KAJIAN IB-HRS: Metodologi Pemilahan Ushuludin dan Furu’ udin

Membaca Manahijut Tamyiz dalam Tradisi Ahlussunnah wal Jamaah

Fatahillah313, Jakarta - Di tengah derasnya arus pemikiran global yang kerap mencampuradukkan pokok dan cabang ajaran agama, kajian Manāhijut Tamyīz hadir sebagai penanda penting: 
bahwa dalam Islam tidak semua perkara memiliki kedudukan yang sama. 
  • Ada yang bersifat ushul, prinsip dasar yang tidak boleh ditawar, 
  • dan ada pula yang termasuk furu’, cabang-cabang yang terbuka bagi perbedaan dan ijtihad.

Inilah inti metodologi pemilahan yang menjadi fokus kajian kitab Manahijut Tamyiz, sekaligus tema besar disertasi doktoral (S3) yang dipaparkan dalam multaqa ilmiah para ulama dan asatiz.


Islam sebagai Agama Ilahi, Bukan Produk Akal 

Kajian ini dibuka dengan penegasan epistemologis yang sangat mendasar: 
Islam adalah agama Ilahi (ad-dīnul ilāhī), agama yang bersumber dari wahyu suci, bukan produk akal manusia, bukan hasil budaya, bukan pula konstruksi filsafat.
Dalam mukadimah kitab ditegaskan:
Al-Islāmu huwa ad-dīnul ilāhī, nabī min asāsi al-waḥyil muqaddas, wa laysa muntajan ‘aqliyyan wa lā tsaqāfiyyan
Artinya, Islam lahir dari wahyu yang disampaikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad ﷺ, bukan dari rekayasa intelektual atau konstruksi sosial. 
Penegasan ini menjadi penting di tengah propaganda pemikiran liberal yang kerap menyatakan bahwa agama adalah “produk budaya”. 
Padahal, budaya adalah hasil olah akal manusia, sementara Islam justru hadir untuk membimbing dan meluruskan akal serta budaya manusia itu sendiri.

Dengan fondasi ini, Manahijut Tamyiz menegaskan bahwa metodologi pemilahan ushul dan furu’ tidak bisa dilepaskan dari keyakinan bahwa sumber ajaran Islam adalah wahyu, bukan relativitas rasional semata.


Ushul dan Furu’: Kunci Menjaga Keseimbangan Beragama 

Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jamaah, pemilahan antara ushuluddin dan furuuddin bukanlah sekadar klasifikasi akademik, melainkan mekanisme penjaga keseimbangan umat.

    • Ushul mencakup perkara-perkara prinsipil: akidah tauhid, kenabian, wahyu, dan nilai-nilai pokok syariat yang bersifat qat’i.
    • Furu’ mencakup ranah ijtihadiyah: perbedaan mazhab, metode istinbath hukum, hingga ragam praktik cabang dalam ibadah dan muamalah.

Kesalahan memahami pemilahan ini sering melahirkan dua ekstrem: 
pertama, sikap keras yang menganggap seluruh perbedaan sebagai penyimpangan; 
kedua, sikap longgar yang merelatifkan prinsip akidah seolah semuanya setara.

Di sinilah Manahijut Tamyiz berperan: mengajarkan ketegasan dalam ushul, kelapangan dalam furu’.


Islam Satu-satunya Agama yang Diterima di Sisi Allah 

Kajian ini juga dengan tegas masuk ke wilayah akidah yang kerap dipersoalkan di era modern, yakni isu pluralisme agama
Islam mengakui pluralitas, tetapi menolak pluralisme.
Pluralitas adalah kenyataan sosial, keberagaman suku, budaya, bahasa, dan agama, yang merupakan sunnatullah.
 
Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa Allah mampu menjadikan manusia satu umat, tetapi memilih menjadikan mereka berbeda-beda agar saling mengenal dan bekerja sama.

Namun pluralisme adalah paham ideologis yang menyatakan bahwa semua agama sama dan sama-sama benar. Inilah yang ditolak oleh Islam, karena bertentangan langsung dengan prinsip ushul akidah:
Innad-dīna ‘indallāhil Islām “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.”

Menariknya, kajian ini menegaskan bahwa menolak pluralisme bukan berarti memusuhi pemeluk agama lain. 
Islam justru mengajarkan kebebasan beragama yang sejati: 
setiap pemeluk agama berhak meyakini agamanya sebagai yang benar, tanpa paksaan untuk mengakui kebenaran agama lain.

Di sinilah letak kritik tajam terhadap propaganda kebebasan ala liberal: 
atas nama HAM, umat Islam justru dipaksa mengakui kebenaran yang tidak mereka yakini. Ini bukan kebebasan, melainkan pemaksaan ideologis.


HAM, Gender, dan Tantangan Pemikiran Kontemporer 

Kajian Manahijut Tamyiz tidak berhenti pada ranah teoretik, tetapi juga menyentuh isu-isu kontemporer yang kini dijadikan alat tekanan terhadap Islam: 
hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan narasi global Barat.

Islam, sebagaimana ditegaskan dalam kajian ini, tidak mengenal “kesetaraan gender” dalam arti penyamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan. 
Yang dikenal adalah keserasian gender, keselarasan peran sesuai fitrah biologis dan psikologis masing-masing.

Upaya memaksakan kesetaraan mutlak justru menabrak kaidah-kaidah syariat dan realitas penciptaan manusia. Inilah contoh bagaimana kegagalan memilah ushul dan furu’ dapat berujung pada distorsi ajaran.


Pendidikan Ulama, Pesantren, dan Wawasan Kebangsaan 

Kajian ini juga menempatkan pesantren, ulama, dan majelis taklim sebagai benteng utama penjaga metodologi berpikir umat. 
Karena itu, para dai, guru, dan pimpinan lembaga pendidikan Islam dituntut untuk memahami perkembangan zaman, tanpa kehilangan pijakan pada kitab-kitab turats.

Wawasan kebangsaan pun diposisikan secara proporsional: 
Pancasila dipahami sebagai hasil ijtihad kolektif para ulama pendiri bangsa, bukan proyek satu tokoh semata. 
Dengan pemahaman ini, umat Islam tidak mudah terjebak pada klaim-klaim politik yang memonopoli nasionalisme sambil menafikan peran ulama.


Manahijut Tamyiz sebagai Jalan Keselamatan 

Umat Pada akhirnya, Manahijut Tamyiz bukan sekadar metodologi akademik, tetapi kompas intelektual dan spiritual. Ia menjaga umat agar tidak keras pada perkara cabang, dan tidak lunak pada perkara prinsip.

Di era ketika Islam diserang bukan dengan senjata, melainkan dengan wacana, pemikiran, dan propaganda global, kemampuan memilah antara ushul dan furu’ menjadi kebutuhan mendesak. 
Tanpanya, umat mudah terombang-ambing, kehilangan identitas, kehilangan keberanian, dan kehilangan arah.

Kajian ini mengingatkan satu hal penting: 
Islam akan tetap kokoh selama umatnya kokoh dalam ushul dan bijak dalam furu’.



(as)
#ManahijutTamyiz #UshulDanFuru #AhlussunnahWalJamaah #KajianKitab #IslamIlahi #AkidahIslam #PemikiranIslam #Pesantren