Tiongkok resmi membuka perbatasan internasional pada Minggu (8/1/2023) dengan memberikan sejumlah pelonggaran. Di antaranya penghapusan karantina bagi pelancong serta diizinkannya warga Tiongkok bepergian ke luar negeri, hal ini menjadi polemik di tengah kondisi Tiongkok yang sedang berperang dengan lonjakan Covid-19.
Mengantisipasi hal tersebut, sejumlah negara di dunia baik barat hingga Asia lantas memberlakukan pengawasan ketat bagi para pelaku perjalanan dari Tiongkok yang tiba di negara masing-masing.
Infeksi diperkirakan akan terus melonjak hingga akhir bulan ini dimana Tiongkok merayakan Tahun Baru Imlek, diperkirakan jutaan orang akan melakukan perjalanan dari berbagai kota besar untuk mengunjungi keluarga mereka di pedesaan.
Lonjakan Covid-19 di Tiongkok picu kekhawatiran global
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Ned Price, mencatat bahwa ada dampak ekonomi dari penyebaran Covid-19 yang merajalela tidak hanya untuk Tiongkok, tetapi untuk dunia yang lebih luas.
Menurut Ned Price, investor memang menyambut baik pelonggaran kebijakan ‘nol-Covid’ Tiongkok sebagai kabar baik bagi ekonomi dunia dalam jangka panjang. Namun, banyak yang khawatir akan dampak jangka pendek dari lonjakan kasus itu terhadap perdagangan dan industri secara global.
Bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia?
Dampak paling terasa yang akan muncul adalah terkait perdagangan ekspor-impor. Ketika ekonomi Tiongkok menurun, artinya permintaan komoditas ke Indonesia tentunya juga berkurang.
Selain itu, rendahnya permintaan juga bisa berdampak ke dalam negeri, sebab Tiongkok merupakan pasar ekspor terbesar Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok memiliki kontribusi 26.5% dari total ekspor untuk periode Januari - November 2022.
Sehingga, era tergelap yang dihadapi Tiongkok akan turut menarik Indonesia ke dalamnya.
Johanna Gani, CEO Grant Thornton Indonesia mengatakan, “Tidak dapat dipungkiri, lonjakan kasus Covid-19 di Tiongkok beberapa waktu belakangan ini memperlambat proses pemulihan ekonomi secara global.
Hal ini terjadi karena Tiongkok merupakan sumber ekspor penting bagi industri manufaktur dan juga merupakan pasar penting bagi banyak komoditas global seperti minyak sawit mentah, tembaga, kedelai, batu bara, dan bijih besi dan baja”.
“Menjawab kekhawatiran tersebut, negara-negara ASEAN dan juga Indonesia telah cukup menjaga kondisi makro ekonomi yang ditunjukkan dengan meningkatnya pola konsumsi dan tingkat pendapatan, Bank Indonesia juga terbukti telah melakukan tugasnya untuk menjaga stabilitas struktural rupiah sehingga diharapkan dampak meledaknya Covid-19 di Tiongkok terhadap perekonomian bisa berada di level minimum, hal tersebut juga didukung dengan dilonggarkannya kebijakan zero covid policy dari pemerintah Tiongkok yang secara tak langsung akan menopang pergerakan nilai tukar rupiah,” lanjut Johanna.