PASAL PENGHINAAN DISAHKAN, BERHENTI MENGKRITIK?

ASHA - Menghina memang perbuatan tercela dan ALLAH SWT tidak menyukai hal tersebut.

Orang yang suka menghina dan mencaci maki orang lain adalah mereka yang bersikap sombong. 

Persoalannya apakah yang dimaksud hina (menghinakan). Lantas apakah kita akan berdiam diri dan tunduk pada orang-orang yang memang sesungguhnya telah dihinakan berdasarkan syariat agama?

Dari sinilah sesungguhnya terjadi metafora dari kata menghina yang terkandung dalam Undang-Undang yang baru saja di sahkan pada 6 Desember 2022 (termasuk pasal padan KUHP; pasal 218, pasal 273, pasal 353).

Kemudian pulalah kita harus memahami majas dari susunan kalimat yang terkandung dari bunyi keseluruhan pasal yang ada.

Menurut saya terjadi "kiasan" dalam bunyi dalam pasal yang saat ini menjadi perdebatan dan menimbulkan friksi diberbagai kalangan dari segenap lapisan masyarakat.

Ini terjadi karena sangat nampak adanya dorongan kepentingan kekuasaan untuk memberangus kelompok kritikis (:pengkritik kebijakan) dalam rangka membangun keseimbangan dalam bernegara.

Baiklah, mari kita mencoba untuk mengulas secara kritis dan terbuka pasal "mengharukan" yang sudah menjadi Undang-Undang di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): Dengan masa 3 (tiga) tahun sebagai percobaan untuk diaplikasikan ditengah publik.

Perlu kiranya terlebih dahulu saya menghadirkan kontra dari alinea pertama hadirnya tulisan ini tentang hinan (menghinakan) yang tidak disukai ALLAH SWT (:kontra bukan bermaksud menentang).

Kontra yang dimaksud adalah hadirnya pemahaman bahwa ALLAH menghinakan orang dan/atau kaum yang patut untuk dihinakan.

Di antara bentuk kehinaan yang ditimpakan ALLAH di dunia adalah kehinaan hidup, ditimpakan kekalahan dalam persaingan, dan disesatkan dari jalan ALLAH. Sedangkan, kehinaan pada hari kiamat adalah ditutup matanya dari melihat Allah (QS Hud 105-107/al-Muthaffifiin 14-17). 

Di antara orang-orang yang dihinakan, pertama, pelaku kemaksiatan (QS Ghofir 82). Al- Mu’tamir bin Sulaiman berkata, “Sesungguhnya seseorang yang melakukan dosa secara rahasia, maka pada pagi harinya akan ditimpakan kehinaan.” (Raudlatul Muhibbin, karya Ibnul Qoyyim, hlm 441).

Kedua, orang yang menentang ajaran Islam (QS az-Zumar 55-61 dan al-An’am 125). Umar RA berkata, “Kita dimuliakan ALLAH dengan Islam dan barang siapa yang mencari kemuliaan dengan selain Islam, maka dia akan dihinakan.” (Ibnu Abdil Birr dalam kitab Al-Mujalasah wa Jawahiril Ilmi, juz II, hlm 273).

Ketiga, menolak kebenaran karena kesombongan (QS Shad 12-15, al-Haqqah 4-8). Hasan Bisri mengatakan, ada tiga macam manusia, yakni mukmin, munafik, dan kafir. Mukmin adalah orang yang menaati perintah ALLAH, kafir adalah yang dihinakan ALLAH dan munafik adalah mereka yang tidak mengenal ALLAH, tapi dikenal keingkarannya dengan perbuatan-perbuatan jahat dan menampakkan kejauhan dirinya dari ALLAH (Al-Firyabi dalam kitab Shifatul Munafiq, hlm 61). 

Keempat, sombong di hadapan makhluk (QS al-Qashash 83). Kelima, orang zalim (QS al-A’raf 165-166 , Yunus 13-14). Keenam, penghamba harta dan kedudukan (QS al-An’am 44). Rasulullah bersabda, “Celakalah penghamba dinar dan dirham.” (HR Bukhari).

Dari serapan yang diambil dari beberapa sumber tentang hinanya orang dan/atau kaum yang dihinakan ALLAH, lantas apakah kita akan berdiam diri saja, atau apakah kita akan tunduk padanya sehingga murka ALLAH juga akan datang pada kita?

Disinilah kiranya perlu secara idiologis kita mencermati, mengkritisi, bersikap. Bukan dengan tujuan untuk menghinakan, tapi lebih dari itu: Perlawanan (:Dengan menyampaikan yang benar).

Perlawanan dimaksud adalah mengamalkan perbuatan Nahi Munkar, dan bukanlah dalam bentuk penghinaan yang dikategorikan dibenci ALLAH SWT.

Perlawanan yang terkandung dalam sikap berlandas buah fikir (:bukan pemberontakan) yang dimaksudkan untuk menyampaikan kebenaran, termaksud kepada penguasa yang dzolim.

Tentunya ini tidak bertentangan dengan kaidah hukum yang ada, karena memamg perlawanan itu sendiri sesungguhnya telah diatur dalam UUD 1945 tentang pasal-pasal menyampaikan pendapat, serta peraturan perundangan lain seperti hal UU No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum.

Artinya bukanlah suatu penghinaan ketika kita bersuara lantang terhadap prilaku salah dan menyesatkan. Bukanlah pelanggaran hukum. Tidak patut pula dikriminalisasi dengan hadirnya pasal yang baru di sahkan tersebut.

Tidak bisa juga kita dibidik untuk dihukum, dipenjarakan, dipasung pendapatnya, diberangus keberanian kita menegakkan kebenaran.

Karenanya perlu dahulu kita pahami tentang hukum itu sendiri. Bahwa secara etimologis, istilah hukum berasal dari bahasa Arab qonun, ahkam, atau hukm yang artinya hukum. 

Dalam bahasa Inggris, hukum disebut law. Sementara dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut recht. Istilah recht sendiri berasal dari bahasa Latin rectum yang artinya tuntunan atau bimbingan, perintah atau pemerintahan.

Sampai disini perlu kita tujukan konsentrasi pemikiran kita pada kata "pemerintahan".

Dikutip dari buku Pengantar Hukum Indonesia oleh Umar Said Sugiarto, hukum adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tentang hubungan antara manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Barangsiapa melanggar norma hukum, maka dapat dijatuhi sanksi atau dituntut oleh pihak yang berwenang.

Ini dia persoalannya, ternyata apa yang menjadi persoalan adalah norma hukum. Hukum yang dibuat oleh kelompok tertentu yang tidak bersikap fair dengan bukti banyaknya pertentangan. Hukum itulah yang kemudian menjadi norma.

Lantas kemudian apa yang menjadi hikmah dari tulisan ini ? Sebenarnyalah saya ingin mengajak kita untuk tetap bersikap untuk tetap bersuara tanpa harus menghina. 

Tidak perlu juga takut untuk menegakkan kebenaran dengan pasal yang ada (: takutlah pada keyakinan kita jika melenceng dari norma agama). Tidak wajib tunduk pada mereka yang memang sudah dihinakan oleh ALLAH SWT meski mereka penguasa.

Tangkapan radar berfikir saya: Pasal gaduh tersebut bisa saja dihidangkan sebagai sajian untuk memberikan rasa takut dalam memperjuangkan yang hak adalah hak dan yang bathil adalah bathil.

Bukan pula berarti kita akan berhenti mengkritisi, berhenti berada dalam bagian yang tidak sejalan dengan kebenaran, berhenti untuk bersikap lantang menegakkan kebenaran.

Terlepas dari itu, marilah kita tetap berada dalam koridor yang disajikan tersebut dan tidak melanggar norma hukum yang ada. 

Pandai dan cermatlah dalam menghadapi situasuasi di tengah kehingaran dalam peradaban yang sejatinya memang akan segera punah ini.

Oleh : Gunawan Pharrikesit