Terjemahan surat FDI kepada lembaga internasional di LN. (Kasus Dugaan Ijazah Palsu Jokowi)

 

Fatahillah313

Berikut ini terjemahan surat FDI kepada lembaga internasional di LN.

Jakarta, July 21st 2025

Amnesty International

Human Rights Support Centre

1 Easton Street

London WC1X 0DW

United Kingdom


RE: Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Warga Sipil dan Aktivis di Indonesia.

Yth. Perwakilan Amnesty International,

Salam hangat dari para anggota Forum Diaspora Indonesia (FDI) di seluruh dunia.

Atas nama Forum Diaspora Indonesia (FDI) yang berada di luar negeri dan tersebar di 25 negara di dunia, saya menulis surat ini untuk menarik perhatian atas pelanggaran serius hak asasi manusia yang dilakukan terhadap warga sipil dan para aktivis oleh Kepolisian Indonesia, yang dikenal sebagai POLDA METRO JAYA di Jakarta, Indonesia.

A). Pelanggaran Hak Asasi Manusia Tahun 2025:

Pelanggaran ini melibatkan warga sipil dan aktivis yang namanya tercantum di bawah ini:

1). Dr. Tifauzia Tyassuma (Dr. Tifa)
2). Dr. K.R.M.T Roy Suryo
3). Dr. Rismon Hasiholan Sianipar
4). Prof. Dr. Eggi Sudjana
5). Kurnia Tri Royani, S.H
6). Rizal Fadillah, S.H.
7). Rustam Effendi
8). Damai Hari Lubis, S.H., M.H.

Kronologi dan Ringkasan Kejadian:

#) Secara individual, berikut yang terjadi pada diri mereka masing-masing:

1. Dr. Tifauzia Tyassuma (Dr. Tifa)
Seorang epidemiolog dan kritikus kebijakan publik yang vokal. Pada April 2025, beliau secara terbuka mempertanyakan keaslian ijazah Presiden Jokowi. Akibatnya, Presiden dan kelompok relawan pro-Jokowi melaporkannya ke polisi Jakarta dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.

2. Dr. Rismon Hasiholan Sianipar
Mantan dosen yang bersama Dr. Tifa menuduh Presiden Jokowi menggunakan ijazah palsu. Pada 26 Mei 2025, ia dipanggil dan diperiksa oleh Polda Metro Jaya, menjawab 97 pertanyaan dalam penyelidikan kasus pencemaran nama baik dan UU ITE.

3. Dr. Roy Suryo
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga tahun 2013 dan pembuat meme. Juga menuduh Jokowi menggunakan ijazah palsu, dan turut dilaporkan ke polisi pada awal Mei 2025.

4. Rizal Fadillah
Ulama yang juga mempertanyakan ijazah Jokowi. Ia termasuk dalam lima orang yang secara resmi dilaporkan ke pihak berwenang pada akhir April 2025.

5. Prof. Dr. Eggi Sudjana
Pengacara dan aktivis hukum terkemuka. Juga dilaporkan dalam kelompok yang sama terkait tuduhan ijazah palsu.

#) Secara kolektif, berikut kronologi dan ringkasan peristiwa:

● 15–16 April 2025
Sekitar 200 anggota Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), termasuk Dr. Tifa, Dr. Rismon, Dr. Roy Suryo, dan Rizal Fadillah, melakukan aksi di Fakultas Kehutanan UGM menuntut bukti keaslian ijazah Presiden Jokowi.
Pada 16 April, Rizal Fadillah dan tim mengunjungi kediaman Jokowi dan ditunjukkan ijazah dari tingkat SD hingga Universitas, namun tidak diizinkan mengambil foto.

● 23–30 April 2025

Kelompok relawan pro-Jokowi dan “Patriot Muda” secara resmi melaporkan lima aktivis (Dr. Tifa, Dr. Rismon, Dr. Roy, Rizal Fadillah, dan Kurnia Tri Rayani) ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.
Pada 30 April, Jokowi secara pribadi melaporkan kasus tersebut ke polisi, menyerahkan ijazah asli dan membuka diri untuk pemeriksaan forensik.

● 9–22 Mei 2025
Tim hukum Jokowi secara resmi menyerahkan ijazah universitas kepada polisi pada 9 Mei 2025.
Pada 22 Mei, Bareskrim mengumumkan hasil uji laboratorium bahwa ijazah Jokowi identik dengan ijazah alumni lain. Namun, aktivis menentang hasil penemuan Bareskrim ini dengan alasan kurangnya transparansi dan kredibilitas.

● 26 Mei 2025
Dr. Rismon secara resmi diperiksa oleh Polda Metro Jaya, menjawab sekitar 97 pertanyaan sebagai saksi ahli.

● 9 Juli 2025
Polisi melakukan gelar perkara khusus di Bareskrim, memanggil Roy Suryo dan Dr. Rismon untuk menjelaskan temuan forensik mereka terkait kejanggalan ijazah.

● 11 Juli 2025
Dr. Tifa hadir di Polda Metro Jaya dan diperiksa selama 1 jam 20 menit, menjawab 68 pertanyaan. Ia menolak menjawab beberapa pertanyaan karena ijazah asli Jokowi tidak dihadirkan.

Ringkasan:

1. Lima aktivis (Tifa, Rismon, Roy, Rizal, dan Kurnia) secara resmi dituduh pada akhir April 2025 atas pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.
2. Dr. Rismon dan Roy Suryo aktif dalam peninjauan kasus dan menyampaikan bukti forensik; penyelidikan masih berlangsung.
3. Dr. Tifa membatasi kerja sama dan terus menuntut agar ijazah asli ditunjukkan sebelum memberi keterangan lebih lanjut.
4. Kasus masih berjalan, belum ada penangkapan atau tuntutan hukum hingga 11 Juli 2025.
5. Eggi Sudjana, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis tidak terlibat dalam proses hukum ini.

#) Perkembangan Lanjutan:
Dr. Tifa, Dr. Rismon, Dr. Roy Suryo, Rizal Fadillah, dan Kurnia Tri Rayani dilaporkan secara resmi ke polisi akhir April 2025 atas dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.

Dr. Rismon telah diperiksa secara resmi (26 Mei 2025).

Belum ada penangkapan atau penahanan yang dikonfirmasi; belum ada sidang publik dilaporkan.

Eggi Sudjana tetap bebas secara hukum, meskipun pernah diperiksa dalam kasus lain.
Rustam Effendi tidak terlibat. Damai Hari Lubis tetap aktif tetapi tidak dituduh dalam perkara ini.

#) Perkembangan Terbaru:

10–11 Juli 2025: Status Naik Menjadi Penyelidikan Kriminal

Pada 10 Juli, Subdit Kamneg Polda Metro Jaya menggelar “gelar perkara” dan memutuskan untuk menaikkan status dari penyelidikan biasa menjadi penyidikan.

Ini menandai perubahan signifikan, karena kini Polda Metro Jaya berwenang menetapkan tersangka, mengumpulkan bukti tambahan, dan mengambil langkah hukum berikutnya berdasarkan:

Pasal 310–311 KUHP (tentang pencemaran nama baik)
Pasal 35/51, 32/48, 27A/45(4) UU ITE

Artinya, para aktivis dapat ditangkap, ditahan, dan dipenjara sementara selama 20 hari atau lebih untuk keperluan pemeriksaan.

Beberapa laporan berasal langsung dari Presiden Jokowi dan beberapa dari kepolisian lokal, mencakup tuduhan penyebaran informasi elektronik palsu dan hasutan.

Saat ini, 4 dari 6 laporan polisi telah masuk ke tahap penyidikan formal: satu untuk pencemaran nama baik, tiga lainnya untuk pelanggaran ITE/hasutan.

Selama gelar perkara, penyidik meninjau keterangan saksi termasuk kesaksian Dr. Tifa yang menurut polisi cukup kuat untuk menaikkan status kasus.

Namun, pernyataan polisi tersebut telah dibantah oleh pengacara Dr. Tifa, Bapak Abdullah Al Katiri, yang menyatakan bahwa kliennya tidak menjawab pertanyaan materiil karena ijazah asli Jokowi tidak ditunjukkan saat gelar perkara.

Dr. Tifa kini telah resmi dipanggil dan diperiksa dalam kaitannya dengan tuduhan pencemaran nama baik dan UU ITE.

Dibawah ini link video youtube terkait peristiwa diatas:

https://youtu.be/U8IKgfrjWCM?si=MVvL1mlxPK0mQzTR
https://youtu.be/B-noI4MPBWg?si=hypNgFYYf4X8S-ZB
https://youtu.be/EtLwhiuYuQc?si=RVbw_u8iOVp7KG2Z
https://youtu.be/BtJ40rTlli8?si=A55T3eGEVE9ulQsb
https://youtu.be/4bwHzXA3bJM?si=_sQrVvVs3LXtc0o-

B). Kasus Pelanggaran HAM Sebelumnya pada Tahun 2022:

Pelanggaran ini melibatkan warga sipil dan aktivis yang namanya tercantum di bawah ini:

1). Bambang Tri Mulyono
2). Sugi Nur Rahardjo (Gus Nur)

Ringkasan dan kronologi peristiwa:

Pelanggaran hak asasi manusia terhadap Bapak Bambang Tri Mulyono dan Bapak Sugi Nur Rahardjo dilakukan oleh Badan Reserse Kriminal Polri (BARESKRIM) pada tanggal 13 Oktober 2022.

1). Kasus Bambang Tri Mulyono:

Bambang Tri Mulyono hanya menulis sebuah buku hasil penyelidikan pribadinya terhadap mantan Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo (Jokowi).

Dalam bukunya, ia memaparkan bukti-bukti bahwa Presiden Joko Widodo menggunakan ijazah palsu saat mencalonkan diri dalam jabatan publik sebagai berikut:

● Sebagai calon Wali Kota Solo, 28 Juli 2005 – 1 Oktober 2005
● Sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, 15 Oktober – 16 Oktober 2012
● Sebagai calon Presiden RI, 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024

Ia menuntut agar Presiden Jokowi secara sukarela mengungkapkan ijazah aslinya. Namun, tidak ada tanggapan maupun pengungkapan ijazah asli dari Presiden.

Pada 3 Oktober 2022, Bambang Tri mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menuduh Presiden Jokowi menggunakan ijazah palsu.

Untuk mencegah gugatan ini berlanjut, Presiden Jokowi kala itu diduga memerintahkan Kepolisian melalui BARESKRIM untuk menangkap Bambang Tri pada 13 Oktober 2022 di Hotel Sofyan, Jakarta Selatan, setelah ia ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian dan penodaan agama.

Penangkapan ini diduga sebagai langkah yang disengaja untuk menggagalkan proses hukum gugatan perdata yang diajukan Bambang Tri.

Gugatan perdata itu tercatat dengan nomor 592/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, dengan tergugat: Presiden Jokowi, KPU, MPR, dan Kementerian Pendidikan.

Namun, pada 27 Oktober 2022, Bambang Tri mencabut gugatannya setelah sidang pertama. Kuasa hukumnya menjelaskan bahwa proses gugatan sulit dilanjutkan karena Bambang Tri sudah ditahan sejak 13 Oktober, sehingga akses ke saksi dan bukti menjadi terbatas.

Akhirnya, proses hukum perdata tidak pernah diputus secara substansi. Gugatan ditarik oleh Bambang Tri karena kendala praktis akibat penahanan.

Sebagai gantinya, Bambang Tri diadili secara pidana atas tuduhan ujaran kebencian, pencemaran nama baik di bawah UU ITE, dan penodaan agama karena isi bukunya serta diskusinya tentang ijazah Presiden Jokowi.

Vonis awal dijatuhkan selama 5 hingga 6 tahun. Hukuman dikurangi menjadi 4 tahun dalam tingkat banding. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) diajukan pada pertengahan Juni 2025. Saat ini, Bambang Tri Mulyono masih mendekam di penjara

2). Kasus Sugi Nur Rahardjo (Gus Nur):

Antara 16–24 Oktober 2020, Gus Nur menyampaikan pendapatnya secara terbuka melalui kanal YouTube MUNJIAT yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU).

Pada 24 Oktober 2020, ia ditangkap di rumahnya di Kecamatan Pakis, Malang, dan dibawa ke BARESKRIM Polri di Jakarta.

Dalam waktu 24 jam, ia ditetapkan sebagai tersangka, ditahan, dan menjalani pemeriksaan intensif.

Pada 26–27 Oktober 2020, pihak berwenang memeriksa tiga saksi dan dua ahli (ahli bahasa dan pidana) untuk menganalisis konten video pidato Gus Nur.

Mereka juga memanggil Dr. Refly Harun, pakar hukum tata negara, yang kanal YouTube-nya pernah memuat pernyataan Gus Nur, untuk dimintai keterangan terkait proses perekaman, pengeditan, dan pengunggahan video tersebut.

Pada 23–24 Desember 2020, berkas perkara lengkap diserahkan ke Kejaksaan Agung RI (P-21), menandai dimulainya tahap persidangan resmi terhadap Gus Nur.

Pada akhir tahun 2020, Gus Nur secara resmi dalam proses penuntutan atas dugaan pelanggaran Pasal 27(3) dan Pasal 28(2) UU ITE, terkait ujaran kebencian dan hasutan.

Pada Desember 2022, Pengadilan menjatuhkan vonis 6 tahun penjara untuk Bambang Tri dan Gus Nur atas tuduhan penyebaran hoaks, penodaan agama, dan ujaran kebencian.

Pada 27 April 2025, Gus Nur dibebaskan bersyarat setelah menjalani sekitar 2,5 tahun masa hukuman. Total hukumannya diringankan melalui banding atau revisi putusan.

#). Ringkasan Kronologi Keduanya:

3 Oktober 2022: Bambang Tri mengajukan gugatan perdata di PN Jakarta Pusat menuduh Presiden Jokowi menggunakan ijazah palsu.

13 Oktober 2022: Bambang Tri dan Gus Nur ditangkap terkait video YouTube yang menuduh Jokowi dan dianggap menghina agama.

17 Oktober 2022: Keduanya resmi ditahan oleh pihak kepolisian.

Desember 2022: Pengadilan menjatuhkan vonis 6 tahun penjara kepada keduanya.
27 April 2025: Gus Nur dibebaskan bersyarat setelah menjalani sekitar 2,5 tahun hukuman.

Kedua aktivis ini ditangkap pada Oktober 2022 setelah merilis video kontroversial yang mengaitkan ijazah Presiden Jokowi dengan dugaan pemalsuan dan menyampaikan komentar yang dianggap ofensif secara agama.

Keduanya dijatuhi hukuman 6 tahun pada Desember 2022. Gus Nur dibebaskan lebih awal pada April 2025. Bambang Tri Mulyono masih berada di penjara.

#). Temuan Faktual Kami:

Fakta sebenarnya adalah bahwa kedua aktivis ini, Bambang Tri Mulyono dan Sugi Nur Rahardjo, hanya menggunakan hak konstitusional mereka atas kebebasan berbicara, kebebasan mengkritik, pengawasan publik terhadap pemerintah, dan kebebasan pers sebagaimana dijamin oleh hukum dan konstitusi Indonesia 1945.

Tidak ada kerusuhan, tidak ada hasutan, tidak ada penghinaan terhadap agama lain maupun organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU).

Apa yang mereka lakukan hanyalah menyuarakan pendapat, menyampaikan kritik publik, dan menuntut transparansi pemerintah, khususnya terkait keaslian ijazah Presiden Jokowi yang diduga palsu.

Faktanya, hingga kini Presiden Jokowi belum juga bersedia mengungkapkan ijazah aslinya, meskipun telah lama diminta oleh rakyat Indonesia.

Dibawah ini link youtube terkait kasus di atas tersedia:








#). Temuan Fakta dan Kesimpulan atas Seluruh Kasus:

Sudah sangat jelas bahwa secara gambaran besar, tahap kedua dari kasus ini memiliki pola yang sama dengan tahap pertama, di mana warga sipil biasa, aktivis, ilmuwan, akademisi, cendekiawan, dan dosen hanya sedang menjalankan hak-hak konstitusional mereka dalam menuntut transparansi pemerintah sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008 (UU KIP) dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Tuntutan mereka ditujukan secara spesifik kepada mantan Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo (Jokowi) untuk secara terbuka mengungkapkan ijazah aslinya yang diterima dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

Itulah, dan hingga kini masih menjadi, tuntutan pokok dan mendasar dari para aktivis.

Namun demikian, bahkan setelah lebih dari dua tahun kasus ini berjalan, mantan Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo masih menolak untuk mengungkapkan ijazah aslinya kepada publik.

Hal ini bukan saja mengherankan untuk ukuran seorang mantan Presiden negara, tetapi juga merupakan pelanggaran langsung terhadap berbagai hukum Indonesia, termasuk UU KIP No. 14 Tahun 2008 dan UUD 1945.

Sama seperti pola pelanggaran HAM di tahun-tahun sebelumnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan mantan Presiden Jokowi, berupaya menangkap dan menahan para aktivis dengan cara menaikkan status kasus dari penyelidikan ke penyidikan.

Para penyidik polisi menggunakan kembali pasal-pasal lama yang sama, yaitu:

Pasal 160, 310, dan 311 KUHP
Pasal 28 ayat (2) dan (3), 32, dan 35 UU ITE

Pasal-pasal yang sebelumnya digunakan dalam kasus pelanggaran HAM terhadap Bambang Tri Mulyono dan Sugi Nur Rahardjo (Gus Nur) guna menangkap dan menahan para aktivis.

Tujuannya sangat jelas: untuk menghalangi setiap gugatan perdata yang telah atau akan diajukan para aktivis di pengadilan terhadap mantan Presiden Joko Widodo.

Ini adalah pola yang berulang, dengan trik lama yang kotor, sebuah pelanggaran nyata terhadap hak asasi manusia, dan penyalahgunaan kekuasaan secara terang-terangan oleh aparat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap warga sipil biasa dan para aktivis.

Faktanya, para warga sipil dan aktivis ini hanya menuntut transparansi dari pemerintah, yang secara khusus diarahkan kepada mantan Presiden Joko Widodo agar bersedia menunjukkan ijazah aslinya.

Hanya itu.

Namun, alih-alih mengungkapkan ijazah asli secara publik sebagaimana diminta rakyat, mantan Presiden Joko Widodo justru menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk mengkriminalisasi para warga sipil dan aktivis tersebut, dengan tujuan membungkam kritik, perbedaan pendapat, dan akuntabilitas publik.

Dengan semua temuan fakta dan informasi yang telah dipaparkan di atas, saya dengan tulus dan penuh hormat memohon kepada organisasi Anda untuk turut campur tangan, memberikan tanggapan atas surat kami, serta mengambil tindakan cepat melalui pernyataan publik, siaran pers, konferensi pers, atau penyelidikan resmi terhadap perkara ini.

Saya dengan hormat mendesak Amnesty International untuk menyelidiki kasus ini dan mengambil langkah-langkah yang sesuai guna menjamin hak-hak para korban tetap ditegakkan, serta menekan otoritas yang bertanggung jawab untuk menghentikan pelanggaran lebih lanjut.

Jika memungkinkan, mohon kiranya untuk memberikan bantuan atau advokasi kepada para warga sipil, aktivis, akademisi, ilmuwan, dan cendekiawan yang berpotensi ditangkap secara ilegal, ditahan secara sewenang-wenang, dan dipenjara secara tidak adil oleh POLRI.

Atas nama Forum Diaspora Indonesia (FDI) dan demi pembelaan terhadap hak asasi manusia, kesetaraan di hadapan hukum, keadilan, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan prinsip-prinsip demokrasi, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan Anda dalam hal ini.

Saya bersedia untuk memberikan informasi tambahan atau dokumen pendukung jika diperlukan.Saya dapat dihubungi melalui email: Chris.komari@yahoo.com

Kami menunggu balasanya dalam waktu dekat. Terima kasih.


Hormat kami,

Chris Komari
Chris Komari Agus Yunanto
Chairman FDI Secretary General FDI
Chris.komari@yahoo.com Agusyunanto1957@gmail.com

Co-Signers and victims. Signature:

1). Dr. Tifauzia Tyassuma (Dr. Tifa) …………………………….............
2). Dr. Roy Suryo ……………………………………...
3). Dr. Rismon Hasiholan Sianipar ………………………………………

Cc.

Lawyers of the victims.

Jakarta, July 21st 2025
Amnesty International
Human Rights Support Centre
1 Easton Street
London WC1X 0DW
United Kingdom


RE: Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Warga Sipil dan Aktivis di Indonesia.
Yth. Perwakilan Amnesty International,

Salam hangat dari para anggota Forum Diaspora Indonesia (FDI) di seluruh dunia.

Atas nama Forum Diaspora Indonesia (FDI) yang berada di luar negeri dan tersebar di 25 negara di dunia, saya menulis surat ini untuk menarik perhatian atas pelanggaran serius hak asasi manusia yang dilakukan terhadap warga sipil dan para aktivis oleh Kepolisian Indonesia, yang dikenal sebagai POLDA METRO JAYA di Jakarta, Indonesia.


A). Pelanggaran Hak Asasi Manusia Tahun 2025:

Pelanggaran ini melibatkan warga sipil dan aktivis yang namanya tercantum di bawah ini:

1). Dr. Tifauzia Tyassuma (Dr. Tifa)
2). Dr. K.R.M.T Roy Suryo
3). Dr. Rismon Hasiholan Sianipar
4). Prof. Dr. Eggi Sudjana
5). Kurnia Tri Royani, S.H
6). Rizal Fadillah, S.H.
7). Rustam Effendi
8). Damai Hari Lubis, S.H., M.H.

Kronologi dan Ringkasan Kejadian:

#) Secara individual, berikut yang terjadi pada diri mereka masing-masing:

1. Dr. Tifauzia Tyassuma (Dr. Tifa)
Seorang epidemiolog dan kritikus kebijakan publik yang vokal. Pada April 2025, beliau secara terbuka mempertanyakan keaslian ijazah Presiden Jokowi. Akibatnya, Presiden dan kelompok relawan pro-Jokowi melaporkannya ke polisi Jakarta dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.

2. Dr. Rismon Hasiholan Sianipar
Mantan dosen yang bersama Dr. Tifa menuduh Presiden Jokowi menggunakan ijazah palsu. Pada 26 Mei 2025, ia dipanggil dan diperiksa oleh Polda Metro Jaya, menjawab 97 pertanyaan dalam penyelidikan kasus pencemaran nama baik dan UU ITE.

3. Dr. Roy Suryo
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga yahun 2013 dan pembuat meme. Juga menuduh Jokowi menggunakan ijazah palsu, dan turut dilaporkan ke polisi pada awal Mei 2025.

4. Rizal Fadillah
Ulama yang juga mempertanyakan ijazah Jokowi. Ia termasuk dalam lima orang yang secara resmi dilaporkan ke pihak berwenang pada akhir April 2025.

5. Prof. Dr. Eggi Sudjana
Pengacara dan aktivis hukum terkemuka. Juga dilaporkan dalam kelompok yang sama terkait tuduhan ijazah palsu.

#) Secara kolektif, berikut kronologi dan ringkasan peristiwa:

● 15–16 April 2025
Sekitar 200 anggota Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), termasuk Dr. Tifa, Dr. Rismon, Dr. Roy Suryo, dan Rizal Fadillah, melakukan aksi di Fakultas Kehutanan UGM menuntut bukti keaslian ijazah Presiden Jokowi.

Pada 16 April, Rizal Fadillah dan tim mengunjungi kediaman Jokowi dan ditunjukkan ijazah dari tingkat SD hingga Universitas, namun tidak diizinkan mengambil foto.

● 23–30 April 2025
Kelompok relawan pro-Jokowi dan “Patriot Muda” secara resmi melaporkan lima aktivis (Dr. Tifa, Dr. Rismon, Dr. Roy, Rizal Fadillah, dan Kurnia Tri Rayani) ke Polda Metro Jaya atas tuduhan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.
Pada 30 April, Jokowi secara pribadi melaporkan kasus tersebut ke polisi, menyerahkan ijazah asli dan membuka diri untuk pemeriksaan forensik.

● 9–22 Mei 2025
Tim hukum Jokowi secara resmi menyerahkan ijazah universitas kepada polisi pada 9 Mei 2025.

Pada 22 Mei, Bareskrim mengumumkan hasil uji laboratorium bahwa ijazah Jokowi identik dengan ijazah alumni lain. Namun, aktivis menentang hasil penemuan Bareskrim ini dengan alasan kurangnya transparansi dan kredibilitas.

● 26 Mei 2025
Dr. Rismon secara resmi diperiksa oleh Polda Metro Jaya, menjawab sekitar 97 pertanyaan sebagai saksi ahli.

● 9 Juli 2025
Polisi melakukan gelar perkara khusus di Bareskrim, memanggil Roy Suryo dan Dr. Rismon untuk menjelaskan temuan forensik mereka terkait kejanggalan ijazah.

● 11 Juli 2025
Dr. Tifa hadir di Polda Metro Jaya dan diperiksa selama 1 jam 20 menit, menjawab 68 pertanyaan. Ia menolak menjawab beberapa pertanyaan karena ijazah asli Jokowi tidak dihadirkan.

Ringkasan:
1. Lima aktivis (Tifa, Rismon, Roy, Rizal, dan Kurnia) secara resmi dituduh pada akhir April 2025 atas pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.
2. Dr. Rismon dan Roy Suryo aktif dalam peninjauan kasus dan menyampaikan bukti forensik; penyelidikan masih berlangsung.
3. Dr. Tifa membatasi kerja sama dan terus menuntut agar ijazah asli ditunjukkan sebelum memberi keterangan lebih lanjut.
4. Kasus masih berjalan, belum ada penangkapan atau tuntutan hukum hingga 11 Juli 2025.
5. Eggi Sudjana, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis tidak terlibat dalam proses hukum ini.

#) Perkembangan Lanjutan:

Dr. Tifa, Dr. Rismon, Dr. Roy Suryo, Rizal Fadillah, dan Kurnia Tri Rayani dilaporkan secara resmi ke polisi akhir April 2025 atas dugaan pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE.

Dr. Rismon telah diperiksa secara resmi (26 Mei 2025).

Belum ada penangkapan atau penahanan yang dikonfirmasi; belum ada sidang publik dilaporkan.

Eggi Sudjana tetap bebas secara hukum, meskipun pernah diperiksa dalam kasus lain.
Rustam Effendi tidak terlibat. Damai Hari Lubis tetap aktif tetapi tidak dituduh dalam perkara ini.

#) Perkembangan Terbaru:

10–11 Juli 2025: Status Naik Menjadi Penyelidikan Kriminal

Pada 10 Juli, Subdit Kamneg Polda Metro Jaya menggelar “gelar perkara” dan memutuskan untuk menaikkan status dari penyelidikan biasa menjadi penyidikan.

Ini menandai perubahan signifikan, karena kini Polda Metro Jaya berwenang menetapkan tersangka, mengumpulkan bukti tambahan, dan mengambil langkah hukum berikutnya berdasarkan:

Pasal 310–311 KUHP (tentang pencemaran nama baik)

Pasal 35/51, 32/48, 27A/45(4) UU ITE

Artinya, para aktivis dapat ditangkap, ditahan, dan dipenjara sementara selama 20 hari atau lebih untuk keperluan pemeriksaan.

Beberapa laporan berasal langsung dari Presiden Jokowi dan beberapa dari kepolisian lokal, mencakup tuduhan penyebaran informasi elektronik palsu dan hasutan.

Saat ini, 4 dari 6 laporan polisi telah masuk ke tahap penyidikan formal: satu untuk pencemaran nama baik, tiga lainnya untuk pelanggaran ITE/hasutan.

Selama gelar perkara, penyidik meninjau keterangan saksi termasuk kesaksian Dr. Tifa yang menurut polisi cukup kuat untuk menaikkan status kasus.

Namun, pernyataan polisi tersebut telah dibantah oleh pengacara Dr. Tifa, Bapak Abdullah Al Katiri, yang menyatakan bahwa kliennya tidak menjawab pertanyaan materiil karena ijazah asli Jokowi tidak ditunjukkan saat gelar perkara.

Dr. Tifa kini telah resmi dipanggil dan diperiksa dalam kaitannya dengan tuduhan pencemaran nama baik dan UU ITE.

Dibawah ini link video youtube terkait peristiwa diatas:







B). Kasus Pelanggaran HAM Sebelumnya pada Tahun 2022:

Pelanggaran ini melibatkan warga sipil dan aktivis yang namanya tercantum di bawah ini:

1). Bambang Tri Mulyono
2). Sugi Nur Rahardjo (Gus Nur)

Ringkasan dan kronologi peristiwa:

Pelanggaran hak asasi manusia terhadap Bapak Bambang Tri Mulyono dan Bapak Sugi Nur Rahardjo dilakukan oleh Badan Reserse Kriminal Polri (BARESKRIM) pada tanggal 13 Oktober 2022.

1). Kasus Bambang Tri Mulyono:

Bambang Tri Mulyono hanya menulis sebuah buku hasil penyelidikan pribadinya terhadap mantan Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo (Jokowi).

Dalam bukunya, ia memaparkan bukti-bukti bahwa Presiden Joko Widodo menggunakan ijazah palsu saat mencalonkan diri dalam jabatan publik sebagai berikut:

● Sebagai calon Wali Kota Solo, 28 Juli 2005 – 1 Oktober 2005
● Sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, 15 Oktober – 16 Oktober 2012
● Sebagai calon Presiden RI, 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024

Ia menuntut agar Presiden Jokowi secara sukarela mengungkapkan ijazah aslinya. Namun, tidak ada tanggapan maupun pengungkapan ijazah asli dari Presiden.

Pada 3 Oktober 2022, Bambang Tri mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menuduh Presiden Jokowi menggunakan ijazah palsu.

Untuk mencegah gugatan ini berlanjut, Presiden Jokowi kala itu diduga memerintahkan Kepolisian melalui BARESKRIM untuk menangkap Bambang Tri pada 13 Oktober 2022 di Hotel Sofyan, Jakarta Selatan, setelah ia ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian dan penodaan agama.

Penangkapan ini diduga sebagai langkah yang disengaja untuk menggagalkan proses hukum gugatan perdata yang diajukan Bambang Tri.

Gugatan perdata itu tercatat dengan nomor 592/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, dengan tergugat: Presiden Jokowi, KPU, MPR, dan Kementerian Pendidikan.

Namun, pada 27 Oktober 2022, Bambang Tri mencabut gugatannya setelah sidang pertama. Kuasa hukumnya menjelaskan bahwa proses gugatan sulit dilanjutkan karena Bambang Tri sudah ditahan sejak 13 Oktober, sehingga akses ke saksi dan bukti menjadi terbatas.

Akhirnya, proses hukum perdata tidak pernah diputus secara substansi. Gugatan ditarik oleh Bambang Tri karena kendala praktis akibat penahanan.

Sebagai gantinya, Bambang Tri diadili secara pidana atas tuduhan ujaran kebencian, pencemaran nama baik di bawah UU ITE, dan penodaan agama karena isi bukunya serta diskusinya tentang ijazah Presiden Jokowi.

Vonis awal dijatuhkan selama 5 hingga 6 tahun. Hukuman dikurangi menjadi 4 tahun dalam tingkat banding. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) diajukan pada pertengahan Juni 2025. Saat ini, Bambang Tri Mulyono masih mendekam di penjara.

2). Kasus Sugi Nur Rahardjo (Gus Nur):

Antara 16–24 Oktober 2020, Gus Nur menyampaikan pendapatnya secara terbuka melalui kanal YouTube MUNJIAT yang dianggap berisi ujaran kebencian terhadap organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU).

Pada 24 Oktober 2020, ia ditangkap di rumahnya di Kecamatan Pakis, Malang, dan dibawa ke BARESKRIM Polri di Jakarta.

Dalam waktu 24 jam, ia ditetapkan sebagai tersangka, ditahan, dan menjalani pemeriksaan intensif.

Pada 26–27 Oktober 2020, pihak berwenang memeriksa tiga saksi dan dua ahli (ahli bahasa dan pidana) untuk menganalisis konten video pidato Gus Nur.

Mereka juga memanggil Dr. Refly Harun, pakar hukum tata negara, yang kanal YouTube-nya pernah memuat pernyataan Gus Nur, untuk dimintai keterangan terkait proses perekaman, pengeditan, dan pengunggahan video tersebut.

Pada 23–24 Desember 2020, berkas perkara lengkap diserahkan ke Kejaksaan Agung RI (P-21), menandai dimulainya tahap persidangan resmi terhadap Gus Nur.

Pada akhir tahun 2020, Gus Nur secara resmi dalam proses penuntutan atas dugaan pelanggaran Pasal 27(3) dan Pasal 28(2) UU ITE, terkait ujaran kebencian dan hasutan.

Pada Desember 2022, Pengadilan menjatuhkan vonis 6 tahun penjara untuk Bambang Tri dan Gus Nur atas tuduhan penyebaran hoaks, penodaan agama, dan ujaran kebencian.

Pada 27 April 2025, Gus Nur dibebaskan bersyarat setelah menjalani sekitar 2,5 tahun masa hukuman. Total hukumannya diringankan melalui banding atau revisi putusan.

#). Ringkasan Kronologi Keduanya:

3 Oktober 2022: Bambang Tri mengajukan gugatan perdata di PN Jakarta Pusat menuduh Presiden Jokowi menggunakan ijazah palsu.

13 Oktober 2022: Bambang Tri dan Gus Nur ditangkap terkait video YouTube yang menuduh Jokowi dan dianggap menghina agama.

17 Oktober 2022: Keduanya resmi ditahan oleh pihak kepolisian.

Desember 2022: Pengadilan menjatuhkan vonis 6 tahun penjara kepada keduanya.

27 April 2025: Gus Nur dibebaskan bersyarat setelah menjalani sekitar 2,5 tahun hukuman.

Kedua aktivis ini ditangkap pada Oktober 2022 setelah merilis video kontroversial yang mengaitkan ijazah Presiden Jokowi dengan dugaan pemalsuan dan menyampaikan komentar yang dianggap ofensif secara agama.

Keduanya dijatuhi hukuman 6 tahun pada Desember 2022. Gus Nur dibebaskan lebih awal pada April 2025. Bambang Tri Mulyono masih berada di penjara.

#). Temuan Faktual Kami:

Fakta sebenarnya adalah bahwa kedua aktivis ini, Bambang Tri Mulyono dan Sugi Nur Rahardjo, hanya menggunakan hak konstitusional mereka atas kebebasan berbicara, kebebasan mengkritik, pengawasan publik terhadap pemerintah, dan kebebasan pers sebagaimana dijamin oleh hukum dan konstitusi Indonesia 1945.

Tidak ada kerusuhan, tidak ada hasutan, tidak ada penghinaan terhadap agama lain maupun organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU).

Apa yang mereka lakukan hanyalah menyuarakan pendapat, menyampaikan kritik publik, dan menuntut transparansi pemerintah, khususnya terkait keaslian ijazah Presiden Jokowi yang diduga palsu.

Faktanya, hingga kini Presiden Jokowi belum juga bersedia mengungkapkan ijazah aslinya, meskipun telah lama diminta oleh rakyat Indonesia.

Dibawah ini link youtube terkait kasus di atas tersedia:









#). Temuan Fakta dan Kesimpulan atas Seluruh Kasus:

Sudah sangat jelas bahwa secara gambaran besar, tahap kedua dari kasus ini memiliki pola yang sama dengan tahap pertama, di mana warga sipil biasa, aktivis, ilmuwan, akademisi, cendekiawan, dan dosen hanya sedang menjalankan hak-hak konstitusional mereka dalam menuntut transparansi pemerintah sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2008 (UU KIP) dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Tuntutan mereka ditujukan secara spesifik kepada mantan Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo (Jokowi) untuk secara terbuka mengungkapkan ijazah aslinya yang diterima dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

Itulah, dan hingga kini masih menjadi, tuntutan pokok dan mendasar dari para aktivis.

Namun demikian, bahkan setelah lebih dari dua tahun kasus ini berjalan, mantan Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo masih menolak untuk mengungkapkan ijazah aslinya kepada publik.

Hal ini bukan saja mengherankan untuk ukuran seorang mantan Presiden negara, tetapi juga merupakan pelanggaran langsung terhadap berbagai hukum Indonesia, termasuk UU KIP No. 14 Tahun 2008 dan UUD 1945.

Sama seperti pola pelanggaran HAM di tahun-tahun sebelumnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan mantan Presiden Jokowi, berupaya menangkap dan menahan para aktivis dengan cara menaikkan status kasus dari penyelidikan ke penyidikan.

Para penyidik polisi menggunakan kembali pasal-pasal lama yang sama, yaitu:

Pasal 160, 310, dan 311 KUHP
Pasal 28 ayat (2) dan (3), 32, dan 35 UU ITE

Pasal-pasal yang sebelumnya digunakan dalam kasus pelanggaran HAM terhadap Bambang Tri Mulyono dan Sugi Nur Rahardjo (Gus Nur) guna menangkap dan menahan para aktivis.

Tujuannya sangat jelas: untuk menghalangi setiap gugatan perdata yang telah atau akan diajukan para aktivis di pengadilan terhadap mantan Presiden Joko Widodo.

Ini adalah pola yang berulang, dengan trik lama yang kotor, sebuah pelanggaran nyata terhadap hak asasi manusia, dan penyalahgunaan kekuasaan secara terang-terangan oleh aparat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap warga sipil biasa dan para aktivis.

Faktanya, para warga sipil dan aktivis ini hanya menuntut transparansi dari pemerintah, yang secara khusus diarahkan kepada mantan Presiden Joko Widodo agar bersedia menunjukkan ijazah aslinya.

Hanya itu.

Namun, alih-alih mengungkapkan ijazah asli secara publik sebagaimana diminta rakyat, mantan Presiden Joko Widodo justru menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk mengkriminalisasi para warga sipil dan aktivis tersebut, dengan tujuan membungkam kritik, perbedaan pendapat, dan akuntabilitas publik.

Dengan semua temuan fakta dan informasi yang telah dipaparkan di atas, saya dengan tulus dan penuh hormat memohon kepada organisasi Anda untuk turut campur tangan, memberikan tanggapan atas surat kami, serta mengambil tindakan cepat melalui pernyataan publik, siaran pers, konferensi pers, atau penyelidikan resmi terhadap perkara ini.

Saya dengan hormat mendesak Amnesty International untuk menyelidiki kasus ini dan mengambil langkah-langkah yang sesuai guna menjamin hak-hak para korban tetap ditegakkan, serta menekan otoritas yang bertanggung jawab untuk menghentikan pelanggaran lebih lanjut.

Jika memungkinkan, mohon kiranya untuk memberikan bantuan atau advokasi kepada para warga sipil, aktivis, akademisi, ilmuwan, dan cendekiawan yang berpotensi ditangkap secara ilegal, ditahan secara sewenang-wenang, dan dipenjara secara tidak adil oleh POLRI.

Atas nama Forum Diaspora Indonesia (FDI) dan demi pembelaan terhadap hak asasi manusia, kesetaraan di hadapan hukum, keadilan, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan prinsip-prinsip demokrasi, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan Anda dalam hal ini.

Saya bersedia untuk memberikan informasi tambahan atau dokumen pendukung jika diperlukan.Saya dapat dihubungi melalui email: Chris.komari@yahoo.com

Kami menunggu balasanya dalam waktu dekat. Terima kasih.

Hormat kami,

Chris Komari
Chris Komari Agus Yunanto
Chairman FDI Secretary General FDI
Chris.komari@yahoo.com Agusyunanto1957@gmail.com

Co-Signers and victims. Signature:

1). Dr. Tifauzia Tyassuma (Dr. Tifa) …………………………….............
2). Dr. Roy Suryo ……………………………………...
3). Dr. Rismon Hasiholan Sianipar ………………………………………

Cc.
Lawyers of the victims.