Mendekat Saat Butuh, Menjerat Saat Berhasil

ASHA - Pertemuan antara Ketua DPP PDIP Puan Maharani dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto pada Ahad, 4 September 2022, dinilai bisa mengancam ambisi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar untuk menjadi calon wakil presiden pada Pilpres 2024.

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro menyatakan bahwa PDIP tak mungkin melepas kursi presiden atau wakil presiden jika mereka jadi bergabung dengan koalisi Gerindra dan PKB. Gerindra sebelumnya telah resmi membingkai koalisi pra-pilpres bersama dengan PKB dalam wadah Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR). Terbentuknya koalisi KIR dibaca sebagai landasan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin untuk menjadi cawapres mendampingi Prabowo. Sebab, jatah capres sudah menjadi ‘kapling’ Gerindra yang resmi memajukan kembali nama Prabowo.

Agung menilai kedatangan PDIP ke Hambalang bisa dibaca dalam peluang bagi Gerindra untuk menambah bobot kuantitas dan kualitas KIR. Hal itu tak terlepas menimbang PDIP adalah partai pemenang pemilu. Apalagi beragam hasil survei menunjukkan bahwa partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini masih bertengger di peringkat teratas menjelang Pemilu 2024. Sepatutnya rakyat sadar kondisi demikian adalah watak asli system demokrasi. Hanya melahirkan sosok pengabdi kursi bukan pelayan rakyat yang merasakan penderitaan mereka. Agung menilai duet nasionalis-religius seperti ini telah terbukti memenangkan Pilpres 2014 dan 2019, ketika Jokowi memilih JK dan Ma’ruf Amin yang keduanya merepresentasikan Islam moderat. Hal ini tidak salah jika kembali diuji dalam Pilpres 2024 melihat situasi politik saat ini tak jauh berbeda, sebagai efek polarisasi dari dua Pilpres sebelumnya (Tempo.co, 9/09/2022).

Sungguh dinamika kehidupan yang sudah mati hati nuraninya. Di kala masyarakat hidup dengan berbagai kesulitan hidup, mereka malah hanya malah memikirkan kepentingan semata. Bukankah mereka mempunyai kursi kekuasaan yang sudah terbilang tinggi? Namun kenapa masih saja rakus untuk menduduki kursi kepemimpinan.

Tidak ada yang salah jika mempersiapkan diri untuk menjadi penerus kursi kekuasaan. Tapi, apakah mereka mampu mengemban amanah? Sedangkan di kursi yang sekarang saja masih terlihat cacat tanggung jawab. Sebegitu buta kah mereka dengan keluhan yang ada di masyarakat.

Sungguh sangat teriris hati ini melihat kursi kekuasaan diduduki sama orang-orang yang tidak pantas untuk duduk di situ. Mereka mencoba untuk menawarkan janji tetapi banyak janji yang menjadi mainan semata. Hari ini bilangnya mau menyejahterahkan tetapi malah menghancurkan. Berupaya tegas dalam hal kepentingan bukan masalah keperluan dan kenyamanan rakyat. Bahkan dengan mudahnya mereka mengorbankan penderitaan rakyat.

Ini sangat tidak menyenangkan. Pada saat rakyat kesulitan menghadapi dampak domino dari kenaikan harga BBM, para pejabat negara sibuk mencari kontestan. Juga sibuk berkreasi agar terlihat layak mendapatkan kepercayaan rakyat sekali lagi.

Fakta di atas menunjukkan bahwa kontroversi selama sistem demokrasi semata-mata menghasilkan para pemimpin kurang simpati, Hal itu membuat mereka bertindak tegas sehingga sibuk berusaha untuk berhasil di kursi kekuasaan yang kewajiban utama mereka adalah meminta perhatian dari masyarakat. Dari sini, sudah saatnya kita mulai membuka mata dan pikiran. Indonesia membutuhka seseorang yang dapat mengemban amanah dan dipercaya.

Sayangnya hal ini tidak bisa diharapkan ada jika sistem Islam belum ditegakkan secara kaffah (sepenuhnya). Dalam Islam, penentu kecepatan tidak hanya berkuasa, tetapi juga bertanggung jawab atas urusan negara yang lebih luas. “Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Sehingga setelah amanat telah dilaksanakan, tidak akan ada banyak keraguan dari rakyat karena mereka percaya bahwa Allah selamanya akan dilimpahkan ke hati para pemimpin, sehingga mereka akan melakukan semua kewajiban mereka dengan sepenuhnya.

Perkembangan kontroversi dalam sistem demokrasi bukan lagi faktor yang aneh untuk didengar, bahkan itulah tujuan dari sistem ini untuk perampas dengan membenarkan berbagai cara untuk memenangkan hati rakyat. Kedudukan pemimpin rakyat menjadi kontes bagi politisi yang haus kekuasaan, konflik bahwa mereka perlu menyejahterakan rakyat untuk memperebutkan kursi. Sebenarnya, pada titik ini, pemimpin yang lahir dari sistem demokrasi tidak dimaksudkan untuk menuntut perhatian rakyat, melainkan menghasilkan kebijakan yang menindas dan mengecualikan hak-hak rakyat.

Pemilihan umum selamanya memprediksi kisah sukses penyelenggaraan demokrasi di Republik Indonesia. Namun itu adalah jenis ketamakan mereka. Perkembangan yang tidak lagi mengejutkan dalam sistem demokrasi yang dijejali lingkaran oligarki membuat para pejabat semakin kaya sedangkan rakyat semakin miskin.

Seperti yang kita ketahui bahwa Politik Demokrasi hanya berasaskan manfaat dan kepentingan, tidak ada yang benar-benar berjuang untuk rakyat. Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu, setelah itu para pemimpin seakan tutup telinga pura-pura tuli. Pemimpin yang lahir dari sistem Demokrasi mustahil akan menjadi pengayom rakyatnya, justru meninggalkan masalah lama tanpa solusi dan menimbulkan masalah baru. Buktinya saat kondisi ekonomi rakyat sulit, para elit makin gencar menonjolkan ambisinya bertarung di pilpres. Ini adalah bukti betapa kejamnya demokrasi yang menghalalkan segala cara demi kemenangan.

Dalam melawan kemungkaran, dibutuhkan kesadaran memahami politik dengan benar. Munculnya varian politik yang amat kuat pada dasarnya didorong oleh kelemahan atau bahkan keterpurukan politik umat Islam saat ini. Karena kondisi sedemikian ini, politik kemudian menjadi salah satu tugas penting umat Islam, untuk bisa bangkit dari kemunduran agar terhindar dari komoditas politik pragmatis.

Rasulullah Saw bersabda, “Dengarkan, apa kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku nanti akan ada pemimpin-pemimpin, barangsiapa yang memasuki (berpihak kepada) mereka lalu membenarkan kedustaan mereka serta menolong kezaliman mereka, ia tidak termasuk golonganku dan tidak akan mendatangi telagaku. Barangsiapa tidak memasuki (berpihak kepada) mereka, tidak membantu kezaliman mereka dan tidak membenarkan kedustaan mereka, ia termasuk golonganku, aku termasuk golongannya dan ia akan mendatangi telagaku.” (HR Tirmidzi, al-Nasa’i, dan al-Hakim).


Wallahu A’lam.

Sumber : SuaraIslam