Republik Fufufafa: Ketika Lagu Menjadi Cermin Kekuasaan dan Publik Dipaksa Berpura-pura Tenang

Fatahillah313, Jakarta - Sebuah lagu kembali mengguncang ruang publik. 
Republik Fufufafa, karya terbaru Slank, bukan sekadar produk musik, melainkan peristiwa sosial. 
Lagu ini memicu perdebatan luas, memperlihatkan betapa rapuhnya sebagian elite dan pendukung kekuasaan ketika seni menyentuh wilayah yang selama ini dianggap “terlarang”.

Pegiat media sosial Yusuf Dumdum menjadi salah satu suara yang lantang mempertanyakan kegaduhan tersebut. 
Melalui unggahan di Facebook pribadinya pada 30 Desember 2025, Yusuf menyentil reaksi berlebihan sejumlah pihak terhadap lagu Slank.
Slank rilis lagu Republik Fufufafa tapi mengapa termul pada kejang-kejang semua?
tulis Yusuf.

Bagi Yusuf, reaksi tersebut justru membuka satu ironi: mereka yang selama ini mengklaim demokratis, ternyata alergi terhadap kritik berbentuk seni. 
Padahal, dalam sejarah Indonesia, musik selalu menjadi medium perlawanan, refleksi, dan kritik sosial.
Woles aja kenapa sih!
tandasnya.


Seni, Kritik, dan Kegelisahan Elite

Dalam perspektif Roy Suryo cs, kegaduhan ini bukanlah soal lagu semata, melainkan soal ketakutan terhadap narasi. 
Ketika kritik muncul dalam bentuk lagu, yang mudah dihafal, dinyanyikan, dan disebarkan, daya rusaknya justru lebih kuat dibandingkan pidato politik atau artikel akademik.

Roy Suryo dan kelompok kritis kebebasan berekspresi berulang kali menegaskan bahwa kebenaran sosial tidak selalu lahir dari dokumen resmi, tetapi dari akumulasi pengalaman publik, kegelisahan kolektif, dan simbol-simbol budaya, termasuk musik.

Reaksi “kejang-kejang”, meminjam istilah Yusuf Dumdum, justru menguatkan dugaan bahwa lagu ini menyentuh saraf sensitif kekuasaan.


Ferdinand Hutahaean: Realitas yang Tak Bisa Dipungkiri

Pandangan senada disampaikan politikus PDI Perjuangan Ferdinand Hutahaean. 
Ia menilai lagu Republik Fufufafa merefleksikan realitas yang hidup di tengah masyarakat, realitas yang mungkin tidak nyaman, tetapi nyata.
Menurut saya lagunya Slank itu adalah sebuah realita yang tidak bisa dipungkiri,
ujar Ferdinand, Senin (29/12/2025).

Menurut Ferdinand, meski ada pihak-pihak yang berusaha berlindung di balik kebohongan atau ketiadaan bukti formal, keyakinan publik tetap tumbuh dengan sendirinya.
Meskipun orang berlindung di balik kebohongan dan ketidakadaan bukti-bukti. Tetapi tetap saja itu sudah menjadi sebuah kebenaran di tengah publik,
tegasnya.

Pernyataan ini selaras dengan pandangan 
Ferdinand yang menilai bahwa kebenaran publik sering kali mendahului kebenaran hukum. 
Hukum mungkin memerlukan waktu, prosedur, dan dokumen. 
Namun, masyarakat bekerja dengan intuisi dan ingatan sosial.


Fufufafa: Simbol, Bukan Tuduhan Tunggal

Ferdinand juga menyinggung substansi lagu tersebut. 
Ia menegaskan bahwa isu yang diangkat Slank bukan fiksi kosong, melainkan simbol dari sesuatu yang dipercaya publik.
Soal Fufufafa dan lagunya Slank itu. Ya saya pikir memang ya itu kebenaran yang terjadi,
ucapnya.

Namun ia mengakui, kebenaran itu belum sepenuhnya bisa dibuka secara terang-benderang.
Hanya tidak bisa diungkap secara nyata saja,
lanjutnya.

Di titik inilah posisi  menjadi relevan: 
lagu bukan alat pembuktian hukum, tetapi alat pembongkar kesadaran. 
Seni tidak berkewajiban menyodorkan dokumen, tetapi menyodorkan pertanyaan.


Waktu yang pada akhirnya membuktikan

Ferdinand berpendapat pada satu hal: 
waktu akan menjadi penentu.
Kita tinggal tunggu waktu saja bahwa waktu akan menjawab kebenaran itu nantinya,
kata Ferdinand.

Sejarah Indonesia telah berkali-kali menunjukkan bahwa kritik yang dulu dicemooh, sering kali belakangan diakui sebagai peringatan dini. 
Lagu-lagu Iwan Fals, kritik teater Rendra, hingga satire era Orde Baru, semuanya pernah dianggap mengganggu, sebelum akhirnya dipahami.


Slank dan Keberanian Menyuarakan Zaman

Di luar polemik, Ferdinand menyampaikan penghormatan kepada Slank. 
Band legendaris ini kembali menegaskan posisinya sebagai suara jalanan, bukan sekadar penghibur.
Saya salut dan hormat kepada Slank atas lagu barunya,
ungkap Ferdinand.

Ia berharap lagu Republik Fufufafa dapat diterima luas oleh masyarakat dan menjadi hiburan sekaligus refleksi di tengah situasi bangsa yang sedang berduka akibat berbagai bencana.

Bagi 
Ferdinand, keberanian Slank adalah pengingat bahwa demokrasi tanpa kritik hanyalah slogan kosong. 
Ketika lagu saja dianggap ancaman, pertanyaannya bukan lagi tentang Slank, melainkan tentang seberapa dewasa Republik ini menghadapi cermin yang disodorkan kepadanya.


(as)
Sumber artikel : Fajar.co.id
#RepublikFufufafa #SlankBersuara #KritikSosial #RoySuryoCs #KebebasanEkspresi #MusikDanDemokrasi #SuaraPublik