Dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu Menguat, Publik Menanti Transparansi Penyelenggara
Fatahillah313, Jakarta - Dinamika demokrasi nasional kembali memanas.
Tokoh masyarakat sekaligus warga negara, Bonatua, secara resmi melaporkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), KPU Provinsi DKI Jakarta, dan KPU Kota Surakarta ke lembaga penegak hukum dan pengawas pemilu.
Laporan ini menjadi sorotan publik karena menyentuh langsung jantung penyelenggaraan pemilu sebagaiinstitusi yang semestinya berdiri netral, profesional, dan menjunjung tinggi konstitusi.
Latar Belakang Laporan
Dalam keterangan yang disampaikan kepada media, Bonatua menyatakan bahwa laporan tersebut didasari oleh dugaan pelanggaran administratif dan prosedural dalam tahapan pemilu yang dinilai berpotensi mencederai prinsip keadilan elektoral.
Menurutnya, terdapat indikasi ketidakkonsistenan penerapan aturan, lemahnya verifikasi, serta keputusan-keputusan yang dinilai tidak transparan dan berimplikasi luas terhadap kepercayaan masarakat.
Pemilu bukan sekadar rutinitas lima tahunan. Ia adalah amanat konstitusi. Ketika penyelenggara pemilu diduga menyimpang dari aturan, maka warga negara memiliki hak konstitusional untuk menggugat,ujar Bonatua.
Objek Laporan dengan Tiga Level Penyelenggara
Laporan ini tidak hanya menyasar satu institusi, melainkan tiga level KPU sekaligus:
- KPU RI, sebagai pengambil kebijakan dan penentu arah regulasi teknis nasional.
- KPU Provinsi DKI Jakarta, yang memiliki peran strategis dalam pelaksanaan pemilu di wilayah ibu kota.
- KPU Kota Surakarta, yang disebut-sebut terkait langsung dengan kasus yang dipersoalkan.
Pendekatan berlapis ini menunjukkan bahwa Bonatua menilai persoalan yang dilaporkan bersifat struktural, bukan sekadar kesalahan teknis di lapangan.
Substansi Dugaan Pelanggaran
Meski proses hukum masih berjalan, substansi laporan disebut mencakup beberapa poin krusial, antara lain:
- Dugaan pelanggaran prosedur administrasi pemilu
- Inkonsistensi penerapan regulasi antara pusat dan daerah
- Lemahnya transparansi dan akuntabilitas keputusan
- Potensi konflik kepentingan yang seharusnya diantisipasi oleh penyelenggara
Bonatua menegaskan bahwa laporan ini disertai dokumen pendukung dan argumentasi hukum, bukan sekadar opini atau asumsi.
Sengketa Arsip Jokowi dan Alarm Sejarah yang Tak Boleh Diabaikan
Isu pengelolaan arsip negara kembali mencuat ke ruang publik. Kali ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan menyentuh jantung akuntabilitas demokrasi dan sejarah bangsa.
Aktivis sipil Bonatua resmi melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, KPU DKI Jakarta, dan KPU Kota Surakarta ke Ombudsman Republik Indonesia, menyusul dugaan tidak diserahkannya arsip penting terkait Presiden Joko Widodo ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Langkah ini meramaikan jagat diskusi politik dan hukum:
Langkah ini meramaikan jagat diskusi politik dan hukum:
Membuat tanda tanya besar !!!, apakah negara sedang abai terhadap kewajiban menjaga kearsipannya sendiri?
Arsip Negara ini Bukan Dokumen Biasa
Dalam sistem ketatanegaraan modern, arsip bukan sekadar tumpukan kertas. Ia adalah alat bukti sejarah, sumber legitimasi kekuasaan, dan fondasi pertanggungjawaban publik.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan secara tegas mengatur bahwa arsip bernilai guna sejarah wajib diserahkan kepada ANRI.
Menurut Bonatua, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan proses pencalonan, verifikasi, dan penetapan Joko Widodo sejak Pilkada Surakarta hingga Pilpres memiliki nilai strategis dan historis yang tidak boleh dibiarkan tercecer, apalagi hilang.
Menurut Bonatua, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan proses pencalonan, verifikasi, dan penetapan Joko Widodo sejak Pilkada Surakarta hingga Pilpres memiliki nilai strategis dan historis yang tidak boleh dibiarkan tercecer, apalagi hilang.
Jika arsip sepenting ini tidak dikelola dengan benar, kita sedang menyiapkan bom waktu bagi sejarah,
tegas Bonatua dalam keterangannya.
KPU di Bawah Pengawasan Ombudsman
Laporan ke Ombudsman menitikberatkan pada dugaan maladministrasi, mulai dari:
- Kelalaian dalam pengelolaan arsip,
- Tidak transparannya status keberadaan dokumen,
- Hingga dugaan pengabaian kewajiban penyerahan arsip ke ANRI.
Ombudsman RI, sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, kini diharapkan melakukan pemeriksaan menyeluruh atas tata kelola arsip di lingkungan KPU, baik pusat maupun daerah.
Kasus ini sekaligus menjadi ujian serius bagi komitmen dan kepercayaan KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan informasi.
Trauma Sejarah, contoh kasus SUPERSEMAR
Yang membuat laporan ini semakin sensitif adalah perbandingan historis yang disampaikan Bonatua. Ia mengingatkan bangsa Indonesia pada tragedi hilangnya arsip asli Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR), dokumen kunci yang mengubah arah kekuasaan nasional pada 1966.
Hilangnya SUPERSEMAR hingga hari ini meninggalkan:
- Perdebatan akademik yang tak kunjung usai,
- Ruang spekulasi politik,
- Serta luka epistemik dalam sejarah Indonesia.
Jangan sampai sejarah kelam itu terulang. Negara tidak boleh ceroboh dalam menjaga dokumen yang kelak menjadi rujukan generasi mendatang,
ujar Bonatua.
Implikasi Politik dan Demokrasi
Lebih dari sekadar persoalan arsip, kasus ini menyentuh keabsahan proses demokrasi. Arsip pemilu adalah rujukan utama:
- Untuk audit hukum,
- Klarifikasi publik,
- Hingga penelitian akademik.
Jika arsip tidak dikelola dengan baik, maka kepercayaan publik terhadap pemilu bisa terkikis. Di era ketika disinformasi dan polarisasi politik semakin tajam, kerapuhan dokumentasi negara hanya akan memperparah krisis legitimasi.
Menunggu Sikap Resmi KPU dan Negara
Hingga laporan ini diajukan, belum ada penjelasan komprehensif dari pihak KPU terkait:
- Di mana arsip tersebut berada,
- Status hukum dan kearsipannya,
- Serta alasan belum diserahkannya ke ANRI bila benar demikian.
Publik kini menanti:
- Respons resmi KPU additionally,
- Tindakan Ombudsman,
- Dan sikap tegas ANRI sebagai lembaga penjaga memori bangsa.
Arsip adalah Masa Depan Bangsa
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa negara yang lalai menjaga arsipnya sedang mempertaruhkan masa depannya sendiri.
Demokrasi tidak hanya dibangun dari pemilu lima tahunan, tetapi juga dari ketertiban dokumentasi, kejujuran administrasi, dan keberanian membuka arsip kepada publik.
Jika arsip hilang, sejarah menjadi kabur. Jika sejarah kabur, kebenaran mudah dimanipulasi. Dan ketika itu terjadi, demokrasi tinggal nama.
Menanti Proses dan Kejelasan Hukum
Hingga artikel ini ditulis, pihak KPU belum memberikan pernyataan resmi yang komprehensif terkait laporan tersebut.
Namun, publik berharap agar seluruh proses penanganan laporan dilakukan secara terbuka, objektif, dan akuntabel, demi menjaga legitimasi pemilu dan kepercayaan rakyat.
Apa pun hasilnya kelak, kasus ini menegaskan satu hal penting: demokrasi tidak berhenti di bilik suara, melainkan terus hidup melalui keberanian warga negara untuk mengawasi, mengkritisi, dan menuntut keadilan konstitusional.
(as)
#Bonatua #LaporkanKPU #KPURI #KPUDKI #KPUSurakarta #PemiluJujur #DemokrasiIndonesia #TransparansiPemilu
Jika arsip hilang, sejarah menjadi kabur. Jika sejarah kabur, kebenaran mudah dimanipulasi. Dan ketika itu terjadi, demokrasi tinggal nama.
Menanti Proses dan Kejelasan Hukum
Hingga artikel ini ditulis, pihak KPU belum memberikan pernyataan resmi yang komprehensif terkait laporan tersebut.
Namun, publik berharap agar seluruh proses penanganan laporan dilakukan secara terbuka, objektif, dan akuntabel, demi menjaga legitimasi pemilu dan kepercayaan rakyat.
Apa pun hasilnya kelak, kasus ini menegaskan satu hal penting: demokrasi tidak berhenti di bilik suara, melainkan terus hidup melalui keberanian warga negara untuk mengawasi, mengkritisi, dan menuntut keadilan konstitusional.
(as)
#Bonatua #LaporkanKPU #KPURI #KPUDKI #KPUSurakarta #PemiluJujur #DemokrasiIndonesia #TransparansiPemilu

