Fatahillah313, Jakarta - Kontroversi dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo tak hanya mengguncang ruang publik, tetapi juga menyeret media arus utama ke pusaran konflik.
Alih-alih menjadi arena klarifikasi yang sehat, perdebatan ini justru memperlihatkan kegamangan kekuasaan ketika berhadapan dengan logika, argumentasi, dan nalar publik yang terus menuntut kejelasan.
Penulis mengalami langsung atmosfer tersebut saat memenuhi undangan sebuah program televisi nasional.
Penulis mengalami langsung atmosfer tersebut saat memenuhi undangan sebuah program televisi nasional.
Sang produser, yang sekaligus menjadi host, mengungkapkan kegelisahannya.
Ia merasa difitnah karena berulang kali menayangkan diskusi bertema dugaan ijazah palsu Jokowi.
Tak hanya dirinya, bahkan pemilik stasiun televisi ikut dituding terlibat dalam upaya mendiskreditkan Presiden melalui program yang diproduksi.
Narasi ini bukan satu-satunya.
Narasi ini bukan satu-satunya.
Seorang host dari televisi nasional lain menyampaikan pengakuan yang tak kalah menarik:
Bang AK, selama ini kami berimbang. Program kami selalu menghadirkan dua kubu. Kalau kemudian kubu Roy Suryo cs lebih piawai dan mendominasi opini, itu soal lain,
ujarnya lugas.
Pernyataan ini sesungguhnya membuka tabir persoalan utama: kekalahan argumentasi.
Dominasi Opini dan Kekalahan Nalar
Media Bukan Musuh, Tapi Cermin
Pernyataan ini sesungguhnya membuka tabir persoalan utama: kekalahan argumentasi.
Dominasi Opini dan Kekalahan Nalar
Jika dicermati, hampir seluruh program televisi yang mengulas isu ijazah Jokowi menunjukkan pola serupa.
Kubu Roy Suryo cs kerap tampil lebih meyakinkan, sistematis, dan komunikatif.
Dominasi opini mereka terlihat di berbagai program, mulai dari Head to Head (CNN TV), Rakyat Bersuara (iNews), Apa Kabar Indonesia (TV One), Kompas Pagi/Petang/Malam (Kompas TV), Catatan Demokrasi, Dua Sisi, Interupsi, Hotroom, hingga program investigasi seperti iNews File dan Dipo Investigasi.
Bahkan di ranah digital, diskursus ini hidup lewat kanal seperti One Point with Adisty Larasati dan warisan diskusi legendaris Indonesia Lawyers Club yang kini beralih ke YouTube.
Keunggulan kubu Roy Suryo cs bukan semata karena frekuensi tampil, melainkan kekuatan argumentasi yang disampaikan dengan bahasa sederhana, runtut, dan mudah dicerna publik.
Keunggulan kubu Roy Suryo cs bukan semata karena frekuensi tampil, melainkan kekuatan argumentasi yang disampaikan dengan bahasa sederhana, runtut, dan mudah dicerna publik.
Sementara itu, kubu Jokowi cenderung terjebak pada narasi berulang, penjelasan berbelit, dan klaim normatif yang gagal menjawab inti persoalan.
Akibatnya, kepercayaan publik tak kunjung terbangun.
Media Diserang, Logika Ditinggalkan
Media Diserang, Logika Ditinggalkan
Alih-alih melakukan introspeksi dan memperbaiki basis argumentasi, respons yang muncul justru menyerang media.
Komplain terbuka dari narasumber pendukung Jokowi kepada stasiun televisi disampaikan secara emosional dan tak jarang dengan cara yang tidak elok.
Kasus Rakyat Bersuara di iNews menjadi contoh paling telanjang.
Kasus Rakyat Bersuara di iNews menjadi contoh paling telanjang.
Ada kemarahan terpendam dari kubu Jokowi yang menginginkan program tersebut dibubarkan.
Ironisnya, pada saat yang sama, mereka tetap hadir, bahkan dengan antusias, mengisi studio setiap kali isu ijazah Jokowi dibahas.
Sikap ini memperlihatkan paradoks yang sulit disangkal: menuntut pembungkaman media, namun tetap memanfaatkan panggung yang sama.
Babak Belur di Arena Opini
Sikap ini memperlihatkan paradoks yang sulit disangkal: menuntut pembungkaman media, namun tetap memanfaatkan panggung yang sama.
Babak Belur di Arena Opini
Pendukung Jokowi, dalam banyak kesempatan, tampak merefleksikan sikap junjungannya.
Menuntut media dihentikan bukan karena ketidakadilan pemberitaan, melainkan karena defisit nalar.
Ketika argumentasi kalah telak, yang diserang bukan substansi, melainkan saluran diskusinya.
Klaim bahwa ijazah Jokowi telah terbukti asli pun menjadi ironi tersendiri.
Klaim bahwa ijazah Jokowi telah terbukti asli pun menjadi ironi tersendiri.
Wacana “pemaafan” terhadap sejumlah pihak, seolah telah terjadi kesalahan hukum yang final,justru memunculkan pertanyaan baru.
Bagaimana mungkin memaafkan sesuatu yang belum pernah terbukti salah, dan bahkan tidak pernah meminta maaf?
Jika kejujuran dan rasa malu masih menjadi bagian dari etika publik, semestinya Jokowi yang terlebih dahulu meminta maaf kepada rakyat.
Jika kejujuran dan rasa malu masih menjadi bagian dari etika publik, semestinya Jokowi yang terlebih dahulu meminta maaf kepada rakyat.
Namun realitas politik menunjukkan hal sebaliknya.
Selama satu dekade, berbagai kontroversi dan kebohongan telah menggerus kepercayaan publik, dan kasus ijazah ini menjadi simbol akumulasi kekecewaan tersebut.
Media Bukan Musuh, Tapi Cermin
Upaya membungkam media hanyalah strategi menutupi kekalahan telak dalam pertarungan opini.
Media bukanlah aktor utama, melainkan jembatan.
Ia menyediakan ruang, menghadirkan panggung, dan membiarkan ide serta argumentasi saling berhadapan di hadapan publik.
Seperti sebuah pertunjukan, media hanyalah lantai tempat para penari beradu kepiawaian.
Seperti sebuah pertunjukan, media hanyalah lantai tempat para penari beradu kepiawaian.
Jika seseorang terpeleset, kesalahannya bukan pada lantai, melainkan pada ketidakmampuan menari.
Sebagaimana ungkapan tajam Karni Ilyas dalam salah satu unggahan di akun X-nya:
Dalam konteks ini, kubu Jokowi telah kalah di panggung logika, dan media dipaksa menjadi kambing hitam atas kekalahan itu.
Sebagaimana ungkapan tajam Karni Ilyas dalam salah satu unggahan di akun X-nya:
Jangan salahkan lantai yang licin, jika kamu tak pandai menari.
Dalam konteks ini, kubu Jokowi telah kalah di panggung logika, dan media dipaksa menjadi kambing hitam atas kekalahan itu.
Babak belur bukan karena konspirasi, melainkan karena kebenaran yang tak kunjung mampu dijelaskan secara masuk akal. []
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat
Koordinator Non Litigasi Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi & Aktivis
Sumber artikel: Faktakini
#IjazahJokowi #BabakBelurOpini #MediaBukanMusuh #KebebasanPers #DemokrasiDiuji
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat
Koordinator Non Litigasi Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi & Aktivis
Sumber artikel: Faktakini
#IjazahJokowi #BabakBelurOpini #MediaBukanMusuh #KebebasanPers #DemokrasiDiuji


