Warga Papua kelaparan hingga jadi pengungsi tapi Presiden Jokowi hadiri peluncuran olahraga, pengamat: ‘Kunjungan yang tak bermakna’


ASHA, Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Papua sebanyak belasan kali disebut sebagai upaya ‘mercusuar dan selebrasi’ yang tidak memiliki makna dalam menyelesaikan akar permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Papua, kata antropolog dan peneliti Papua.

Presiden Joko Widodo, kata mereka, seharusnya mengunjungi tempat-tempat pusat pengungsian, kelaparan, konflik, dan pelanggaran HAM berat di Papua.

Dalam beberapa waktu terakhir, beragam permasalahan melanda Papua.

Wabah kelaparan menghantam warga di Pegunungan Tengah yang menyebabkan beberapa orang meninggal dunia.

Lalu, puluhan hingga ratusan ribu orang Papua hidup dalam pengungsian, tidak dapat kembali ke kampung halamannya.

Ditambah lagi, rangkaian kekerasan antara aparat keamanan dengan kelompok gerakan kemerdekaan yang mengorbankan warga sipil, serta proses pemekaran wilayah Papua yang mendapatkan penolakan dari banyak pihak.


Presiden Jokowi mengunjungi kembali Papua, Rabu (31/08).

Di sela kunjunganya, Jokowi menyampaikan pemekaran wilayah di Papua merupakan aspirasi yang berasal dari bawah, yaitu masyarakat Papua sendiri sebagai upaya pemerataan pembangunan dan pelayanan.


‘Kunjungan yang tak bermakna’


Sejak menjabat sebagai presiden, Joko Widodo telah belasan kali mengunjungi Papua.

Dalam sambutannya, Presiden Jokowi mengapresiasi terbentuknya akademi guna melahirkan talenta-talenta berbakat sepak bola dari Papua.

Setelah itu, Presiden Jokowi menyerahkan bantuan langsung tunai (BLT) bahan bakar minyak (BBM) untuk pertama kalinya di Kantor Pos Cabang Sentani, dan rangkaian kegiatan lainnya.

Sementara di belahan lain wilayah Papua, menurut data PBB, sekitar 60.000 hingga 100.000 orang Papua terusir dari kampung halaman dan menjadi pengungsi akibat konflik yang tak kunjung usai

Di Pegunungan tengah, tepatnya di Kabupaten Lanny Jaya, terjadi wabah kelaparan yang dipengaruhi peristiwa embun beku dan menyebabkan sedikitnya tiga orang dilaporkan tewas.

Kemudian, konflik bersenjata antara aparat keamanan dengan kelompok politik yang menginginkan kemerdekaan tak kunjung usai dan menewaskan sejumlah warga sipil tidak bersalah.


Ditambah kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang bertahun-tahun tak kunjung tuntas, seperti kasus Paniai, kasus Wamena, dan kasus di Wasior. Dan juga, penolakan terhadap pemekaran wilayah Papua.

Karena itu, Profesor riset yang meneliti tentang Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, melihat kunjungan Jokowi hanyalah selebrasi semata.

“Di tengah konflik berkepanjangan, pengungsian, dan kelaparan. Kunjungan beliau di peluncuran Papua Football Academy dan rangkaian lainnya menjadi tidak ada maknanya,” kata Cahyo saat dihubungi BBC News Indonesia, Rabu (31/08).

Menurutnya, sepakbola hingga BLT bukanlah persoalan substantif yang dibutuhkan orang Papua.

“Mendengar keluh mereka, kebutuhan mereka. Presiden hadir sebagai pemimpin untuk orang Papua yang sedang menderita dan membutuhkan pertolongan,” kata Cahyo.

“Di sana, Presiden dengan tegas menyampaikan perlindungan pada manusia, tanah dan sumber daya alam Papua,” tambah Cahyo.


‘Belasan kali datang, tidak ada masalah yang selesai’


Senada, presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Socratez Yoman, mengatakan, kunjungan Jokowi tidak memiliki substansi dan dampak dalam menyelesaikan akar persoalan di Papua yang disebut telah menjadi “penyakit kronis”.

“Persoalan Papua seperti kanker yang perlu diselesaikan substansi masalahnya. Bukan dengan jalan-jalan dan meresmikan di sana-sini, Itu cukup menteri olahraga saja, dia ada menteri kan? Itu kelasnya menteri,” kata Yoman.

Yoman mengatakan, Presiden Jokowi telah melakukan kunjungan belasan kali ke Papua namun tidak ada satu pun masalah, seperti kekerasan dan pelanggaran HAM, yang mampu diselesaikan.


“Apa kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang selesai di bawah kepemimpinan Jokowi? Tidak ada, nol. Lalu kelaparan dan pengungsian, apakah dia bertindak? Tidak ada,” ujarnya.

“Ditambah janji-janji Jokowi yang lain hingga kini tidak ditepati. Para pelaku pelanggaran HAM dilindungi dan ada impunitas dan kekebalan hukum,” katanya.

Untuk itu, Yoman berharap agar Jokowi segera menyelesaikan masalah yang terjadi dan membuka pintu dialog antara pemerintah pusat dengan orang asli Papua.


'Mercusuar dan selebrasi'


Kunjungan Jokowi ini juga mendapat kritikan dari antropolog yang meneliti Papua dari Universitas Papua, I Ngurah Suryawan.

“Pembangunan fisik yang mercusuar adalah simbol kehadiran negara, tapi untuk siapa, contoh jalan Trans Papua? Yang jelas aksesnya bukan untuk mayoritas orang Papua yang berada di kampung, tapi untuk alur perluasan kapital dan orang-orang yang memiliki kekuatan ekonomi politik untuk eksploitasi alam di Papua,” katanya.

Di sisi lain, katanya, Jokowi mengesampingkan persoalan utama yang dihadapi dan dibutuhkan orang Papua, yaitu ancaman hidup akibat kekerasan yang terus menerus antara aparat keamanan dengan kelompok gerakan kemerdekaan.  

“Dan, mereka juga tidak mendapatkan efek secara langsung dari kehadiran pembangunan mercusuar ini,” katanya.

“Yang harus dilakukan presiden adalah dengan hadir di tengah-tengah permasalahan untuk menunjukkan komitmen pemerintah, membangun kepercayaan orang Papua, dan mengakui harkat serta martabat orang Papua sebagai manusia,” katanya.  


Pemekaran 'berasal dari aspirasi bawah'

Di sela-sela kunjungannya, Jokowi mengatakan, pemekaran di Papua merupakan salah satu upaya untuk menciptakan pemerataan pembangunan.

Selain itu, katanya, dengan adanya tiga daerah otonomi baru (DOB), yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan, diharapkan akan mempermudah jangkauan pelayanan di wilayah Papua yang luas.

Presiden Jokowi juga menegaskan, pemekaran wilayah di Papua merupakan aspirasi yang berasal dari masyarakat Papua sendiri.

"Ini kita kan, saya sendiri mendengar, pemerintah itu mendengar permintaan-permintaan dari bawah. Saya ke Merauke, minta. Saya ke Pegunungan Tengah, kelompok-kelompok datang ke saya minta itu dan sudah tujuh tahun yang lalu, enam tahun yang lalu, lima tahun yang lalu dan kita tindak lanjuti dengan pelan-pelan. Ini permintaan dari bawah, dari kelompok-kelompok yang ada di sini," jelasnya.

Terkait masih adanya pro dan kontra terkait pemekaran wilayah tersebut, Jokowi menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan sebuah bentuk demokrasi.


Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian, melalui rilis pers Pusat Penerangan Kemendagri, menyebut pemekaran wilayah di Provinsi Papua cenderung lebih banyak memberikan dampak positif dibanding negatif.

Ia mencontohkan Provinsi Papua Barat yang cenderung mengalami kemajuan pesat, baik dari sisi birokrasi, perizinan, dan proses administrasi lainnya.

Kepada BBC News Indonesia, Direktur Penataan Daerah Otsus, dan DPOD Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito, mengatakan pemerintah telah menyambut aspirasi dari bawah terkait pemekaran.

“Pemerintah menyambut permintaan/aspirasi dari bawah dalam rangka pemerataan pembangunan. Aspirasi tersebut disampaikan langsung saat Bapak Presiden berkunjung ke Merauke dan Pegunungan Tengah. Banyak kelompok masyarakat yang juga datang langsung menyampaikan aspirasi kepada Bapak Presiden,” katanya.

Pada Juli lalu, DPR bersama pemerintah tetap mengesahkan tiga daerah otonomi baru Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan. 

Kemarin, DPR, pemerintah dan DPD telah membahas 154 daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya yang selesai hanya dalam tiga jam dan ditargetkan dapat disahkan 6 September mendatang.

Valentinus menegaskan, pembahasan aturan pemekaran  Papua Barat Daya telah berjalan lebih dari setahun di DPR, mulai dari konsolidasi di Komisi II hingga pembahasan DIM.

“Kunjungan kerja ke Sorong dalam rangka menyerap aspirasi 25 Agustus 2022 dan diagendakan pengambilan keputusan tingkat satu pada lima September mendatang. Jadi tahapan sebenarnya sudah terlewati semua dan pola penyusunan RUU Papua Barat Daya juga mengikuti tiga UU sebelumnya,” katanya.

Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia, kepada media, kemarin, mengakui bahwa pembahasan RUU berlangsung sangat cepat.

Alasannya, karena sudah memiliki pengalaman membentuk tiga undang-undang daerah otonomi baru Papua sebelumnya dan juga ingin mengebut persiapan Pemilu.

Proses pemekaran ‘tidak mendengar mereka yang menolak’

Namun, menurut I Ngurah Suryawan, keinginan pemekaran dari bawah merupakan kesalahan besar dari pemerintah dalam memahami Papua.

“Pemekaran tidak masalah jika melalui kajian, dialog dan keinginan rakyat Papua. Yang bermasalah adalah pemaksaan kehendak dan ini sejarah yang terus berulang,” katanya.

Senada, peneliti dari BRIN, Cahyo Pamungkas, mengatakan, pembahasan UU tentang pemekaran di Papua ditandai dengan kurangnya partisipasi publik Papua.

“Pemekaran yang dilakukan secara sepihak. Seharusnya mengkaji siapa-siapa yang membutuhkan pemekaran, dan mendengar kelompok yang menolak,” katanya.

Beberapa bulan lalu, muncul beragam aksi demonstrasi penolakan DOB baru yang melibatkan ribuan orang di beberapa tempat di Papua.

Rangkaian aksi itu setidaknya menyebabkan sekitar 20 orang terluka, dua orang tewas, dan belasan orang ditangkap.


Sementara itu, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan untuk tidak menerima judicial review UU Otsus Papua yang diajukan Majelis Rakyat Papua (MRP), Rabu (31/08).

MK menilai pemohon MRP tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan peninjauan kembali.

Terkait keputusan itu, peneliti BRIN Cahyo Pamungkas, mengatakan, “Otsus Jilid 2 akan berlanjut, pemekaran akan berlanjut, di sisi lain ketidakpuasan dan ketidakpercayaan orang Papua meningkat."

"Ini menjadi benih konflik yang mungkin akan tumbuh besar di masa depan, di tengah upaya pemerintah yang stagnan merangkul orang Papua,” katanya.


Sumber Berita : BBC News