Kisruh Protes Pajak Naik Merebak di Pati, Jombang, Cirebon, hingga Bone: Ekonom Soroti Dampaknya

Fatahillah313, Jakarta, 14 Agustus 2025 – Gelombang protes menentang kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) meluas dari Pati hingga ke Jombang, Cirebon, dan Bone, didorong oleh besarnya kenaikan tarif yang dianggap menghimpit masyarakat. Ekonom pun memperingatkan bahwa warga tidak sepenuhnya menikmati kebijakan tersebut dan justru terus dirugikan.

1. Dari Pati ke Jombang, Cirebon, dan Bone: Protes Meluas
Aksi protes pertama kali meletus di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terkait rencana kenaikan PBB-P2 hingga 250%. Meskipun pemerintah daerah akhirnya membatalkan kebijakan ini, aksi berlanjut dengan tuntutan agar Bupati Sudewo mundur.

Protes menyusul terjadi di beberapa daerah lain:
  • Pati, Jawa tengah di mana keluhan warga menyebut kenaikan PBB mencapai 250 persen.
  • Jombang, Jawa Timur, di mana keluhan warga menyebut kenaikan PBB mencapai 800 persen.
  • Cirebon, di mana kelompok warga seperti Paguyuban Pelangi Cirebon juga menuntut pembatalan kenaikan PBB yang disebut melonjak hingga 1.000 persen.
  • Bone, meski detailnya sedikit, juga menjadi bagian dari gelombang penolakan protes atas kebijakan kenaikan pajak ini.

2. Ekonom: Warga Tak Menikmati, Sumber Masalahnya dari Efisiensi Anggaran
Ekonom dari INDEF, Eko Listiyanto, menyampaikan bahwa kebijakan efisiensi anggaran—khususnya pemotongan dana transfer ke daerah—memaksa pemda untuk mencari penerimaan alternatif, salah satunya melalui peningkatan PBB yang mendadak dan drastis.

Menurut Eko, memotong transfer ke daerah sangat berisiko, terutama di wilayah dengan kapasitas fiskal rendah. Ia menyarankan agar pemerintah pusat tak mengurangi dana transfer, melainkan mendorong kreativitas daerah dalam menambah pendapatan. Contohnya: pemanfaatan stadion Pakansari di Bogor untuk acara yang mendukung UMKM sebagai sumber retribusi baru.

3. Dampak Protes dan Instruksi Pemerintah
Aksi protes menyebar luas memperlihatkan kegelisahan masyarakat terhadap kebijakan fiskal lokal yang tidak pro-rakyat. Menteri Dalam Negeri bahkan memperingatkan agar wilayah seperti Cirebon tidak berakhir "sepanas" Pati demi menghindari eskalasi unjuk rasa.

4. Solusi Proaktif yang Ditawarkan
Pemerintah Pusat: Diharapkan tidak mengandalkan pemotongan dana daerah, melainkan memperkuat pendampingan dan memberikan alternatif pendapatan yang adil dan kreatif.

Pemerintah Daerah: Perlu transparansi, dialog publik, dan inovasi dalam pendanaan wilayah agar ketergantungan terhadap pajak langsung tak memberatkan rakyat.
Gelombang protes atas kenaikan PBB di sejumlah daerah mencerminkan ketegangan nyata antara kebutuhan fiskal pemerintah dan keberlanjutan kesejahteraan masyarakat. Ekonom mengingatkan bahwa solusi yang memaksa rakyat menanggung beban bukanlah opsi yang layak — kreatifitas dan dukungan pusat perlu dikedepankan untuk mendukung daerah berkembang tanpa membebani warganya.

(as)