Pemicu Banjir di Sumatera: Hujan yang Ekstrem atau Kerakusan yang Ekstrem?

 Ketika Alam Dituding, Manusia Dibebaskan dari Tanggung Jawab

Oleh: Dr. Muhammad Hanif Alathas, Lc., M.Pd.

Fatahillah313, Jakarta - Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada Desember 2025 bukan sekadar bencana alam biasa. 
Ia adalah tragedi kemanusiaan berskala besar yang menelanjangi kegagalan kolektif dalam menjaga amanah lingkungan. 
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, hingga Sabtu (13/12/2025), 1.006 jiwa meninggal dunia akibat rangkaian bencana ini. 
Rinciannya: Aceh 414 korban, Sumatera Utara 349 korban, dan Sumatera Barat 242 korban jiwa.

Jumlah warga terdampak pun luar biasa besar. Di Aceh saja, pengungsi sempat menyentuh angka 817 ribu orang, sebelum berangsur turun menjadi sekitar 586 ribu jiwa. 
BNPB menegaskan bahwa data korban terus mengalami dinamika akibat proses validasi di lapangan, termasuk korban hilang yang kini tercatat 217 orang dari sebelumnya 226 nama.

Di tengah duka mendalam itu, publik justru disuguhi narasi yang terasa terlalu mudah: hujan ekstrem. Curah hujan tinggi kembali dijadikan kambing hitam. 
Sebagian pejabat dan pemangku kebijakan seakan ingin segera menutup diskusi dengan satu kesimpulan sederhana, bahwa alam sedang “murka”.

Namun, benarkah sesederhana itu?


Narasi yang Menyesatkan, Ketika Hujan Dijadikan Tersangka Tunggal 

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memang mencatat curah hujan di beberapa wilayah Sumatera Utara mencapai lebih dari 300 mm per hari, dipengaruhi Siklon Tropis Senyar di kawasan Selat Malaka. 
Angka ini memang tergolong tinggi. Akan tetapi, menjadikan hujan sebagai penyebab utama adalah bentuk penyederhanaan yang menyesatkan.

Hujan, dalam sistem ekologis yang sehat, tidak pernah menjadi musuh kehidupan. 
Ia justru menjadi sumber penghidupan. 
Pertanyaan mendasarnya bukanlah “seberapa besar hujan turun”, melainkan: ke mana air itu seharusnya pergi?


Al-Qur’an Menegaskan bahwa Hujan Adalah Rahmat yang Terukur 

Al-Qur’an secara eksplisit menolak anggapan bahwa hujan diturunkan sebagai instrumen kehancuran. Allah Ta‘ala berfirman:

وَالَّذِي نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَنْشَرْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا
Dan Dia-lah yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan), lalu Kami hidupkan dengannya negeri yang mati.
(QS. Az-Zukhruf: 11)


Frasa “bi qadar” (menurut kadar) menjadi kunci. Para ulama tafsir sepakat bahwa hujan diturunkan dalam ukuran yang membawa kemaslahatan. 
Tafsir Jalalain menegaskan bahwa kadar tersebut bukanlah ukuran yang menghancurkan. 
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa kelebihan hujan justru akan merusak kehidupan, sehingga Allah menurunkannya dengan takaran yang tepat. 
Imam Ar-Razi bahkan menyebut hujan sebagai bagian dari sistem ilahi yang menjamin keselamatan manusia dan keberlangsungan pertanian.

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَسْكَنَّاهُ فِي الْأَرْضِ
Air hujan, menurut Tafsir At-Tahrir wat-Tanwir, tidak sekadar turun lalu mengalir. Ia disimpan di bumi, sebagian di permukaan untuk menyuburkan tanaman, sebagian lagi meresap ke dalam tanah menjadi cadangan air jangka panjang. Semua itu bekerja optimal jika ekosistemnya utuh.
(QS. Al-Mu’minun: 18)

Dengan kata lain, hujan bukan masalahnya. Masalahnya muncul ketika sistem penyimpanan alami itu dihancurkan.


Sains Menguatkan Wahyu, Hujan Hanya Pemicu, Bukan Penyebab 

Pernyataan ini sejalan dengan penjelasan ilmiah. Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, pakar Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS Universitas Gadjah Mada (UGM), menegaskan bahwa cuaca ekstrem hanyalah pemicu, bukan penyebab utama banjir bandang.


Hutan di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), menurutnya, bekerja seperti spons raksasa. 
Tajuk dan vegetasi hutan mampu menahan 15–35 persen air hujan, sementara tanah hutan yang sehat menyerap hingga 55 persen air melalui infiltrasi. 
Limpasan permukaan yang langsung mengalir ke sungai seharusnya hanya sekitar 10-20 persen.
Jika hutan rusak, seluruh fungsi ini hilang. Maka hujan yang sama akan berubah menjadi bencana,
 
tegas Hatma.

Apa yang dijelaskan sains modern ini sejatinya selaras dengan tafsir para ulama tentang air hujan yang “menetap di bumi” melalui sistem alami yang Allah ciptakan.


Mengapa Kini Hujan Menjadi Mematikan? 

Jawabannya telah ditegaskan Al-Qur’an lebih dari 14 abad lalu:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia.
(QS. Ar-Rum: 41)


Inilah yang oleh para pakar disebut sebagai akumulasi dosa ekologis. Kerusakan hutan di hulu DAS menjadikan hujan, yang semestinya rahmat, berubah menjadi ancaman.

Fakta di lapangan mencengangkan. Aceh kehilangan lebih dari 700 ribu hektare hutan dalam rentang 1990-2020. 
Sumatera Utara kini hanya menyisakan sekitar 29 persen tutupan hutan, terfragmentasi dan tertekan oleh pembalakan, perkebunan, serta pertambangan. 
Sumatera Barat pun kehilangan sekitar 740 ribu hektare tutupan pohon sepanjang 2001-2024.

Simbol paling telanjang dari kerusakan ini adalah jutaan meter kubik kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir. Itu bukan karya hujan. Itu adalah jejak kerakusan manusia.


Solusi Qurani dan Nabawi: Menanam, Bukan Menebang 

Islam tidak hanya menawarkan kritik, tetapi juga solusi. Rasulullah ﷺ menjadikan menanam pohon sebagai amal bernilai sedekah:
Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman atau pohon, lalu dimakan burung, manusia, atau hewan, kecuali menjadi sedekah baginya.
(HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan dalam kondisi kiamat sekalipun, Nabi ﷺ tetap memerintahkan penanaman. 
Sebaliknya, perusakan pohon, terutama yang menjadi milik publik, mendapat ancaman keras.

Ini bukan sekadar pesan moral, tetapi kerangka etika ekologis yang relevan lintas zaman.


Saatnya Jujur pada Akar Masalah 

Bencana di Sumatera bukanlah akibat hujan yang ekstrem, melainkan kerakusan yang ekstrem. 
Alam telah bekerja sesuai sunnatullah, tetapi manusia merusak sistem penyangganya. 
Ketika hutan digunduli, tanah dipaksa menyerah, dan sungai kehilangan ruang hidupnya, maka hujan, betapapun “normal”, akan berubah menjadi bencana.

Solusinya bukan sekadar beton, tanggul, atau teknologi mahal. Solusinya adalah pertobatan ekologis: 
kembali pada petunjuk Allah dan Rasul-Nya, memakmurkan bumi, dan menghentikan eksploitasi yang membabi buta.
Jika tidak, pertanyaannya sederhana: apa yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita, bumi yang hidup, atau puing-puing keserakahan?

Wallahu Ta‘ala a‘lam.


(as)
#BanjirSumatera #DosaEkologis #KrisisLingkungan #Deforestasi #IslamDanLingkungan #HujanBukanMasalah #SelamatkanHutan #EkologiIslam