Banyak pihak menyebutnya sebagai “kudeta merangkak”: skenario sistematis yang menggunakan kerusuhan sebagai momen, memanfaatkan penderitaan rakyat, dan mengarahkan sorotan pada figur-figur tertentu yang tengah berada di puncak kekuasaan.
Di tengah pusaran itu, nama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tiba-tiba mencuat.
Di tengah pusaran itu, nama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tiba-tiba mencuat.
Putra Presiden Joko Widodo ini turun langsung ke Stasiun Gondangdia, membagikan paket sembako berisi beras, gula, minyak goreng, dan kebutuhan pokok lain.
Aksi ini dikemas sebagai kepedulian terhadap rakyat kecil, terutama kelompok rentan yang terdampak situasi sosial dan ekonomi.
Namun, publik bertanya-tanya: apakah ini sekadar aksi sosial, atau bagian dari model pencitraan khas Jokowi yang kini diwarisi sang anak?
Momen Kerusuhan, Target Ojol, dan Efek Affan
Gelombang kerusuhan beberapa pekan terakhir mencatat satu pola: ojek online (ojol) menjadi salah satu target sasaran. Mulai dari intimidasi, provokasi, hingga keterlibatan nama-nama tokoh dalam mobilisasi massa.
Kudeta Merangkak dan Pencarian Simpati
Istilah kudeta merangkak bukan baru. Ia merujuk pada pola transisi kekuasaan secara halus, menggunakan instabilitas sosial untuk melemahkan otoritas yang berkuasa.
Skenario Lama ala Jokowi
Publik masih ingat betul gaya Presiden Joko Widodo ketika masih Wali Kota Solo, lalu Gubernur DKI, hingga Presiden RI dua periode. Blusukan, bagi-bagi sembako, dan pencitraan langsung di akar rumput menjadi modal politik Jokowi.
Simbol dan Dampak Politik
Bagi sebagian kalangan, aksi Gibran bisa dianggap wajar: seorang pemimpin membantu rakyat. Namun bagi para kritikus, momen itu justru memperlihatkan politik simbolik yang dangkal.
Skenario ini bukan tanpa risiko. Jika publik mulai jenuh dengan gaya politik pencitraan, aksi semacam ini justru bisa menjadi bumerang.
Dari Rakyat untuk Siapa?
Bagi rakyat kecil, terutama driver ojol yang jadi korban situasi, sembako tentu berguna.
Situasi hari ini memperlihatkan dua wajah politik Indonesia:
Di tengah dua wajah itu, publik harus jeli: apakah kerusuhan dan sembako ini sekadar potret situasi, atau bagian dari kudeta merangkak yang mencari simpati lewat penderitaan rakyat?
Sejarah sudah menunjukkan, politik pencitraan model Jokowi berhasil mengantarkannya ke kursi tertinggi negeri ini. Pertanyaannya kini: apakah skenario serupa sedang dipersiapkan untuk Gibran?
Momen Kerusuhan, Target Ojol, dan Efek Affan
Gelombang kerusuhan beberapa pekan terakhir mencatat satu pola: ojek online (ojol) menjadi salah satu target sasaran. Mulai dari intimidasi, provokasi, hingga keterlibatan nama-nama tokoh dalam mobilisasi massa.
Sosok Affan, misalnya, menjadi simbol “efek domino” dari perlawanan di jalanan.
Narasi ini kemudian melebar ke opini publik: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kekacauan yang menjadikan driver ojol sebagai tumbal?
Para analis politik menilai, kerusuhan bukan sekadar luapan emosi sosial, melainkan momen yang diciptakan untuk menekan legitimasi pemerintah sekaligus memancing simpati.
Para analis politik menilai, kerusuhan bukan sekadar luapan emosi sosial, melainkan momen yang diciptakan untuk menekan legitimasi pemerintah sekaligus memancing simpati.
Dalam strategi politik, “korban” menjadi komoditas paling ampuh untuk menggugah emosi rakyat.
Dan dalam kasus ini, ojol dijadikan wajah penderitaan yang mudah dijual.
Kudeta Merangkak dan Pencarian Simpati
Istilah kudeta merangkak bukan baru. Ia merujuk pada pola transisi kekuasaan secara halus, menggunakan instabilitas sosial untuk melemahkan otoritas yang berkuasa.
Demonstrasi, kerusuhan, hingga propaganda media dijadikan instrumen.
Yang menarik, di saat rakyat dipertontonkan kekerasan jalanan, muncul figur Gibran dengan aksi “bagi-bagi sembako”. Seolah-olah, di tengah kekacauan, ia tampil sebagai penyelamat rakyat kecil.
Yang menarik, di saat rakyat dipertontonkan kekerasan jalanan, muncul figur Gibran dengan aksi “bagi-bagi sembako”. Seolah-olah, di tengah kekacauan, ia tampil sebagai penyelamat rakyat kecil.
Inilah yang oleh pengamat disebut politik pencitraan berlapis: di satu sisi, rakyat diposisikan sebagai korban; di sisi lain, penguasa hadir membawa solusi instan berupa sembako.
Skenario Lama ala Jokowi
Publik masih ingat betul gaya Presiden Joko Widodo ketika masih Wali Kota Solo, lalu Gubernur DKI, hingga Presiden RI dua periode. Blusukan, bagi-bagi sembako, dan pencitraan langsung di akar rumput menjadi modal politik Jokowi.
Kini, pola itu terlihat kembali dipakai Gibran.
Bedanya, Gibran tidak lagi sekadar wali kota atau calon. Ia sudah berada di lingkar inti kekuasaan sebagai Wakil Presiden.
Bedanya, Gibran tidak lagi sekadar wali kota atau calon. Ia sudah berada di lingkar inti kekuasaan sebagai Wakil Presiden.
Maka, setiap gerakannya otomatis ditafsirkan sebagai manuver politik, bukan sekadar kepedulian sosial.
Pembagian sembako di Stasiun Gondangdia, di tengah sorotan tajam publik terhadap kerusuhan, tak bisa dilepaskan dari kalkulasi politik. Ia hadir sebagai “anak presiden” yang melanjutkan model politik simbolik berbasis citra.
Pembagian sembako di Stasiun Gondangdia, di tengah sorotan tajam publik terhadap kerusuhan, tak bisa dilepaskan dari kalkulasi politik. Ia hadir sebagai “anak presiden” yang melanjutkan model politik simbolik berbasis citra.
Simbol dan Dampak Politik
Bagi sebagian kalangan, aksi Gibran bisa dianggap wajar: seorang pemimpin membantu rakyat. Namun bagi para kritikus, momen itu justru memperlihatkan politik simbolik yang dangkal.
- Pertama, pembagian sembako di titik transportasi strategis seperti stasiun menciptakan efek visual massif: mudah diliput media, mudah diviralkan.
- Kedua, narasi ini mempertebal citra Gibran sebagai pemimpin muda yang “hadir” di tengah rakyat.
- Ketiga, timing aksi ini—tepat saat kerusuhan dan isu ojol menjadi sorotan—membuat publik menduga adanya skenario besar pencitraan.
Skenario ini bukan tanpa risiko. Jika publik mulai jenuh dengan gaya politik pencitraan, aksi semacam ini justru bisa menjadi bumerang.
Dari Rakyat untuk Siapa?
Bagi rakyat kecil, terutama driver ojol yang jadi korban situasi, sembako tentu berguna.
Tapi di balik itu, pertanyaan besarnya adalah: apakah sembako bisa menjawab akar persoalan? Apakah sekadar beras, gula, dan minyak cukup mengobati luka akibat kerusuhan, kehilangan mata pencaharian, hingga stigmatisasi?
Jawaban itu tampaknya jauh lebih kompleks. Sebab di mata rakyat, sembako hanyalah solusi sementara.
Jawaban itu tampaknya jauh lebih kompleks. Sebab di mata rakyat, sembako hanyalah solusi sementara.
Sementara di mata elite, sembako adalah investasi politik jangka panjang.
Click Video:
Kudeta Merangkak dan Politik Pencitraan
Situasi hari ini memperlihatkan dua wajah politik Indonesia:
- Wajah konflik, dengan kerusuhan, korban, dan ketegangan sosial.
- Wajah pencitraan, dengan elite yang hadir memberi bantuan instan untuk menciptakan kesan kepedulian.
Di tengah dua wajah itu, publik harus jeli: apakah kerusuhan dan sembako ini sekadar potret situasi, atau bagian dari kudeta merangkak yang mencari simpati lewat penderitaan rakyat?
Sejarah sudah menunjukkan, politik pencitraan model Jokowi berhasil mengantarkannya ke kursi tertinggi negeri ini. Pertanyaannya kini: apakah skenario serupa sedang dipersiapkan untuk Gibran?
(as)
#KudetaMerangkak #KerusuhanDemo #DriverOjol #AffanEfek #GibranRakabuming #BagiBagiSembako #Gondangdia #PencitraanJokowi #PolitikIndonesia