Ketika Dokumen Negara Diuji oleh Logika Ilmiah dan Keadilan Prosedural
Bukan sekadar isu lama yang diulang, melainkan memasuki fase baru: pertarungan antara klaim keaslian administratif dan tuntutan uji ilmiah yang adil, terbuka, serta setara di hadapan hukum.
Dalam sejumlah diskursus publik, termasuk perbincangan antara Rismon Sianipar, Razman Arif Nasution, dan host acara, satu benang merah mengemuka:
keadilan hukum bukan hanya dengan pernyataan resmi, ia harus diuji secara saintifik dan transparan.
Uji Forensik Sepihak: Di Mana Letak Fairness?
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri secara tegas menyampaikan bahwa perkara ijazah Jokowi berpotensi masuk ke ruang sidang.
Di titik inilah prinsip equality before the law diuji secara nyata.
Reza menekankan pentingnya uji tandingan saintifik (cross examination forensik) terhadap barang bukti utama, ijazah, sebagaimana praktik hukum modern yang memberi ruang adil bagi kedua belah pihak.
Pandangan ini sejalan dengan kegelisahan Rismon Sianipar, pakar digital forensik, yang mengaku hanya diperkenankan melihat dokumen tanpa menyentuh atau memeriksa secara langsung dalam gelar perkara.
Pandangan ini sejalan dengan kegelisahan Rismon Sianipar, pakar digital forensik, yang mengaku hanya diperkenankan melihat dokumen tanpa menyentuh atau memeriksa secara langsung dalam gelar perkara.
Bagi kalangan forensik, pembatasan semacam ini bukan sekadar teknis, tetapi berpotensi mengaburkan kebenaran material.
Ini bukan soal sederhana. Pembuktiannya kompleks, ilmiah, dan tidak semua hakim otomatis memahami aspek teknisnya. Karena itu pembanding menjadi keharusan,
tegas Rismon.
Kejanggalan Kasat mata, dari Ketebalan Hingga Jejak Printer
Kejanggalan Kasat mata, dari Ketebalan Hingga Jejak Printer
Dari pengamatan kasat mata saja, Rismon mengungkap serangkaian kejanggalan serius yang menurutnya layak diuji lebih lanjut:
Bagi pendukung keyakinan bahwa ijazah tersebut bermasalah, temuan ini bukan tuduhan sembrono, melainkan indikasi teknis yang menuntut verifikasi ilmiah terbuka, bukan sekadar klaim institusional.
Ijazah sebagai Produk yang melalui Proses, Bukan Sekadar Kertas
- Ketebalan kertas ijazah yang dinilai jauh lebih tipis dibanding ijazah sekolah dasar era yang sama.
- Kontras foto yang terlalu tajam untuk dokumen berusia lebih dari 40 tahun.
- Bercak tinta dan garis lurus hitam yang tidak acak—diduga kuat sebagai error printer, bukan hasil percetakan lama.
Bagi pendukung keyakinan bahwa ijazah tersebut bermasalah, temuan ini bukan tuduhan sembrono, melainkan indikasi teknis yang menuntut verifikasi ilmiah terbuka, bukan sekadar klaim institusional.
Ijazah sebagai Produk yang melalui Proses, Bukan Sekadar Kertas
Argumen penting lain yang jarang dibantah secara tuntas adalah bahwa ijazah bukan benda tunggal, melainkan produk dari rangkaian proses akademik:
transkrip nilai, pembimbing skripsi, tanda tangan pejabat fakultas, stempel basah, hingga konsistensi administratif.
Rismon dan timnya menyoroti transkrip nilai atas nama Joko Widodo yang:
- Tidak memuat tanda tangan dekan
- Tidak memiliki stempel basah
- Ditulis tangan
- Tidak mencantumkan mata kuliah pilihan
Temuan ini menguatkan dugaan bahwa dokumen tersebut lebih menyerupai produk sarjana muda, bukan sarjana penuh.
Pernyataan Kasmujo, yang membantah pernah membimbing skripsi Jokowi sebagaimana klaim tahun 2017, kerap dijadikan penguat narasi ini.
Pengadilan Sebagai Arena Terakhir Kebenaran Material
Pengadilan Sebagai Arena Terakhir Kebenaran Material
Razman Arif Nasution melihat pengadilan sebagai panggung pembuktian sesungguhnya. Ia menegaskan bahwa di ruang sidang, barang bukti dapat diperlihatkan, dipegang, dan diperiksa secara menyeluruh oleh para ahli.
Bahkan, menurutnya, ada opsi penundaan sidang demi memberi ruang uji independen yang disiarkan terbuka.
Namun, bagi pihak yang skeptis, kekhawatiran tetap ada: apakah waktu, akses, dan kebebasan pemeriksaan benar-benar akan diberikan secara proporsional? Jika tidak, maka hakim dikhawatirkan hanya akan bersandar pada satu versi kebenaran—hasil uji forensik negara.
Laporan Ditolak, Maka Arsip Dipertanyakan
Namun, bagi pihak yang skeptis, kekhawatiran tetap ada: apakah waktu, akses, dan kebebasan pemeriksaan benar-benar akan diberikan secara proporsional? Jika tidak, maka hakim dikhawatirkan hanya akan bersandar pada satu versi kebenaran—hasil uji forensik negara.
Laporan Ditolak, Maka Arsip Dipertanyakan
Di luar pengadilan, persoalan transparansi semakin kompleks. Aktivis Beni Parapat melaporkan dugaan kebohongan publik terkait scan ijazah Jokowi, namun laporannya ditolak dengan alasan tidak adanya ijazah otentik pembanding.
Sebuah paradoks hukum: dokumen dinyatakan asli, tetapi pembanding otentiknya disebut tidak tersedia.
Sementara itu, dalam sengketa informasi publik, permintaan menghadirkan Sekda DKI Jakarta untuk menjelaskan arsip pelantikan gubernur juga ditolak.
Padahal, logika administrasi negara mengharuskan setiap pelantikan pejabat publik berbasis arsip dan verifikasi dokumen yang sah.
Keraguan karena Tidak Transfarant
Keraguan karena Tidak Transfarant
yang Absen Keyakinan bahwa ijazah Jokowi bermasalah, bahkan palsu, tidak lahir dari kebencian personal, melainkan dari akumulasi kejanggalan teknis, inkonsistensi administratif, dan resistensi terhadap uji terbuka.
Selama proses klarifikasi berjalan tertutup, terbatas, dan sepihak, keraguan publik justru akan terus hidup.
Dalam negara hukum, keaslian dokumen pejabat tertinggi bukan tabu untuk diuji, melainkan kewajiban moral dan konstitusional. Kebenaran tidak takut pada cahaya. Dan ijazah, sebagai simbol legitimasi akademik, seharusnya paling siap untuk diuji secara ilmiah, terbuka, dan adil.
(as)
#UjiIjazahJokowi #ForensikDokumen #KeadilanIlmiah #TransparansiNegara #EqualityBeforeTheLaw
Dalam negara hukum, keaslian dokumen pejabat tertinggi bukan tabu untuk diuji, melainkan kewajiban moral dan konstitusional. Kebenaran tidak takut pada cahaya. Dan ijazah, sebagai simbol legitimasi akademik, seharusnya paling siap untuk diuji secara ilmiah, terbuka, dan adil.
(as)
#UjiIjazahJokowi #ForensikDokumen #KeadilanIlmiah #TransparansiNegara #EqualityBeforeTheLaw

