Bismillāhirraḥmānirraḥīm.
Fatahillah313, Jakarta - Dalam khazanah keilmuan Islam, memahami Al-Qur’an dan Sunnah tidak cukup hanya dengan membaca teks secara literal.
Diperlukan perangkat metodologis yang matang agar makna wahyu tidak disalahpahami, apalagi diseret ke arah pemaknaan yang menyimpang.
Inilah yang secara mendalam dikaji oleh KH. Mahfudz Asirun, ulama ahli ushul fiqh dan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam penjelasannya tentang mantūq, mafhūm, nash, zāhir, dan ta’wil.
Kajian ini bukan sekadar teori, melainkan fondasi penting agar umat Islam tidak tergelincir dalam pemahaman agama yang kaku (jumūd) atau sebaliknya terlalu liar dalam menafsirkan dalil.
Mantūq dan Mafhūm: Dua Pintu Memahami Dalil
Kajian ini bukan sekadar teori, melainkan fondasi penting agar umat Islam tidak tergelincir dalam pemahaman agama yang kaku (jumūd) atau sebaliknya terlalu liar dalam menafsirkan dalil.
Mantūq dan Mafhūm: Dua Pintu Memahami Dalil
KH. Mahfudz Asirun mengawali dengan konsep dasar dalam ushul fiqh:
Contohnya, ketika Al-Qur’an menyebut suatu hukum secara jelas, itulah mantūq.
- Mantūq adalah makna yang diucapkan secara langsung oleh lafaz.
- Mafhūm adalah makna yang dipahami dari lafaz, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit.
Contohnya, ketika Al-Qur’an menyebut suatu hukum secara jelas, itulah mantūq.
Namun ketika dari redaksi ayat itu tersirat pemahaman lain yang logis dan sesuai kaidah bahasa Arab, itulah mafhūm.
Apa Itu Nash? Mengapa Nash Sangat Jarang?
Apa Itu Nash? Mengapa Nash Sangat Jarang?
Dalam kajian ini, KH. Mahfudz menegaskan bahwa nash adalah lafaz yang tidak mengandung kemungkinan makna lain sama sekali.
Karena sifatnya yang mutlak dan tertutup dari ta’wil, nash sangat jarang ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
“An-nash mā lā yaḥtamilu ghayrahu.” Nash adalah lafaz yang tidak menerima kemungkinan makna selain satu.
Karena sifatnya yang mutlak dan tertutup dari ta’wil, nash sangat jarang ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Mengapa?
Karena bahasa wahyu adalah bahasa hidup, yang sarat dengan konteks (qarīnah), baik qarīnah lafẓiyyah (redaksi) maupun qarīnah ḥāliyyah (konteks situasi).
Contoh Nash dalam Al-Qur’an: Puasa Denda Haji
Contoh Nash dalam Al-Qur’an: Puasa Denda Haji
Salah satu contoh nash yang disebutkan adalah firman Allah Ta’ala:
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.(QS. Al-Baqarah: 196)
Ayat ini tidak bisa ditakwil:
- Tiga hari harus di waktu haji
- Tujuh hari harus setelah pulang
- Tidak boleh digabung
- Tidak boleh dikurangi
- Tidak boleh dipindahkan
Karena diakhiri dengan penegasan: “tilka ‘asyaratun kāmilah” (itulah sepuluh yang sempurna), maka ayat ini bersifat nash.
Zāhir: Makna Kuat tapi Masih Bisa Ditakwil
Berbeda dengan nash, zāhir adalah lafaz yang memiliki makna kuat, namun masih mungkin dipalingkan jika ada dalil yang lebih kuat.
Contoh yang dibahas KH. Mahfudz adalah ayat tentang kondisi darurat:
Contoh yang dibahas KH. Mahfudz adalah ayat tentang kondisi darurat:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Barang siapa dalam keadaan terpaksa, bukan karena ingin berbuat dosa dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.(QS. Al-Baqarah: 173)
Kata “bāghin” di sini bisa bermakna:
- Jahil (tidak tahu hukum)
- Zalim (sengaja melanggar)
Namun yang lebih zāhir dan lebih kuat (azhar) adalah makna zalim.
Maka orang yang terpaksa makan yang haram karena lapar boleh melakukannya selama tidak bermaksud maksiat.
Kinayah dan Isyarah: Bahasa Halus Wahyu
Kinayah dan Isyarah: Bahasa Halus Wahyu
KH. Mahfudz juga menjelaskan bahwa Al-Qur’an sering menggunakan kinayah (ungkapan halus) dan isyarah (petunjuk implisit).
Contohnya ayat tentang hubungan suami istri saat haid:
Contohnya ayat tentang hubungan suami istri saat haid:
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
Dan janganlah kamu mendekati mereka sampai mereka suci.(QS. Al-Baqarah: 222)
Kata “lā taqrabūhunna” (jangan mendekati) adalah kinayah dari hubungan suami istri.
Sedangkan “ḥattā yaṭhurna” memiliki dua kemungkinan:
Yang lebih aman dan lebih azhar, kata KH. Mahfudz, adalah menunggu hingga mandi, agar keluar dari khilaf ulama.
Ta’wil: Ketika Makna Zahir Mustahil
- Suci dari darah haid
- Suci setelah mandi
Yang lebih aman dan lebih azhar, kata KH. Mahfudz, adalah menunggu hingga mandi, agar keluar dari khilaf ulama.
Ta’wil: Ketika Makna Zahir Mustahil
Ta’wil bukanlah mengada-ada makna, melainkan memalingkan lafaz dari makna zahirnya karena mustahil diterapkan secara hakiki.
Contoh utama:
Contoh utama:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dan Dia bersama kamu di mana pun kamu berada.(QS. Al-Hadid: 4)
Ayat ini tidak boleh dipahami secara fisik (Allah bersama secara zat), karena itu mustahil.
Maka maknanya dita’wil kepada:
Inilah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana ditegaskan para ulama, termasuk Imam Ath-Thahawi:
- Kebersamaan dalam ilmu
- Kekuasaan
- Penjagaan
- Pengawasan
Inilah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana ditegaskan para ulama, termasuk Imam Ath-Thahawi:
Allah Maha Suci dari arah, tempat, dan penyatuan dengan makhluk.
Kunci Selamat dalam Memahami Wahyu
Dari kajian KH. Mahfudz Asirun, kita belajar bahwa:
Tanpa metodologi yang benar, seseorang bisa tergelincir antara tajsim (menyerupakan Allah dengan makhluk) atau ta’thil (meniadakan sifat Allah).
- Tidak semua ayat adalah nash
- Zahir tidak selalu mutlak
- Ta’wil diperlukan ketika makna zahir mustahil
- Bahasa Al-Qur’an harus dipahami dengan kaidah ilmu, bukan logika awam
Tanpa metodologi yang benar, seseorang bisa tergelincir antara tajsim (menyerupakan Allah dengan makhluk) atau ta’thil (meniadakan sifat Allah).
Jalan selamat adalah ittiba’ ulama mu’tabar dan disiplin dalam ilmu ushul.
(as)
#KajianUshulFiqh #KHMahfudzAsirun #MemahamiNash #IlmuTafsir #AhlussunnahWalJamaah #Ta’wil #ZahirDanNash #KajianIslamMendalam

