Algoritma Adu Domba Nasional: Ketika Ruang Digital Menjadi Medan Perang Hibrida

Fatahillah313, Jakarta - Jakarta - Ruang digital Indonesia tengah menghadapi ujian serius. Di balik layar ponsel dan linimasa media sosial, beredar deras konten provokatif yang secara sistematis mempertentangkan identitas, mengorek luka lama, dan memanaskan sentimen Suku, Agama, Ras, dan Golongan (SARA). 
Fenomena ini bukan lagi sekadar kegaduhan warganet, melainkan sinyal bahaya bagi persatuan nasional.

Dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah narasi bermuatan adu domba terpantau masuk jajaran tren. 
Isinya beragam, mulai dari ajakan pemisahan wilayah, upaya mempertentangkan suku-suku besar di Indonesia, hingga narasi yang menajamkan dikotomi “pribumi” versus “pendatang” di daerah tertentu. 
Pola ini berulang, terstruktur, dan menyasar emosi publik.
Beberapa isu provokatif yang beredar di antaranya:

  • Provokasi warga Aceh untuk memisahkan diri.
  • Upaya mengadu domba Suku Sunda dan Jawa.
  • Upaya mengadu domba Suku Madura dan Jawa.
  • Narasi yang mempertentangkan penduduk asli Bali dengan pendatang.
  • Upaya membenturkan Kyai dan Habaib.
  • Dan berbagai narasi serupa dengan wajah berbeda, namun tujuan sama.

Narasi-narasi ini sering dikemas seolah sebagai “kritik”, “pendapat pribadi”, atau “suara kebenaran yang dibungkam”
Namun jika dicermati lebih dalam, benang merahnya jelas: 
memecah belah, membangun kecurigaan, dan merusak kepercayaan sosial yang selama ini menjadi fondasi kebangsaan.



Algoritma sebagai Senjata Baru 

Para pengamat keamanan menilai, fenomena ini merupakan bagian dari skenario perang hibrida modern, sebuah metode konflik non-konvensional yang memanfaatkan ruang digital sebagai medan tempur. 
Tidak ada dentuman senjata, tidak ada pasukan berseragam, namun dampaknya dapat sama destruktifnya.

Dalam perang hibrida, algoritma platform digital memainkan peran krusial. 
Konten yang memicu emosi, amarah, kebencian, rasa terancam, cenderung lebih cepat menyebar dan diperkuat oleh sistem rekomendasi. 
Akibatnya, unggahan ekstrem mendapat panggung lebih luas, sementara suara moderat tenggelam.
Gesekan kecil yang dibiarkan bisa membesar menjadi konflik terbuka. Di ruang digital, algoritma bekerja memperkuat konten ekstrem karena memicu emosi, sehingga persebarannya semakin cepat dan masif,
ujar seorang analis kebijakan publik.

Target akhirnya bukan sekadar viralitas, melainkan kekacauan sosial: konflik horizontal yang berkepanjangan, delegitimasi institusi negara, dan melemahnya kohesi nasional. 
Sejarah mencatat, metode semacam ini pernah digunakan di berbagai negara, khususnya di kawasan Timur Tengah. 
Awalnya dimulai dari propaganda dan ujaran kebencian, berujung pada perang saudara, dan akhirnya membuka jalan bagi intervensi asing terhadap sumber daya strategis.


Bahaya Normalisasi Kebencian 

Yang paling mengkhawatirkan, konten adu domba ini perlahan dinormalisasi. 
Ujaran yang dulu dianggap tabu kini dipandang “biasa”. Candaan bernuansa SARA, sindiran identitas, hingga tuduhan kolektif terhadap kelompok tertentu kerap dibiarkan berlalu tanpa koreksi.

Jika dibiarkan, kondisi ini berpotensi menciptakan fragmentasi sosial yang dalam. 
Masyarakat tidak lagi melihat sesama warga sebagai saudara sebangsa, melainkan sebagai “lawan identitas”. Pada titik ini, bangsa melemah dari dalam, tanpa perlu diserang dari luar.


Peran Publik: Benteng Pertahanan Terdepan 

Menghadapi ancaman tersebut, kewaspadaan publik menjadi kunci. Masyarakat diimbau mengambil langkah-langkah preventif sebagai bentuk bela negara di era digital, antara lain:

    1. Tidak membagikan atau meneruskan unggahan bernarasi negatif yang memecah belah persatuan NKRI.
    2. Tidak terjebak dalam diskusi provokatif yang sejak awal diarahkan untuk menggiring opini menuju perpecahan.
    3. Melaporkan (report) konten bermuatan ujaran kebencian, disinformasi, dan provokasi SARA.
    4. Tetap tenang dan rasional, tidak bereaksi berlebihan, serta selalu melakukan verifikasi informasi sebelum percaya dan menyebarkannya.

Langkah-langkah sederhana ini, jika dilakukan secara kolektif, dapat menjadi tembok kokoh melawan operasi adu domba digital.


Tanggung Jawab Negara dan Platform Digital 

Di sisi lain, pemerintah dan pengelola platform digital didorong untuk mengambil peran lebih aktif. Penguatan literasi digital, penegakan hukum yang tegas terhadap ujaran kebencian, serta transparansi pengelolaan algoritma menjadi kebutuhan mendesak. 
Algoritma tidak boleh dibiarkan menjadi mesin eskalasi konflik yang merugikan bangsa.

Indonesia adalah negara besar dengan keragaman sebagai kekuatan utama. Justru karena itulah, upaya memecah belah akan selalu mencari celah. 
Persatuan tidak hadir dengan sendirinya; ia harus dijaga, dirawat, dan dibela, termasuk di ruang digital.

Di tengah derasnya arus informasi dan provokasi, satu prinsip lama tetap relevan: bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Tagar #PerangHibrida #AduDombaDigital #JagaPersatuan #LawanProvokasi #NKRIHargaMati #LiterasiDigital