad membaca Uqudul al-Mas. Ia menganggap “ketiadaan informasi” tentang periode setelah 1279 H sebagai prasasti, seolah kitab itu menyatakan Ahmad al-‘Aththas tidak pernah kembali ke Makkah.

Padahal, teks itu tidak pernah mengatakan demikian.

Dalam kaidah usul fikih dikenal prinsip:
Lā yunsabu ilā sākitin qawl, walākin as-sukūt fī mawḍi‘i al-bayān bayān.
Tidak boleh menisbatkan perkataan kepada yang diam. Diam hanya bermakna jika terjadi pada konteks yang menuntut penjelasan.

Uqudul al-Mas tidak sedang membahas tahun 1308 H. Kitab itu hanya mengisahkan fase belajar Ahmad al-‘Aththas hingga 1282 H
Memaksakan isu 1308 H ke dalam teks yang tidak membicarakannya adalah anakronisme, dan ironisnya, anakronisme itu justru dilakukan oleh Ki Imad sendiri.


Pola yang Mengkhawatirkan

Polemik ini memperlihatkan pola yang berulang:

    • dari patut diduga
    • meloncat ke murni hoaks
    • mundur kembali ke patut diduga
    • berlindung di balik istilah “kebetulan”
    • lalu menantang dengan dilema palsu dan pengalihan isu
Jika kecerobohan seperti ini terjadi dalam satu kasus, publik wajar bertanya: bagaimana dengan narasi sejarah lainnya yang disampaikan Ki Imad?

Terlebih ketika pola serupa kembali muncul dalam tudingan terhadap Habib Zain bin Ibrahim bin Smith. Tuduhan demi tuduhan dilontarkan, sementara koreksi tak pernah benar-benar diterima.


Menjaga Adab, Menjaga Akal

Ini bukan soal membela satu tokoh dan menjatuhkan yang lain. Ini soal etika intelektual, kejujuran metodologi, dan keberanian untuk mengakui kesalahan. 
Terlebih ketika yang dibicarakan adalah Mbah Hasyim Asy’ari, seorang ulama besar yang warisannya bukan hanya milik satu golongan, tetapi milik sejarah bangsa.

Kritik adalah bagian dari ilmu. Namun fitnah yang dibungkus analisis adalah pengkhianatan terhadap ilmu itu sendiri.


(as)
#MbahHasyimAsyari #PolemikSejarah #EtikaIntelektual #RMINUBanten #ManuskripSejarah #HoaksAtauFakta #AdabIlmiah