Pertama, informasi yang bersifat empiris. Yakni, informasi yang bersifat terindera, dimana keyakinan akan eksistensinya dapat dijangkau akal melalui penginderaan.
Misalnya, gula rasanya manis, garam rasanya asin, tumbuhan Brotowali rasanya pahit. Semuanya terindera, bersifat empiris. Lidah kita, bisa mengindera dan merasakan bahwa realitas gula manis, garam asin, tumbuhan Brotowali pahit adalah faktual (sesuai fakta).
Sehingga, untuk membuktikan kebenaran informasi yang bersifat empiris adalah dengan metode ilmiah, Yaitu dengan melakukan penginderaan pada fakta tersebut. Jika ada yang mengatakan gula asin, maka secara inderawi pasti pernyataan ini keliru.
Kedua, informasi yang bersifat transendental, diluar jangkauan akal karena tidak dapat diindera. Informasi yang seperti ini, tidak bisa diyakini kebenarannya menggunakan metode sains, metode ilmiah yang empirik.
Informasi tentang adanya Surga dan Neraka, para malaikat, kehidupan setelah dunia, kehidupan sebelum penciptaan dunia, serta tujuan manusia hidup di dunia, adalah dimensi yang tak dapat dijangkau akal dan tak dapat diindera. Karena itu, pembenaran dan keyakinan atas informasi dalam dimensi trsnsanden hanya bisa diperoleh dengan metode Naqli (menukil, mereferensi) dari dalil syam'i (dalil berupa pendengaran dari Wahyu yang diturunkan kepada Nabi).
Umat Islam, beriman kepada Malaikat, Kitab terdahulu, Para Nabi dan Rasul, Surga dan Neraka, dll, itu semua diperoleh dari menukil dalil syam'i yakni dari Kitab Suci Al Qur'an dan Hadits.
Informasi dari Al Qur'an, pasti benar. Karena Al Qur'an adalah Kalamullah, yakni Firman Allah SWT yang disampaikan kepada Muhammad Saw, melalui perantaraan malaikat Jibril, dan membacanya mendapatkan pahala.
Secara inderawi, Al Qur'an mampu dibuktikan secara empiris. Karena kitab suci Al-Qur'an, diriwayatkan secara mutawatir dari generasi ke generasi, hingga sampai kepada kita.
Al Qur'an, yang berbahasa Arab, secara hipotesa dimungkinkan berasal dari:
Pertama, Al Qur'an berasal dari bangsa arab, karena berbahasa Arab.
Kedua, Al Qur'an berasal dari Muhammad, karena Muhammad yang menyampaikan Al Qur'an kepada manusia.
Ketiga, Al Qur'an Kalamullah, yang pasti benar, merupakan Wahyu dari Allah SWT, untuk UU dan hukum bagi kehidupan manusia.
Al Qur'an bikinan orang arab, terbantahkan. Karena orang arab telah ditantang untuk membuat yang semisal Al Qur'an, namun tak dapat membuatnya.
Al Qur'an bikinan Muhammad, terbantahkan. Karena Muhammad bagian dari orang arab. Saat kaumnya tak mampu membuat yang semisal Al Qur'an, maka Al Qur'an dipastikan bukan buatan Muhammad yang merupakan bagian dari bangsa arab.
Kesimpulan, Al Qur'an adalah Kalamullah. Pasti benar seluruh informasi yang ada didalamnya. Pasti selamat, orang yang mengikuti petunjuk Al Qur'an, dan mengambil referensi (menukil) kebenaran dari Al Qur'an.
Adapun ijazah Saudara JOKO WIDODO terkategori informasi empiris. Ijazah tersebut terindera. Bisa dilihat, diobservasi, diteliti, dan kemudian disimpulkan.
Karena itu, tak bisa membangun keyakinan ijazah Jokowi asli, tanpa melihat dan mengobservasi langsung ijazah tersebut. Meyakini ijazah Jokowi asli, bukan bagian dari rukun iman sehingga jika tak yakin akan batal keimanannya.
Wajar saja, jika rakyat meminta Saudara JOKO WIDODO menunjukan ijazah aslinya. Karena ijazah Jokowi masuk dimensi empirik, bukan bukan dimensi transanden.
Tinggal satu hal, apakah rakyat keliru jika tidak mereferensi pada hasil Bareskrim yang sudah melihat dan meneliti ijazah Jokowi? Apakah rakyat keliru, jika 'ngotot' ingin Jokowi memperlihatkan ijazahnya?
Jawabnya, rakyat tidak keliru. Bahkan, rakyat berhak meminta Jokowi memperlihatkan ijazahnya. Karena Ijazah Jokowi masuk dimensi empirik yang dapat diindera, tak mungkin meyakini ijazah Jokowi asli tanpa menginderanya.
Tingal satu hal. Kenapa kita tidak ikut saja (mereferensi) rilis Bareskrim Polri? Yang menyatakan sudah meneliti ijazah Jokowi dan menyimpulkan indentik?
Jawabnya sederhana. Kredibilitas dan reputasi Polri bermasalah. Sejumlah perkara besar, justru problemnya di Bareskrim (Kanjuruhan, Km 50, Brigadir Joshua Hutabarat, Vina Cirebon, dll).
Sebenarnya, jika Saudara JOKO WIDODO bijak, bermoral dan memiliki sikap negarawan, dia bisa mengambil inisiatif menunjukan ijazah aslinya (kalau punya), dan mengakhiri polemik ijazah palsu ini. Namun, apakah Saudara JOKO WIDODO akan menempuh cara praktis untuk menyelesaikan perkara ini, dengan memperlihatkan ijazahnya?
Wallahu alam. [].
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat
Advokat
Koordinator Non Litigasi Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis