ASHA, Jakarta - Selasa, 7 Desember 2022, DPR dan Pemerintah menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang KUHP. Setelah penantian panjang yang cukup melelahkan, menegangkan, dan kontroversi, melewati tujuh presiden akhirnya Indonesia punya KUHP hasil produk sendiri.
Saya mencoba membaca UU KUHP itu dari perspektif sosio-yuridis, untuk apa kita memiliki KUHP buatan sendiri? Mula-mula keinginan untuk merancang KUHP Indonesia pada tahun 1958 ditandai dengan lahirnya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN).
Keinginan untuk membuat KUHP sendiri tidak terlepas dari kebutuhan hukum bagi Indonesia merdeka. Sebuah UU yang sesuai dengan cita-cita, nilai hidup, asas-asas dan prinsip yang dianut oleh bangsa Indonesia. Sehingga dengan demikian bangsa Indonesia mampu meninggalkan sedikit demi sedikit warisan kolonial itu.
Dalam perkembangannya, penyusunan RKUHP selalu mengalami pasang surut. Meski demikian kita bersyukur bahwa rencana memiliki KUHP sendiri akhirnya terwujud.
Dalam gegap-gempita menyambut RKUHP itu, banyak sekali perdebatan panjang dan sampai pada saat persetujuan oleh DPR dan Pemerintah perdebatan itu masih belum selesai. Kontroversi menyertai ketukan palu di Gedung DPR. Gebrak meja dan saling tunjuk terjadi. Di luar parlemen, kelompok-kelompok civil society masih menginterupsi pasal-pasal tertentu.
Pembahasan RKUHP mencapai kritikan paling dahsyat dari masyarakat terjadi pada 2019. Dengan slogan "Reformasi dikorupsi" para mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil turun ke jalan, menuntut pemerintah segera menghentikan pembahasan RKUHP dan Perubahan UU KPK. Hasilnya, lima orang korban tewas dan setidaknya 232 orang, sebagian besar mahasiswa, menjadi korban akibat tindakan represif aparat.
Tetapi semua kejadian itu tidak pernah menjadi perhatian penting bagi pemerintah. Cukup nahas nasib para mahasiswa dan masyarakat sipil itu; mereka harus mati demi untuk menyatakan pendapat di muka umum dan mendapatkan tindakan represif dalam sebuah negara yang demokratis. Inilah yang menyertai lahirnya UU KUHP itu.
Demonstrasi adalah hak konstitusional warga negara yang diatur dalam UUD NRI 1945, dan itu tidak bisa dibatasi oleh negara. Hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, hak menyatakan pikiran dan pendapat di muka umum (seperti kritikan dan mencela kebijakan negara yang diwakili oleh lembaga-lembaga negara) adalah hak yang melekat pada warga negara.
Tetapi UU KUHP yang baru disahkan membatasi itu yang bisa berdampak pada pembungkaman kritik bagi masyarakat umum dan menjadi alat bagi penguasa yang "bertelinga tipis". Beberapa pasal perlu ditulis di sini, yaitu Pasal 218 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden, Pasal 240 mengatur Penghinaan terhadap Pemerintah dan Lembaga Negara, Pasal 236 Penghinaan terhadap Lambang Negara, serta Penyebaran dan Pengembangan Ajaran atau Paham yang Bertentangan dengan Pancasila dalam Pasal 188.
Kehormatan itu memang perlu dijaga bagi pejabat, tetapi menjaga kehormatan harus dengan integritas dan moralitas bagi mereka yang memegang jabatan pada institusi negara. Merumuskan norma kehormatan dengan pemidanaan seperti itu akan menjadi alat bagi penguasa bebal yang tidak tahan kritik untuk dijadikan pasal karet, pasal yang bisa menjerat kelompok-kelompok politik yang berseberangan.
Bangsa Indonesia punya sejarah melahirkan pemerintahan-pemerintahan terpimpin. Para penguasa yang suka dipuji dan tidak ingin dikritik. Orde Lama dan Orde Baru adalah dua rezim yang dapat dijadikan sejarah untuk menimba kearifan.
Karena itu, ketika membaca pasal-pasak itu, saya mengingat apa yang dikatakan Sukarno, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
UU KUHP yang baru ini seperti melawan anak bangsa sendiri. Kenapa mereka yang menghina pejabat saja yang ditangkap? Kenapa pejabat yang menghina rakyat dengan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, menghina rakyat dengan perilaku korup dan berbagai berbagai macamnya tidak dikatakan sebagai penghinaan dan mencemarkan? Harusnya mereka ini dipidana.
Betul bahwa KUHP yang lama adalah warisan kolonial, dan tentu sebagai warisan kolonial, memiliki sisi-sisi jahat. Tetapi kalau KUHP hasil ciptaan bangsa sendiri dalam suasana demokrasi dan kebebasan (bukan keliaran/liar) dipidana dengan alasan menjaga kehormatan pejabat negara yang digaji oleh rakyat, sangat absurd. Kenapa harus pejabat yang diberi predikat kehormatan?
Padahal secara umum kehormatan itu diatur dengan Pasal 433, Pasal 434, dan Pasal 436. Sementara untuk pejabat diberi kehormatan khusus. Seharusnya mengenai pidana pencemaran dan fitnah itu bukan mengenai jabatan, tetapi mengenai haknya sebagai warga negara yang tidak boleh dicemarkan dan difitnah, bukan sebagai penguasa atau pejabat.
Penguasa itu adalah pelaksana daulat rakyat, kapan dan di mana pun jabatan itu melekat pada dirinya untuk melayani rakyat. Rakyat bisa menuntut pertanggungjawaban kepada penguasa kapan pun dan di mana pun dengan bahasa yang keras maupun yang lembut, asalkan tidak menyerang pribadinya, tetapi menyerang kebijakannya harus dilindungi oleh UU, bukan sebaliknya.
Sebagaimana saya tulis di awal tadi, RKUHP yang sekarang menjadi UU KUHP telah melewati proses yang memakan korban, jangan sampai KUHP itu juga akan memakan korban lagi atas tindakan represif dari negara. Kita tidak ingin rakyat ditumbalkan dan demokrasi dikekang atas nama ketertiban umum dan atas nama kehormatan penguasa.
Kita bersyukur bahwa Indonesia memiliki UU KUHP sendiri setelah 60 tahun cita-cita merumuskannya. Dan, melihat beberapa pasal di dalamnya, saya mengucapkan innalillahi wa innailaihi rajiun --semoga ini bukan mukadimah menuju pemerintahan otoriter.
Marilah kita menyambut UU KUHP dengan semangat Pancasila dengan komitmen bahwa kita akan menggunakannya untuk membangun negara menuju negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Semoga penguasa tidak menyambutnya untuk membungkam kritik, dan mengkriminalisasi kelompok yang berbeda, dan tetap menjaga komitmen demokrasi dan konstitusi, memberikan ruang kepada rakyat untuk menginterupsi kekuasaannya tanpa diancam dengan pidana.
Furqan Jurdi pegiat hukum
(mmu/mmu)
Sumber : DetikNews