Di bawah terik matahari, orasi bergema, spanduk terbentang, dan suara lantang mahasiswa memecah rutinitas Senayan. Satu pesan utama mereka:
“Janji tidak bisa hanya ditulis, harus ditepati.”
Tuntutan yang Terukur: 17 + 8 Aksi kali ini bukan sekadar reaktif. Mahasiswa membawa daftar “17 tuntutan jangka pendek + 8 tuntutan jangka panjang” yang sejak awal Agustus 2025 dilayangkan ke DPR dan pemerintah.
Namun, menurut kajian BEM UI, hanya 3–4 poin yang benar-benar bergerak, sementara sisanya mandek.
“Kami tidak datang untuk teriak-teriak kosong. Kami membawa kajian, analisis, dan bukti bahwa janji DPR masih jauh dari kenyataan,” tegas Diallo Hujanbiru, Ketua Departemen Kajian Strategis BEM UI.
Mereka menolak sekadar dipanggil ke ruang tertutup parlemen. Mahasiswa ingin wakil rakyat menemui mereka langsung di luar gedung, di hadapan publik. “Parlemen bukan menara gading. Rakyat harus bisa menguji komitmen wakilnya secara terbuka,” tambah Diallo.
Unindra Menyatu, Solidaritas Meluas Menariknya, aksi ini tidak hanya dimotori UI. Dari sisi lain jalan, massa Unindra datang membawa semangat serupa:
“Janji politik harus dibayar tunai dengan kebijakan.”
Gabungan dua kampus besar di ibu kota ini memberi sinyal kuat bahwa aksi mahasiswa bukan gerakan sektoral, melainkan arus solidaritas yang makin menguat. Bahkan, mahasiswa UIN Jakarta ikut menambah barisan, membentuk mosaik keberagaman kampus yang kompak dalam satu tujuan: menagih janji.
Senayan Dikepung, Aparat Disiagakan Aksi besar selalu mengundang perhitungan serius dari aparat. Ribuan personel kepolisian dan TNI diterjunkan. Sekitar 2.800 personel menjaga kawasan DPR/MPR, sementara di titik lain, menjelang aksi Unindra, disiagakan 1.300 personel tambahan.
Namun berbeda dengan masa lalu, polisi kali ini menekankan pendekatan persuasif. Orasi dibiarkan mengalir, spanduk tetap berkibar, dengan catatan aksi tidak melampaui garis hukum. Hingga sore hari, suasana relatif kondusif.
Suara yang Disiapkan, Bukan Sekadar Teriakan Satu hal yang membedakan aksi kali ini adalah kesiapan substansi. Mahasiswa membawa naskah kajian, analisis hukum, hingga data ekonomi yang membuktikan mandeknya realisasi janji.
Artinya, aksi ini bukan sekadar protes jalanan, melainkan upaya mendorong dialog berbasis data. “Kami siap berdiskusi, asal DPR juga berani keluar menemui rakyat,” ujar salah satu koordinator lapangan.
Aksi Bukan Akhir, Melainkan Babak Awal Sejarah mencatat, suara mahasiswa kerap menjadi alarm keras bagi demokrasi Indonesia. Dari 1966, 1998, hingga kini, kampus adalah laboratorium nurani publik.
Aksi 9 September 2025 hanyalah satu babak dalam rangkaian panjang protes mahasiswa tahun ini. Sejak Agustus, gelombang unjuk rasa telah menyapu Jakarta, Yogyakarta, hingga Medan. Jika janji tetap dibiarkan menguap, bukan tidak mungkin gelombang ini berubah menjadi badai politik.
Janji Tak Pernah Netral Apa yang terjadi di depan DPR hari itu adalah cermin: rakyat, lewat mahasiswa, tidak akan pernah lupa. Janji politik bukanlah slogan kampanye, melainkan utang yang harus dibayar dengan kebijakan nyata.
BEM UI, Unindra, dan kawan-kawan telah meletakkan garis tegas: mereka bukan lagi sekadar “anak muda berteriak di jalan”, melainkan kekuatan moral yang mengingatkan bahwa demokrasi tidak boleh sekadar formalitas.
Senayan boleh dikepung ribuan aparat, tapi suara mahasiswa jauh lebih sulit dibungkam.
(as)
#RakyatTagihJanjipertegas dan perjelas foto ini hyper naturalis#BEMUI #UnindraBergerak #MahasiswaMenggugat #17Plus8 #SuaraKampus #JanjiDPR #AksiUI #GerakanMahasiswa #TagihJanji