‘Bayar Pajak = Berzakat?’ Banjir Komentar Warganet Usai Pernyataan Sri Mulyani”

Fatahillah313 - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencetuskan pernyataan yang memicu perdebatan publik dalam Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah pada tanggal 13 Agustus 2025. Dengan tegas ia menyatakan bahwa membayar pajak memiliki manfaat yang "sama" seperti menunaikan zakat dan wakaf—sebagai cara mendistribusikan hak orang lain dari rezeki dan harta yang dimiliki .

Alih-alih meredam perdebatan, pernyataan itu justru dibanjiri komentar warganet—mulai dari skeptis hingga kritis.

Komentar Netizen yang Menohok dan Sinis dan Reaksi Publik: Dari Sindir Hingga Teguran

Pernyataan itu langsung menyulut kritik keras di berbagai kanal media sosial.  Salah satu pengguna X (dulu Twitter) menulis:

“Ya kalau pajaknya tersalurkan dengan benar ke masyarakat mah gue juga bakal ikhlas, lah ini? Pajak kebanyakan masuk kantong pejabat. Rakyatnya dapat sengsara doang, jangan samain pajak sama zakat ya kunti. Mana ada orang miskin bayar zakat buat di kasih ke orang kaya.”
Komentar lainnya bernada sindiran tajam:
“Kalo analoginya begitu, berarti Bu Sri @KemenkeuRI setuju dong kalo koruptor dipotong tangannya.”
“Hadeeeeh, begini neh orang kalau jauh dari agama? Pajak itu Harta Orang Miskin untuk si Kaya. Sementara Zakat itu Harta Orang Kaya untuk si Miskin. Jangan bawa-bawa Agama macam-macam beneeer…”
Di platform Instagram melalui Salatiga Terkini, seorang netizen menegur:
“Jangan asbun bu @smindrawati … pajak dalam ISLAM hukumnya HARAM. Wakaf & Sedekah tiada paksaan, sedangkan pajak sifatnya MEMAKSA.”
Di sebuah unggahan di Facebook, seorang netizen menanggapi dengan nada tajam:
“Segala macam pajak yg kalian buat itu tdk ada hubungan/kaitannya dgn Zakat/Infak/Shodakoh scr prinsip, cara dan tujuannya.”
Perbandingan ini dianggap terlalu ngawur, karena pajak merupakan kewajiban legal negara, sementara zakat adalah kewajiban agama yang memiliki persyaratan dan tujuan khusus.

Pengamat Sosial – Agung Nugroho (Direktur Jakarta Institut) menegaskan bahwa ada perbedaan mendasar antara pajak dan zakat. Pajak adalah kewajiban ditetapkan oleh negara, bersifat paksa, dan digunakan secara luas untuk infra­struktur, gaji pejabat, subsidi, hingga pembayaran utang—tidak semuanya sesuai prinsip syariah. Sedangkan zakat adalah kewajiban agama bagi muslim yang telah memenuhi syarat, dengan tujuan memurnikan harta dan menyalurkan langsung ke golongan penerima (mis. fakir, miskin, fisabilillah) dengan transparansi religius. Mencampuradukan keduanya, menurutnya, berpotensi mereduksi makna religius zakat dan menciptakan kebingungan administratif .

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memberikan tanggapan tegas, menegaskan bahwa meski maksud pajak adalah memperkuat redistribusi sosio-ekonomi, menyamakan dengan zakat tidak bisa diterjemahkan begitu saja tanpa memahami landasan syariat.

Kritik dari Tokoh Agama:
 Pernyataan Sri Mulyani juga dikomentari oleh pengisi dakwah, Ustaz Hilmi Firdausi alias Gus Hilmi, melalui akun media sosialnya:
“Kalau begitu pejabat-pejabat yang digaji pakai uang rakyat lalu mereka korupsi, berarti harus dipotong tangannya dong? … kalau mau ngambil syariat islam ya jangan prasmanan gitu loh.”
Gus Hilmi memperingatkan agar pernyataan tentang syariat Islam tidak disamakan secara asal-asalan.

Respons dari Organisasi Profesi
Lebih lanjut, Ikatan Wartawan Provisi Indonesia (IWPI) turut merespons pernyataan tersebut. IWPI menilai penyamaan pajak dengan zakat dan wakaf bisa menyesatkan publik, sehingga mereka meminta Sri Mulyani untuk mencabut pernyataannya.

Kesimpulan & Refleksi
    • Inti kontroversi: Sri Mulyani ingin menekankan bahwa pajak merupakan bentuk kontribusi sosial—namun penyamaannya dengan zakat dan wakaf menyulut kritik karena perbedaan mendasar dari segi landasan hukum, tujuan, dan mekanisme.
    • Publik resah: Banyak yang menilai perbandingan itu terlalu longgar dan bisa menyesatkan, terlebih di ranah agama dan hukum.
    • Pesan penting bagi pejabat: Narasi publik sangat sensitif terhadap penyamaan hal yang berasal dari landasan berbeda—khususnya jika berkaitan dengan agama dan kewajiban negara.
(as)