Air belum surut, duka belum kering, dan jeritan korban belum benar-benar terdengar tuntas. Siang itu, sebuah unggahan di beranda Facebook penulis menyita perhatian.
Pemimpin sebagai Pelayan dan Perisai
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
Dan:
Dalam konteks bencana, pemimpin bukan sekadar hadir untuk kamera, bukan sibuk memanggul beras demi citra, apalagi menyampaikan klaim palsu bahwa listrik telah menyala sementara rakyat masih gelap gulita. Pemimpin seharusnya menjadi tameng, bukan panggung.
Akar Masalah yang Disentuh: Deforestasi dan Sawit
Bersama Melawan Teror, Menjaga Negeri
Namun di tengah upaya kemanusiaan yang masih berjalan, publik justru dikejutkan oleh munculnya bencana lain yang tak kalah mengerikan:
teror terhadap suara kemanusiaan itu sendiri.
@officialsherlyannavita KETIKA TEROR ITU DATANG
♬ original sound - Curhat Kak Sherly
Status Sherly Annavita, ditulis dengan huruf kapital penuh emosi dan urgensi:
Unggahan tersebut bukan sensasi.
SAYA DITEROR!!! YUK BAGIKAN AGAR JADI KESADARAN BERSAMA.
Unggahan tersebut bukan sensasi.
Ia adalah alarm keras tentang apa yang sedang dialami Sherly, seorang influencer dan pegiat kemanusiaan berdarah Aceh, yang beberapa hari terakhir menghadapi rentetan ancaman dan teror setelah menyuarakan kondisi riil bencana Aceh ke publik.
Teror itu bukan sebatas komentar jahat di media sosial.
Teror itu bukan sebatas komentar jahat di media sosial.
Ia menjelma nyata dan brutal.
Nomor ponsel Sherly diteror, akun Instagram-nya dibanjiri pesan ancaman, makian datang dari akun-akun bodong.
Lebih dari itu, kendaraan pribadinya disemprot cat merah, dan ia bahkan menerima kiriman telur busuk disertai pesan bernada intimidatif.
Ini bukan kritik. Ini bukan perbedaan pendapat. Ini teror.
Suara dari Lokasi Bencana yang Dianggap Terlalu Berani
Ini bukan kritik. Ini bukan perbedaan pendapat. Ini teror.
Suara dari Lokasi Bencana yang Dianggap Terlalu Berani
Sherly mengaku, teror mulai ia terima setelah kembali dari Aceh dan membagikan pengalamannya langsung dari lokasi bencana ke sejumlah media.
Salah satu momen penting terjadi saat ia bertemu penulis dalam program “Rakyat Bersuara” edisi Selasa malam (23/12) di studio iNews TV, Jakarta.
Dalam forum terbuka itu, Sherly menyampaikan dua kritik utama yang lugas dan substansial.
Pertama, soal absennya kepemimpinan dan komando pusat.
Dalam forum terbuka itu, Sherly menyampaikan dua kritik utama yang lugas dan substansial.
Pertama, soal absennya kepemimpinan dan komando pusat.
Menurut Sherly, ketiadaan komando nasional membuat relawan dan pemerintah daerah bergerak sendiri-sendiri, tanpa koordinasi dan sinergi yang jelas.
Padahal, dalam situasi bencana besar, kehadiran negara sebagai pengendali utama adalah mutlak, untuk menyatukan sumber daya, mempercepat distribusi bantuan, dan memastikan penanganan yang efektif serta progresif.
Kedua, desakan agar bencana Aceh dan Sumatera ditetapkan sebagai bencana nasional.
Kedua, desakan agar bencana Aceh dan Sumatera ditetapkan sebagai bencana nasional.
Penetapan ini bukan sekadar status administratif, melainkan pintu untuk membuka dukungan lebih luas, termasuk bantuan internasional.
Dalam konteks ini, Sherly menyampaikan kritik yang cukup pedas namun rasional:
jika negara tak ragu menerima utang asing berbunga, mengapa justru alergi terhadap bantuan kemanusiaan tanpa bunga?Logika sederhana, tapi sering kali dianggap berbahaya.
Pemimpin sebagai Pelayan dan Perisai
Dalam program yang sama, penulis mengingatkan kembali hakikat kepemimpinan dalam perspektif moral dan keislaman.
Bahwa pemimpin memiliki dua fungsi utama:
pemimpin sebagai Ra’in (pelayan) dan sebagai Junnah (perisai).
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
Dan:
Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.(HR. Muttafaqun ‘Alayh)
Dalam konteks bencana, pemimpin bukan sekadar hadir untuk kamera, bukan sibuk memanggul beras demi citra, apalagi menyampaikan klaim palsu bahwa listrik telah menyala sementara rakyat masih gelap gulita. Pemimpin seharusnya menjadi tameng, bukan panggung.
Akar Masalah yang Disentuh: Deforestasi dan Sawit
Lebih jauh, penulis juga menegaskan bahwa banjir berulang di Aceh dan Sumatera bukan semata bencana alam, melainkan bencana ekologis akibat ulah manusia.
Deforestasi masif, terutama konversi hutan menjadi kebun sawit, telah merusak daya dukung lingkungan.
Penulis merujuk pada audit sekitar 9 juta hektare lahan sawit di era Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Penulis merujuk pada audit sekitar 9 juta hektare lahan sawit di era Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Dari audit tersebut, terungkap 3,3 juta hektare sawit ilegal yang merampas kawasan hutan. Ironisnya, alih-alih diproses hukum secara tegas, banyak perusahaan justru “diputihkan”.
Keadilan lingkungan pun kembali menjadi korban.
Teror yang Salah Sasaran
Keadilan lingkungan pun kembali menjadi korban.
Teror yang Salah Sasaran
Yang menggelitik sekaligus memuakkan, kritik penulis di forum tersebut sejatinya lebih keras dan lebih tajam dibanding apa yang disampaikan Sherly Annavita.
Namun, teror justru diarahkan kepada Sherly, seorang perempuan.
Di sinilah wajah asli para pengecut itu tampak.
Di sinilah wajah asli para pengecut itu tampak.
Antek oligarki yang hanya berani meneror pihak yang mereka anggap lemah.
Padahal, siapa pun yang pernah bertatap muka dengan Sherly akan melihat jelas:
aura keberanian, keteguhan, dan ketangguhan terpancar kuat dari dirinya.
Maka keliru besar jika mereka mengira teror akan membungkam perjuangan kemanusiaan Sherly Annavita.
Bersama Melawan Teror, Menjaga Negeri
Kasus ini bukan sekadar tentang Sherly.
Ini tentang kebebasan bersuara, keberpihakan pada korban, dan perlawanan terhadap oligarki perusak lingkungan.
Ketika suara kemanusiaan diteror, maka seluruh warga negara seharusnya merasa terancam.
Mari terus membersamai Sherly Annavita dan para pejuang kemanusiaan lainnya.
Mari terus membersamai Sherly Annavita dan para pejuang kemanusiaan lainnya.
Lawan segala bentuk teror, intimidasi, dan kejahatan oligarki yang membabat hutan serta merampas ruang hidup rakyat.
Jangan lelah. Jangan takut. Negeri ini terlalu berharga untuk diserahkan pada ketakutan.
Save Sherly Annavita. Save Kemanusiaan.
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat & Aktivis
(as)
#SaveSherlyAnnavita #LawanTeror #SuaraKemanusiaan #AcehBerduka #BencanaEkologis #HentikanDeforestasi #NegaraHadir #LawanOligarki


