Ketika Polisi Menilai Sains, Logika Dipertanyakan
Fatahillah313, Jakarta - Di republik yang konon menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, pernyataan aparat penegak hukum justru memantik pertanyaan mendasar:
Ketika Ilmu Diringkas Jadi Klaim
Rekam Jejak Akademik yang Tak Terbantahkan
Ilmiah Bukan Berarti Penuh Rumus Salah satu kekeliruan fatal dalam tudingan aparat adalah anggapan bahwa karya ilmiah harus selalu dijejali rumus matematika.
Dalam dunia akademik, hal ini sah dan lazim. Rumus lengkap ada di jurnal, sementara buku menjelaskan logika, metode, dan kesimpulan secara verbal.
Masalah yang Lebih Serius:
Rismon dengan lugas mempertanyakan:
Sindiran ini bukan tanpa dasar.
Ketika aparat merasa berhak menentukan kebenaran ilmiah tanpa memahami disiplin yang dinilai, maka yang runtuh bukan hanya satu buku, melainkan kepercayaan publik terhadap rasionalitas negara.
Sains Tak Bisa Ditangkap, Tak Bisa Dibungkam
Jika aparat ingin menyebut suatu karya “tidak ilmiah”, maka jalan yang bermartabat hanya satu:
sejak kapan polisi menjadi penentu ilmiah atau tidaknya sebuah karya akademik?Pernyataan dari Diphumas Polda Metro Jaya maupun di Reskrimum Polda Metro Jaya yang menyebut buku Jokowi’s White Paper (JWP) sebagai “tidak ilmiah” sontak mengundang kekecewaan, bukan hanya dari penulisnya, Rismon Sianipar, tetapi juga dari kalangan akademisi yang memahami bagaimana ilmu pengetahuan bekerja, bukan dengan klaim, melainkan dengan data, metodologi, dan rekam jejak.
Ketika Ilmu Diringkas Jadi Klaim
Rismon Sianipar bukan figur dadakan dalam dunia digital image processing dan digital forensik.
Ia menekuni bidang ini sejak awal 2000-an, jauh sebelum istilah “forensik digital” menjadi istilah populer.
Namun, dengan enteng, aparat menyebut karyanya hanya “klaim”, seolah-olah puluhan tahun riset dapat dihapus oleh satu kalimat konferensi pers.
Di sinilah ironi itu bermula.
Di sinilah ironi itu bermula.
Ilmu pengetahuan bukan ditentukan oleh seragam, pangkat, atau kewenangan hukum, melainkan oleh apakah suatu karya dapat diverifikasi, diuji ulang, dan direkonstruksi oleh peneliti lain.
Rekam Jejak Akademik yang Tak Terbantahkan
Sebagai jawaban atas tudingan “tidak ilmiah”, Rismon tidak melawan dengan emosi, tetapi dengan arsip akademik, sesuatu yang justru jarang disentuh oleh para penuduhnya.
Sejak awal 2000-an, nama Rismon Sianipar tercatat sebagai penulis dalam berbagai jurnal ilmiah bereputasi, di antaranya:
- Media Teknik UGM (2004)
Sejak awal 2000-an, nama Rismon Sianipar tercatat sebagai penulis dalam berbagai jurnal ilmiah bereputasi, di antaranya:
- Media Teknik UGM (2004)
Artikel bertajuk Kompresi Citra Diam Secara Adaptif dengan Pemilihan Pohon Basis Cosine Package dan Wavelet Package Menggunakan Algoritma Pruning Optimal.
Jurnal ini dikenal sangat kompetitif, diikuti dosen dan peneliti dari seluruh Indonesia lintas disiplin teknik.
- Jurnal Teknologi Industri Universitas Atma Jaya (2002)
- Jurnal Teknologi Industri Universitas Atma Jaya (2002)
Membahas analisis waktu-frekuensi cosine package dan wavelet package pada sinyal biologis seperti ECG dan sinyal otak.
- Jurnal Teknik Elektro & Informatika (2002–2003)
- Jurnal Teknik Elektro & Informatika (2002–2003)
Penuh dengan formulasi matematis, integral, fungsi ortogonal dan bi-ortogonal, sesuatu yang mustahil disebut “tidak ilmiah” oleh mereka yang pernah mencium bangku kuliah teknik.
Tak berhenti di dalam negeri, Rismon juga terlibat dalam prosiding internasional, termasuk riset edge detection, reaction-diffusion equation, hingga publikasi yang terindeks penerbit ilmiah global seperti Springer.
Pertanyaannya sederhana:
Tak berhenti di dalam negeri, Rismon juga terlibat dalam prosiding internasional, termasuk riset edge detection, reaction-diffusion equation, hingga publikasi yang terindeks penerbit ilmiah global seperti Springer.
Pertanyaannya sederhana:
Mana bagian yang tidak ilmiah?Bab mana?Halaman berapa?Metode apa yang salah?
Ilmiah Bukan Berarti Penuh Rumus Salah satu kekeliruan fatal dalam tudingan aparat adalah anggapan bahwa karya ilmiah harus selalu dijejali rumus matematika.
Padahal, Jokowi’s White Paper ditulis sebagai buku semi-populer, bukan jurnal, agar dapat dipahami publik luas.
Dalam dunia akademik, hal ini sah dan lazim. Rumus lengkap ada di jurnal, sementara buku menjelaskan logika, metode, dan kesimpulan secara verbal.
Menuntut buku populer memuat integral dan persamaan diferensial halaman demi halaman sama absurdnya dengan menuntut laporan polisi ditulis dalam bahasa Latin hukum Romawi.
Masalah yang Lebih Serius:
- Kewenangan Tanpa Kompetensi Yang lebih mengkhawatirkan bukan sekadar pernyataan “tidak ilmiah”, melainkan preseden berbahaya yang ditimbulkannya.
- Jika polisi dapat secara sepihak menilai karya ilmiah tanpa panel ahli independen, tanpa debat akademik terbuka, tanpa sanggahan metodologis, maka kebebasan ilmiah berada di titik krisis.
Rismon dengan lugas mempertanyakan:
- Apakah ada SOP kepolisian untuk menilai keilmiahan buku?
- Apa sertifikasi keilmuan aparat yang mengeluarkan penilaian tersebut?
- Mengapa tidak dibuka forum akademik terbuka dengan panel ahli lintas kampus?
Sindiran ini bukan tanpa dasar.
Dalam sains, menuduh karya tidak ilmiah adalah tuduhan serius, setara dengan menuduh peneliti melanggar etika akademik.
Tuduhan semacam itu menuntut pertanggungjawaban publik, bukan sekadar pernyataan sepihak.
Negara Hukum atau Negara Klaim?
Di titik ini, kritik Rismon menjelma menjadi kritik publik:
Apakah kita masih negara hukum berbasis data, atau telah berubah menjadi negara klaim berbasis kekuasaan?
Ketika aparat merasa berhak menentukan kebenaran ilmiah tanpa memahami disiplin yang dinilai, maka yang runtuh bukan hanya satu buku, melainkan kepercayaan publik terhadap rasionalitas negara.
Ilmu pengetahuan tidak anti kritik. Tapi ia menuntut satu hal: kritik yang setara secara kompetensi.
Sains Tak Bisa Ditangkap, Tak Bisa Dibungkam
Rismon Sianipar telah menunjukkan satu hal penting:
ilmu pengetahuan tidak hidup dari opini, melainkan dari rekam jejak. Jurnal, prosiding, dan karya yang bisa direkonstruksi oleh siapa pun adalah bahasa universal sains, bahasa yang tidak bisa dibungkam oleh seragam atau kewenangan.
Jika aparat ingin menyebut suatu karya “tidak ilmiah”, maka jalan yang bermartabat hanya satu:
buka debat akademik, tunjukkan kesalahan metodologis, dan biarkan publik menilai.
Karena dalam negara demokratis, kebenaran tidak ditentukan oleh siapa yang paling berkuasa, melainkan oleh siapa yang kebenaranya paling bisa diuji.
(as)
#IlmuBukanKlaim #AkademikDilawanData #WhitePaperJWP #KebebasanIlmiah #PolisiDanSains #DigitalForensik

